Mohon tunggu...
Dodi Faedlulloh
Dodi Faedlulloh Mohon Tunggu... -

Menulis dan provokasi. Mendeklarasikan diri sebagai seorang manusia koperasi, ingin menolong diri sendiri (self help) dengan cara-cara bekerjasama dan menciptakan masyarakat setara sebagai cara hidup ; bagi semua, laki-laki -perempuan, tua-muda, orang yang beragama-atheis, kaya-miskin. Tanpa ada deskriminasi sedikitpun. Tujuan akhir adalah menciptakan masyarakat dunia yang humanistik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koperasi Pendidikan, Sebuah Alternatif Pendidikan

10 Juni 2011   17:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Dodi Faedlulloh

Avant Propos

Konstitusi negara telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Adalah suatu keniscayaan bila negara harus bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi rakyatnya. Namun ternyata apa yang telah menjadi amanah tersebut kini seakan dilupakan. Berbagai macam permasalahan pendidikan terus bertumpuk, semakin hari semakin membesar dan menjadi sulit untuk diselesaikan.

Membincangkan masalah pendidikan di Indonesia memang sangat complicated. Bak benang kusut, butuh kesabaran dan kejelian untuk kembali meluruskannya. Dari hal kualitas, fasilitas, akses sampai bentuk komersialisasi pendidikan menjadi menu utama yang disajikan dalam daftar rincian masalah. Pendidikan telah menjelma menjadi komoditas, diperjualbelikan yang terpampang di etalase ekslusif ‘mall pendidikan’ bernama sekolah ataupun perguruan tinggi.
Pendidikan sejatinya bersifat egaliter yang membuka ruang seluas-luasnya bagi semua orang. Tapi kini filosofi pendidikan sudah terdistorsi, berubah menjadi elitis. Tengokt saja, hari ini sekolah-sekolah terfragmentasi, cendrung deskriminatif, semacam ada kelas-kelas tertentu. Ada ‘kelas ekonomi’ untuk orang-orang yang tidak mampu, kemudian ‘kelas VIP’ khusus bagi orang-orang yang memiliki duit lebih. Keadaan demikian pun berlaku di perguruan tinggi, bahkan lebih ganas, karena pasca BHP ditolak, pemerintah masih terus memperlihatkan geliat-geliatnya untuk kembali berlaku sama : lepas dari tanggung jawab. Sebuah kelucuan yang sama sekali tidak bisa ditertawakan.

Bertahun-tahun pendidikan di Indonesia terselenggara, tambal-sulam pun terjadi untuk memperbaiki mutu pelayanan pendidikan, akan tetapi sama sekali langkah yang diperbuat oleh pemerintah tidak sampai merubah substansi yang ada. Pendidikan masih begitu-begitu saja, begitu pula permasalahan-permasalahannya.

Problematika

Wajah pendidikan di Indonesia terlalu suram untuk diceritakan. Pendidikan tak ubahnya komoditas menarik yang diperjual-belikan oleh segelintir pihak. Hanya mereka yang mampu yang bisa mendapat akses pendidikan. Bila menyebut akar permasalahannya adalah neoliberal, penulis 100 persen sepakat. Negara sudah benar-benar alfa, negara tidak mau lagi menyelenggarakan pendidikan secara terencana. Mekanisme pasar menjadi jalan satu-satunya dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Pendidikan yang diasuh secara neoliberal ini berdampak luas, selain memarjinalkan kaum miskin, secara tidak langsung malah semakin mendistorsi makna pendidikan secara filosofis. Karena pendidikan sudah dianggap sebagai barang dagangan semata, akhirnya orang-orang mulai melupakan secara perlahan tentang esensi dari pendidikan itu sendiri.

Presiden pertama, Soekarno pernah berkomentar tentang gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara. Esensi dari pendidikan ala Ki Hajar Dewantara adalah membangkitkan semangat perjuangan dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi mendatang.

