Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pompanisasi Berbahan Bakar Solar atau LPG, Mana yang Lebih Irit?

5 Juli 2023   06:18 Diperbarui: 5 Juli 2023   06:22 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pompanisasi menggunakan LPG (Dokpri Iqbal)

Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG), memperkirakan Indonesia akan dilanda fenomena El Nino atau kemarau panjang yang dimulai dari Bulan Juni hingga akhir tahun 2023. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Kepala BMKG. Prof. Dwikorita Karnawati yang memprediksi fenomena El Nino akan terjadi di bulan Juni 2023.

"Diprediksi akan berlangsung dengan intensitas awalnya lemah sekitar bulan Juni kemudian setelah Juni diprediksi menguat hingga moderat," kata Dwikorita dikutip dari Detik.com (8/6/2023).

Apa Dampak El Nino?

Deputi Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito dalam diskusi terkait El Nino di Jakarta, Selasa (20/6/2023), menuturkan bahwa El Nino sudah terjadi. Dampak paling nyata adanya fenomena el nino adalah kekeringan yang akan mengancam ketersediaan air untuk masyarakat, industri, dan pertanian terutama wilayah sentra padi.

Curah hujan yang rendah mengakibatkan kekeringan ekstrim di berbagai wilayah di Indonesia. Terutama di wilayah-wilayah sentra padi. Karena pada periode Juni hingg akhir tahun 2023, merupakan waktu musim tanam padi.

Curah hujan yang rendah mengakibatkan ketersediaan air untuk pengairan tanaman padi tidak ada, terutama di wilayah sawah tadah hujan sehingga musim tanam padi mundur. Padi yang sudah tertanam, diprediksi akan gagal panen. Diprediksi produksi padi secara nasional akan anjlok.

Hal ini berpotensi mengancam ketersediaan stok bahan pangan nasional terutama ketersediaan beras.

"Curah hujan dan ketersediaan air irigasi berkurang, berimplikasi pada penurunan produksi sebanyak 3,06 persen setiap kejadian," ujar Mego dikutip dari Kompas.com (21/6/2023).

Pompanisasi, Salah Satu Cara Hadapi Kekeringan "El Nino"

Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan ketersediaan air untuk pengairan padi sawah adalah dengan melakukan pompanisasi. Pompanisasi secara sederhana diartikan sebagai upaya pengairan teknis untuk padi sawah di wilayah tadah hujan atau wilayah setengah irigasi teknis menggunakan mesin pompa air dari sumber-sumber air (pantek) atau dari pusat air (sungai, embung, waduk).

Terutama saat musim kemarau tiba, peran pompanisasi sangat penting dan berpengaruh nyata dalam keberhasilan budidaya padi.

Bantuan irigasi pompanisasi dari Kementerian Pertanianpun digelontorkan untuk petani-petani padi di wilayah sentra padi yang terdampak el nino. 

Contohnya di Kecamatan Gabus Wetan, Indramayu, Kementan membagikan mesin pompa air. Mesin pompa air akan membantu pengairan sawah seluas 4.700 hektare yang terdampak el nino. 

Pompa Solar atau LPG Yang Lebih Irit?

Pompanisasi menggunakan LPG (Dokpri Iqbal)
Pompanisasi menggunakan LPG (Dokpri Iqbal)

Normalnya, petani dibanyak wilayah di Indonesia mengandalkan pengairan irigasi teknis atau curah hujan untuk melakukan budidaya padi di sawah. 

Di wilayah irigasi teknis umumnya biaya pengairan padi sawah dibayar setara dengan harga gabah kering panen (GKP), dengan bayaran setara 100 sampai dengan 300 kilogram gabah basah per musim (harga gabah Rp. 5500 setara Rp. 550.000 s.d Rp.1.650.000) yang dibayarkan ke ulu-ulu (petugas pengairan).

Namun, saat musim kemarau tiba terutama di wilayah tadah hujan, pengairan padi tidak bisa hanya mengandalkan curah hujan arau irigasi setengah teknis dari sungai, sehingga perlu bantuan mesin pompa untuk mengairi sawah.

Saat ini, banyak mesin pompa yang dimodifikasi menggunakan bahan bakar LPG melon, yang sebelumnya menggunakan bahan bakar solar. 

Menurut penuturan salah satu petani di Kecamatan Gantar, Indramayu, pompanisasi menggunakan bahan bakar LPG dinilai lebih irit daripada menggunakan solar.

Hitungannya, dalam satu  musim padi usia 90 hari setelah tanam (hst), pompanisasi dilakukan setiap 3 hari sekali, sehingga dalam satu musim pompanisasi dilakukan sebanyak 30 kali.

Pompanisasi menggunakan bahan bakar LPG melon, dengan harga rata-rata per tabung Rp. 20,000, untuk pengairan lahan 1 hektare membutuhkan 3 tabung LPG melon, sehingga biaya sekali pengairan adalah Rp. 60.000, jika satu musim 30 kali pengairan maka biaya total Rp. 1,800,000.

Sedangkan pompanisasi menggunakan solar, membutuhkan 12 liter solar untuk mengairi sawah 1 hektare, dengan harga solar per liter Rp. 6,800, maka satu kali pengairan biayanya adalah Rp. 81,600. Satu musim setara dengan Rp. 2,448,000.

Melihat hitungan tersebut, jelas pompanisasi menggunakan LPG dinilai lebih irit dibanding dengan menggunakan solar.

Biaya pengairan yang dikeluarkan oleh petani, pasti akan mempengaruhi biaya total usaha tani padi. Semakin tinggi biaya, maka HPP akan ikut tinggi. Jika tidak diimbangi dengan produksi yang tinggi serta harga jual yang layak, dipastikan petani padi akan merugi.

Dampak panjang dari fenomena el nino atau kemarau panjang di sektor usaha tani padi. Jika tidak diantisipasi, maka ketahanan pangan nasional akan terganggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun