Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG) mencatat, anomali perubahan iklim di Indonesia yang sudah masuk pada tahap mengkhawatirkan.
Berdasarkan catatan BMKG, periode 1981 sampai 2020, menunjukkan di tahun 2016 menjadi tahun terpanas dengan rekor kenaikan tertinggi sebesar 0,8 derajat celcius. Berikutnya di tahun 2020 naik menjadi peringkat ke dua dengan kenaikan tertinggi sebesar 0,7 derajat celsius.
Dampak kenaikan suhu rata-rata tahunan di Indonesia, mempengaruhi berbagai perubahan komponen iklim seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, intensitas sinar matahari, hingga curah hujan.
Jika hal ini terus diabaikan, maka akan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia dan kerusakan ekosistem.
Terlebih Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dimana sistem pertanian sangat bergantung pada iklim dan cuaca. Kegiatan budidaya tanaman sangat ditentukan oleh faktor-faktor klimat yang saling berkaitan.
Jika perubahan iklim terus terjadi, maka tidak mustahil, sector pertanian di Indonesia akan terganggu. Dampak lebih luas, indeks ketahanan pangan Indonesia akan semakin merosot dan mengancam kestabilan dan keamanan negara.
Perlu upaya nyata dalam menyikapi perubahan iklim terutama di sector pertanian kususnya bagi para petani agar dapat mempersiapkan strategi budidaya pertanian yang mampu menghadapi perubahan iklim.
Salah satu upaya nyata adalah melalui lokakarya “Perubahan Iklim Dan Pengenalan Petani Atas Dampaknya” yang digagas oleh PLTU Indramayu ber kolaborasi dengan Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Indramayu dan Warung Ilmiah Lapangan Universitas Indonesia.
Lokakarya 1 dilaksanakan pada hari Senin, 12 Juni 2023 bertempat di aula BPP Kec. Sukra Kabupaten Indramayu dihadiri oleh Camat Sukra, perwakilan petani dari Kecamatan Sukra dan Kecamatan Patrol, perwakilan PLTU Indramayu, pendamping on-farm Food Station, Prof Yunita guru besar dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan penyuluh-penyuluh BPP Sukra.
1. Perubahan Apa Yang Dialami Petani Dan Dampak Ke Budidaya Tanaman Oleh Petani?
Pak Kayad, salah satu petani peserta dari Desa Karanglayung, Kec. Sukra memberikan testimoni yang dirasakan dari perubahan iklim. 8 tahun lalu, beliau menyampaikan, musim hujan pasti terjadi di bulan “Ber-Ber” sejak September, Oktober, November, Desember, namun sekarang hujan dating tidak tentu musim, bahkan April-Mei masih hujan deras.
Hal ini pasti berpengaruh pada hasil panen padi. Karena di bulan April-Mei masuk musim panen raya padi. Akibatnya hasilnya turun dan kualitasnya rendah, sehingga harganya murah.
Selain itu, Pak Carsa, petani dari Kecamatan Patrol, menerangkan, akhir-akhir ini suhu terasa sangat panas ketika malam hari, padahal harusnya bulan Juni suhu malam hari sedang dingin-dinginnya.
2. Mengapa Terjadi Perubahan Iklim?
Menurut Prof. Yunita, sektor pertanian disinyalir juga berperan aktif dalam perubahan iklim. Contohnya penggunaan racun (Kata ganti pestisida kimia), dan CO2 yang dihasilkan dari pembakaran jerami dan mesin-mesin pertanian.
Gas-gas yang dihasilkan dari proses pembakaran seperti gas methane dan gas CO2 terperangkap di lapisan atmosfer (ozon) membentuk yang dinamakan gas rumah kaca.
Akibatnya cahaya matahari yang masuk ke permukaan bumi, sulit untuk dipantulkan kembali ke atmosfer karena terperangkap oleh gas-gas yang membentuk rumah kaca.
Itulah mengapa, suhu di permukaan bumi terasa panas. Dampaknya pasti berpengaruh pada perubahan komponen pembentuk cuaca dan iklim seperti kelembaban, sinar matahari dan curah hujan.
3. Perlukah Petani Belajar Untuk Bisa Tanggap Pada Risiko Perubahan Iklim?
Pak Yusup, salah satu petani PPTPI menyampaikan pentingnya petani belajar untuk bisa tanggap pada risiko perubahan iklim. Karena hal itu sangat berguna untuk petani dalam melakukan budidaya tanaman.
Karena cuaca sifatnya dalam lingkup local dan dalam periode waktu yang sempit (maksimal 2 minggu), maka cuaca setiap wilayah pasti berbeda. Oleh sebab itu penting sekali untuk petani melakukan pengamatan cuaca salah satunya melalui indikasi curah hujan.
Curah hujan adalah satu komponen iklim yang mudah diamati menggunakan alat sederhana yang dinamakan omplong. Curah hujan diukur setiap hari setiap pagi. Kemudian ditabulasi setiap bulan atau 3 bulan sekali untuk mengetahui jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering.
Melalui pengamatan tersebut, akan diketahui pola agroklimat dalam suatu budidaya tanaman pertanian. Serangan hama dan penyakit apa yang terjadi di setiap vase pertumbuhan tanaman baik vegetative maupun generative. Sehingga dalam pelaksanaan pemeliharaan tanaman seperti pemupukan atau penyemprotan pestisida dapat dilakukan secara efektif. Tidak boros, tidak buang-buang biaya dan hasilnya tetap tinggi.
Lokakarya 1 ditutup dengan evaluasi yang dipandu oleh MC yaitu Pak Wartijah. Harapannya dengan dilaksanakannya lokakarya 1 petani dapat lebih tanggap dan aktif dalam menyikapi perubahan iklim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H