Dewasa ini di sosial media banyak yang membagikan kisah prosesi nikahnya hanya di Kantor Urusan Agama (KUA). Tanpa ada pesta dan perayaan yang membahana, hanya disaksikan oleh wali, kerabat, saksi dan penghulu saja.
Entah ini hanya sekadar fenomena atau memang akan menjadi tradisi baru kususnya bagi kalangan generasi Y dan Z.
Banyak faktor yang mendorong fenomena ini terjadi. Kita tau, prosesi pernikahan kususnya pernikahan adat di Indonesia yang kompleks pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi tanpa diimbagi pendapatan yang cukup di tengah kebutuhan hidup yang makin hari makin naik.
Padahal pernikahan adat di Indonesia sudah menjadi ciri khas dan menjadi prosesi wajib di setiap daerah.
Lantas bagaimana dengan orang tua yang cenderung konservatif dalam urusan khususnya adat istiadat? Apalagi dalam hal ini pernikahan yang cukup sakral.
Sebenarnya bagi generasi Y dan Z, pernikahan di KUA bukanlah hal yang sulit dilakukan. Gen Y Z cenderung masa bodoh dan cuek dengan gengsi yang terpenting sah dan halal, ogah ribet.
Berbeda dengan orang tua yang masih pakem dengan adat istiadat dan memiliki banyak pertimbangan jika mengijinkan anaknya nikah hanya di KUA, tanpa resepsi atau pesta perayaan.
Sebagai generasi Z, saya mencoba bertanya kepada orang tua, jika nanti  nikah di KUA saja apa boleh, jawabnya sudah pasti, ya harus ada resepsi dan tetap pakai adat meskipun gak harus pesta meriah.
Pertanyaan saya lanjutkan, kenapa harus ada resepsi dan pakai adat? Ibu menimpali, pernikahan bukan hanya perayaan penyatuan dua manusia, laki-laki dan perempuan, tetapi juga penyatuan keluarga besar. Resepsi dilakukan agar kedua keluarga, kerabat dan kolega saling bertemu silaturahmi sehingga kekeluargaan tetap terjaga. Soal pakai adat, kalau bukan kita siapa lagi yang mau "nguri-nguri budaya".
Ibu kembali menegaskan, gak harus perayaan mewah, yang penting hangat kekeluargaan semua kumpul.