Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cultuurstelsel, di Balik Alasan Belanda Memilih Tebu dan Kopi Bukan Sagu atau Padi

4 Maret 2023   18:06 Diperbarui: 6 Maret 2023   11:33 2518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan perkebunan di kawasan Priangan sekitar tahun 1907-1937. (National Museum van Wereldculturen (TM 10024157) )

Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa rakyat dimandori oleh para lurah-lurah desa mereka, namun tetap dalam pantauan dari pegawai-pegawai Eropa terutama dalam hal budidaya tanaman dan muat hasil panen.

Di setiap daerah di Indonesia, Belanda memberlakukan tanam tanaman komoditi ekspor yang sesuai dengan iklim dan kondisi geografis wilayah tersebut.

Contohnya di beberapa wilayah di Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyarakarta rakyat diharuskan untuk menanam tebu sesuai dengan aturan sistem tanam paksa yang berlaku.

Di Pulau Sumatera, Belanda memaksa rakyat untuk menanam lada seperti yang dilakukan di Lampung dan Palembang, dan tanam kopi di Minangkabau.

Kewajiban tanam paksa kopi di Minangkabau ini ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumatra’s Westkust Andreas Victor Michiels tertanggal 1 November 1847. Surat tersebut mengatakan setiap keluarga yang memiliki tanah dan iklim yang cocok untuk tanaman kopi, diwajibkan menanam kopi sebanyak 150 batang.

Rakyat diwajibkan menjual kopinya hanya ke Belanda dengan harga yang sangat murah dibandingkan harga jual ekspor Belanda. Hal inilah yang menambah rakyat semakin menderita.

Tidak hanya itu, di Ambon, Belanda tergiur dengan cengkehnya, di Minahasa dengan tanaman kelapanya, dan Banda dengan tanaman pala. Di wilayah-wilayah dataran tinggi, Belanda mengeksploitasi tanaman teh rakyat. Semua dilakukan dengan sistem tanam paksa dan perampasan paksa.

Dalam beberapa sumber sejarah dikatakan, awalnya Belanda memang mengharuskan 20 % lahan rakyat atau desa untuk ditanami komoditi tanaman ekspor, namun secara praktik Belanda memaksa untuk menanami hingga setengah dari luas lahan untuk ditanami tanaman ekspor dengan harga hasil panen yang rendah.

Mengapa Tebu dan Kopi?

Sistem tanam paksa dengan mengharuskan menanam komoditi tanaman ekspor seperti tebu, kopi, kina, teh, kelapa, cengkeh, dan tembakau yang merupakan komoditi tanaman perkebunan di Indonesia berlangsung 40 tahun lamanya.

Mengapa Belanda memilih tanaman perkebunan? Bukankah makanan pokok masyarakat Indonesia saat itu adalah ubi-ubian, sagu, jagung dan padi?

Seperti tujuan utama Pemerintah Belanda bahwa komoditi tanaman-tanaman ekspor adalah untuk diperdagangkan di Eropa, maka rempah-rempah Indonesia yang sejak jaman VOC sudah dikenal di dunia semakin diperluas untuk dikembangkan apalagi setelah sistem tanam paksa diterapkan. Daripada harus menanam komoditi tanaman baru dan membuka pasar baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun