Jangan mengambil apapun selain gambar, Jangan meninggalkan apapun selain jejak, dan jangan membunuh apapun selain waktu
Mendaki gunung adalah perjalanan hati, perjalanan untuk menaklukan diri, lebih candu dari secangkir kopi dan lebih manis dari gulali.
Lelah, panas terik matahari, dingin embun pagi tak pernah menghalangi bagi mereka yang sudah mengagumi ciptaan-Nya. Mempelajari firman-Nya tak harus membaca ayat-ayat qauliyah yang tertulis dalam kitab-Nya.
Mempelajarinyapun bisa melalui ayat-ayat kauniyah dengan mendaki gunung, pelesir pantai, atau hanya sekadar menikmati hijaunya alam dan birunya lautan. Semua diciptakan agar manusia mempelajari dan mensyukurinya.
Banyak cerita yang didapatkan dari mendaki gunung yang kebanyakan berakhir dengan happy ending .
Iseng-iseng buka galeri foto di laptop lama, menemukan beberapa foto kenangan saat mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa yaitu Mahameru. 4 tahun yang lalu saat masih jadi mahasiswa di Jember.
Ingat benar, kala itu persiapan yang tak lebih dari 2 hari tanpa latihan fisik, tak menyurutkan hati untuk berangkat.
Rombongan besar dengan 13 cowok dan 2 cewek, kawan sekelas yang terikat oleh  ketertarikan yang sama pada dunia alam lepas.
Baca juga: Jakarta Panen Padi, Memang Masih Ada Sawah?Minggu sore, 22 Juli 2018, kisah itu dimulai.
Mendung hitam di langit Jember membayangi sepanjang perjalanan, namun itu tidak berlangsung lama hingga sampai di wilayah kabupaten Lumajang.
Cuaca dingin khas pegunungan sudah terasa seusai 3 jam perjalanan. Hutan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang gelap dan rimbun menjadi saksi tekad 15 anak muda menuruti darah jiwa muda.
Bermalam di Ranu Pani, yang merupakan pintu masuk jalur pendakian gunung semeru, untuk mengistirahatkan tubuh sejenak sebelum esok kisah sesungguhnya  dimulai.
8 derajat celsius suhu yang terukur dalam ponsel, menjadi godaan tersendiri untuk melanjutkan bobo cantik dibalik hangatnya sleeping bag, padahal jam sudah menunjukkan pukul 05.00 WIB.Â
Disaat dua teman kami mengurusi registrasi masuk, yang lain mempersiapkan diri untuk berangkat. Â Kurang lebih sekitar pukul 10, perjalanan dimulai masih teringat benar.
Nafas mencoba mengatur ritmenya, menyesuikan dengan medan pendakian yang semakin menanjak. Bagi Haris, Firman, Rifky, dan Risky ini bukanlah treck pendakian yang berat karena mereka sudah kesekian kalinya melewati jalur ini.
Semangka Gunung Semeru Memang Godaan Yang Menyegarkan
Godaan segarnya buah semangka disetiap pos membuat sejenak mengistirahatkan diri, alih-alih cepat melanjutkan perjalanan kembali, tempe goreng yang dingin seolah hangat saja ditenggorokan dan menggoda untuk dinikmati.
Canda renyah dari mulut Rio seakan radio yang menghibur di sepanjang perjalanan. Mungkin perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 lah yang cukup banyak menyita tenaga, jalur yang curam, menanjak, berdebu dan berbatu dibandingkan dengan 2 pos sebelumnya.
5 jam perjalanan dari Ranu Pani, Ranu Kumbolo perlahan menampakkan diri seiring dengan semakin dekatnya langkah menuju Ranu Kumbolo. Pemandangan yang amat indah tersaji, mengubur segala lelah yang terasa.
Sesampainya di Ranu Kumbolo, bukan Haris namanya, jika tidak handal masak. Oseng-oseng jamur dan mie instan cukup mengenyangkan perut sebelum melanjutkan perjalanan ke Kalimati.
Satu persatu anggota rombongan, dipaksa berhenti oleh keadaan.
Namun sayang, Rio, Leo, Arum dan Fini harus menghentikan langkahnya di Ranu Kumbolo, mengingat keadaan fisik dan semakin curamnya medan yang tak memungkinkan lagi bagi mereka memaksa melanjutkan perjalanan.
Pukul 16.04 WIB perjalanan dilanjutkan menyisakan 11 anak muda. Tanjakan cinta yang amat sangat curam, Oro-oro Ombo yang luas dan menakjubkan, serta Cemoro Kandang dengan pepohonan yang rindang mengiringi langkah di semakin gelapnya hari.