Melihat situasi riil, harapan Ki Hajar Dewantara bak jauh panggang dari api. Orientasi pendidikan nasional telah melenceng jauh dari garis perjuangan. Pendidikan tidak lagi bersifat membebaskan, malah menjadi penyubur lahan neoliberalisasi. Generasi yang progresifi yang diharapakan Ki Hajar Dewantara malah menjadi tumpul karena pendidikan memang diproyeksikan untuk menjadikan para siswa untuk sekedar menjadi robot-robot yang tunduk terhadap hegemoni kapitalisme, sekedar mampu melayani akumulasi profit dan penyedia tenaga kerja murah untuk industri kapitalis. Ironis.

Sistem pendidikan Indonesia semakin salah kaprah saja. Misal kurikulum yang terus menurus berganti namun tanpa arah yang jelas, serta sistem yang mengutamakan efisiensi dan pemadatan materi malah semakin menyiksa para siswa. Tidak ada kesempatan bagi para siswa untuk mengembangkan nalar, berkarya, dan berimajinasi. Siswa harus tunduk, A ya A, tidak ada pilihan lain.

Problematika pendidikan terus menerus semakin bercabang. Gedung sekolah rusak, prestasi para siswa yang menurun, sampai kesejahteraan guru pun menjadi masalah-masalah yang hadir di permukaan. Dengan kondisi demkian, adalah sangat sulit menuju perubahan sosial melalui jalur pendidikan.

Model pendidikan yang ada hari ini sangat sulit diharapkan, kecuali jika negara tiba-tiba saja berubah menjadi malaikat penolong yang baik hati untuk turun menolong rakyatnya yang tertindas.

Demokratisasi Pendidikan

Demokrasi, kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga. Kata yang sering kali didengungkan oleh media massa, para aktivis, atau para politikus ini seakan telah menjadi suatu obat penenang pasca lengsernya orde baru yang otoratarian. Demokrasi selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik di gedung parlemen, di kampus bahkan sampai di warung kopi. Tapi definisi demokrasi yang berkeliaran dari mulut ke mulut ini cendrung reduktif dan sempit, hanya terbatas dalam arena politik saja. Ada pilar-pilar lain yang alfa dalam demokrasi di Indonesia, semisal demokrasi ekonomi, atau demokrasi lain. Yang akan dikaji dalam tulisan ini, yakni demokrasi pendidikan.

Demokrasi pendidikan, paduan kata yang mungkin agak sedikit terdengar asing. Sebagaimana pengertian demokrasi dalam arena politik yang bermakna dari, oleh dan untuk rakyat begitu pula maksud dari demokrasi pendidikan. Demokrasi pendidikan sebagai sebuah konsep pendidikan pun harus memiliki karakteristik demokrasi sejati, yakni adanya keterlibatan rakyat sebagai aktor yang harus senantiasa berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan, adanya persamaan dan perlindungan hak bagi seluruh rakyat, serta adanya kebebasan yang dimiliki oleh rakyat.

Sejalan dengan bergulirnya arus wacana demokrasi, rakyat pun kini menuntut atas demokratisasi atas layanan publik. Institusi-institusi layanan publik pun dituntut untuk memberlakukan transparansi, partisipasi dan tindakan demokratis lainnya agar rakyat benar-benar bisa terlibat dan beraspirasi penuh dalam segala bentuk kegiatan yang diselenggarakannya.

Pendidikan sebagai salah satu layanan publik mendapat perhatian yang sama. Seperti yang diketahui, ada dua elemen utama penyedia pelayanan pendidikan (education providers) di Indonesia, yaitu negara (pemerintah) dan privat (swasta). Kedua elemen tersebut wajib tunduk kepada amanat kontitusi, namun begitulah antara idealita dan realita seringkali menemui kontradiksi. Pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai hak, tapi lebih menjadi bisnis semata. Sekolah berlabel negeri, maupun sekolah swasta bahkan hingga tingkat perguruan tinggi menawarkan menu kualitas pendidikan disertakan pada biaya pendidikan.

Membicarakan layanan publik sebenarnya tidak melulu harus kedua elemen tersebut yang menjadi penyelenggara utama. Di negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Colombia, Denmark, Norwegia dan negara yang koperasinya tumbuh besar dan sehat menjadikan badan hukum koperasi sebagai alternatif penyelenggara layanan publik. Bahkan dari pengalaman yang ada, layanan publik yang disediakan koperasi memperlihatkan tingkat pelayanan yang lebih baik dikomparasikan dengan yang diselenggarakan oleh negara maupun swasta kapitalistik.

