Contohnya di Kecamatan Gabus Wetan, Indramayu, Kementan membagikan mesin pompa air. Mesin pompa air akan membantu pengairan sawah seluas 4.700 hektare yang terdampak el nino.Â
Pompa Solar atau LPG Yang Lebih Irit?
Normalnya, petani dibanyak wilayah di Indonesia mengandalkan pengairan irigasi teknis atau curah hujan untuk melakukan budidaya padi di sawah.Â
Di wilayah irigasi teknis umumnya biaya pengairan padi sawah dibayar setara dengan harga gabah kering panen (GKP), dengan bayaran setara 100 sampai dengan 300 kilogram gabah basah per musim (harga gabah Rp. 5500 setara Rp. 550.000 s.d Rp.1.650.000) yang dibayarkan ke ulu-ulu (petugas pengairan).
Namun, saat musim kemarau tiba terutama di wilayah tadah hujan, pengairan padi tidak bisa hanya mengandalkan curah hujan arau irigasi setengah teknis dari sungai, sehingga perlu bantuan mesin pompa untuk mengairi sawah.
Saat ini, banyak mesin pompa yang dimodifikasi menggunakan bahan bakar LPG melon, yang sebelumnya menggunakan bahan bakar solar.Â
Menurut penuturan salah satu petani di Kecamatan Gantar, Indramayu, pompanisasi menggunakan bahan bakar LPG dinilai lebih irit daripada menggunakan solar.
Hitungannya, dalam satu  musim padi usia 90 hari setelah tanam (hst), pompanisasi dilakukan setiap 3 hari sekali, sehingga dalam satu musim pompanisasi dilakukan sebanyak 30 kali.
Pompanisasi menggunakan bahan bakar LPG melon, dengan harga rata-rata per tabung Rp. 20,000, untuk pengairan lahan 1 hektare membutuhkan 3 tabung LPG melon, sehingga biaya sekali pengairan adalah Rp. 60.000, jika satu musim 30 kali pengairan maka biaya total Rp. 1,800,000.
Sedangkan pompanisasi menggunakan solar, membutuhkan 12 liter solar untuk mengairi sawah 1 hektare, dengan harga solar per liter Rp. 6,800, maka satu kali pengairan biayanya adalah Rp. 81,600. Satu musim setara dengan Rp. 2,448,000.
Melihat hitungan tersebut, jelas pompanisasi menggunakan LPG dinilai lebih irit dibanding dengan menggunakan solar.