Di tengah perjalanan, kondisi fisik Dhani dan Ridwan menurun. Berburu dengan waktu, langkah yang lelah tak menghentikan diri. Sesampainya di Kalimati, 3 tenda didirikan untuk mengistirahatkan diri sebelum tengah malam melanjutkan perjalanan ke tujuan utama yaitu puncak Mahameru.
Lagi-lagi mie instan dan energen hangat buatan Haris yang menjadi andalan untuk mencukupi nutrisi. Angin malam yang terus berhembus, memaksa dingin  menerobos sleeping bag dalam tenda, membuat tubuh kedinginan hebat.
Suara riuh dari tenda-tenda lain membangunkan, menandakan tengah malam telah tiba. Perjalanan menuju summit Mahameru dimulai, menyisakan 9 anak, tanpa Dhani dan Ridwan.
Cukup ramai, karena medan yang dilalui cukup terjal dan sempit, apalagi sesampainya di batas vegetasi, medan berpasir, embet kalau kata orang jawa, sempit, kanan kiri jurang, sangat menyita tenaga.
Hipotermia dan arti kesetiakawanan, antara ego dan solidaritas.
Angin yang berhembus kencang, dingin yang semakin pagi semakin mencekam, membuat potensi hipotermia terjadi. Sedikit lagi mendekati puncak, fisik ini sudah tak memungkinkan lagi untuk melanjutkan, kedinginan yang hebat membuat teman-teman mendekap tubuhku cukup lama.
Disinilah arti pertemanan sesungguhnya tergambarkan. Mereka rela menghentikan langkah kakinya cukup lama, hingga matahari terbit hanya untuk menghangatkanku. Terlihat raut kesal dan lelah dari muka mereka, namun kesetiakawanan mengalahkan segala rasa negatif itu.
Mentari mulai menampakkan diri, keramaian puncak sudah mulai terlihat. Mereka mulai berani melanjutkan perjalanan menuju puncak, tanpaku. Perlahan namun pasti, ditengah menyengatnya sinar matahari, 8 anak muda siap mengukir sejarah terhebat dalam hidupnya, membuat bangga anak cucu mereka dimasa yang akan mendatang.
Mahameru, Puncak Segala Rasa Yang Terbayarkan, Tapi Tidak Denganku
Sesampainya di puncak, segala rasa tercipta, haru, bangga, lelah, dan tak percaya, terbalut dalam rasa lega yang begitu mendalam. Sang merah putih yang berkibar di puncak Mahameru menjadi saksi perjalanan jiwa muda yang tak pernah padam. Menjadi obat termujarab untuk menghilangkan segala lara.
Ponsel disiapkan untuk mengabadikan momen paling bersejarah dalam hidup mereka, merekam setiap sisi dari puncak Mahameru dan memotret raut muka yang tak kuat menahan haru.
Sungguh agung ciptaan-Nya. 3 jam lebih mereka menikmati puncak, meninggalkanku dengan sejuta penyesalan karena tak mampu lagi melanjutkan hingga puncak sekalipun tinggal beberapa langkah saja.
Tak butuh waktu lama, untuk turun. Sesampainya kembali di Kalimati, semua dari kami mengistirahatkan tubuh. Sekalipun terkaget, mendapati pipi Ridwan yang bengkak seperti makan bakso kabut bulat-bulat.
Ini adalah hari ke-dua , perjalanan pulang dimulai, bermalam sejenak di Ranu Kumbolo bergabung kembali dengan Rio, Leo, Arum dan Fini sekaligus menikmati keindahan alam Ranu Kumbolo.
Masak bareng dengan panduan chef Haris dan Arum, di balik dinginnya petang di Ranu Kumbolo. Setelah shalat isya, tak ada lagi suara terdengar dari luar tenda, semuanya sudah mengistirahatkan dirinya dalam tenda, suasana dingin mendukung untuk segera tidur dalam hangatnya sleeping bag.
Pagi hari, embun upas menyelimuti permukaan tenda, sepatu dan tas. Matahari terbit di antara dua bukit  lembah Ranu Kumbolo yang indah.
Waktunya kembali pulang
Hingga waktu yang tak diharapkan datang, matahari semakin meninggi, memaksa segera berkemas dan pulang. Ranu Kumbolo yang menakjubkan, akan terus membuat rindu.
Terlebih misteri puncak Mahameru yang selalu membuat candu, tak akan pernah terlupakan. Berharap suatu saat, dapat “ bertamu “ kembali dalam kesempatan yang berbeda bersama pasangan, buah hati ataupun keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H