Ada yang luput dalam paradigma penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sebenarnya ini tidaklah asing bagi rakyat Indonesia, namun kiranya hal ini masih dianggap ‘aneh’ bila disandingkan dengan sektor pendidikan, yakni koperasi. Posisi koperasi sebagai badan hukum koperasi tentunya memiliki kelebihan tersendiri yakni kepemilikan dan pengelolaannya yang lebih demokratis. Desain dari, oleh dan untuk rakyat bisa diaplikasikan dalam bentuk koperasi pendidikan.

Adalah wajar bila masih banyak orang yang akan terheran-heran mendengarkan kata koperasi pendidikan. Apalagi melihat realitas semerawutnya situasi perkoperasian di Indonesia. Term ‘koperasi’ selalu diasosiasikan dengan bentuk usaha ekonomi dengan skala kecil menjadi kesesatan berpikir dalam berkoperasi di Indonesia. Koperasi yang hanya dijadikan alat negara dan ajang politisasi menjadikan koperasi kerdil, baik secara makna, nilai, dan jatidirinya.

Koperasi adalah bentuk usaha kecil, untuk orang kecil dan akan selamanya kecil, itulah mungkin yang selalu diidentikan dengan koperasi di Indonesia. Berangkat dari kesalahan fatal ini semakin membuat langkah koperasi sulit berkembang. Padahal bila menyempatkan diri untuk lebih mendalami koperasi, tentu akan menemukan hal yang luar biasa dalam tubuh koperasi. Bila pihak swasta berbentuk perkumpulan modal (capital based association) yang mana sang pemilik modal memiliki otoritas dominan, beda halnya dengan koperasi yang bentuknya adalah perkumpulan orang (people base association). Demokrasi dijungjung tinggi dalam koperasi, seperti halnya dalam demokrasi politik dikenal dengan istilah ‘one man one vote’, begitu juga dalam koperasi. Siapapun dia memiliki hak yang sama dalam koperasi.

Koperasi pendidikan bisa menjadi alternatif ditengah kejumudan pendidikan di Indonesia. Koperasi bersifat sukarela dan terbuka (voluntary and open membership) jadi semua pihak bisa ikut tergabung menjadi anggota. Dalam koperasi pendidikan tersebut rakyat baik murid, mahasiswa, alumni, orang tua murid, pegawai, guru, dosen ataupun rektor adalah pemilik bersama institusi pendidikan. Mereka menciptakan sinergi dinamis dalam menghasilkan karya-karya pendidikan sesuai dengan yang diperlukan oleh anggota. Semua tindakan koperasi adalah hasil bersama, tidak ada kata karena saya, kamu, atau dia tapi kita.

Koperasiasi Pendidikan

“Untuk mengubah suatu bangsa, maka ubahlan sistim pendidikannya. Karena pendidikan adalah tiang untuk kekokohan suatu bangsa.”

Begitulah Soekarno berkata tentang pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa. Bila sistem pendidikannya bersifat menindas, alhasil orang-orang yang terdidik dengan sistem demikian akan menjadi penindas di kemudian hari. Jika sistem pendidikannya instant, akan menghasilakan para kaum terpelajar yang berpikir instant juga. Begitu pula jika sistem pendidikannya bersifat humanis, akan menghasilkan manusia yang humanis pula, mengetahui tentang hakikat kehidupan dan tetap tidak mengabaikan intelektualitas.

Hari ini yang diperlukan adalah perombakan sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai tawaran pendidikan alternatif dari penulis adalah koperasi pendidikan.

Konsep koperasi pendidikan terkesan mengada-ada. Hal ini bisa dimaklumi bila menengok perkoperasian di Indonesia yang kelam, tak ada yang bisa dijadikan percontohan. Koperasi mengalami nasib sial. Selain Undang-Undangnya sendiri (UU No. 25 Tahun 1992) tidak memberikan landasan yang cukup baik agar koperasi berjalan sesuai dengan filosofinya, pemerintahpun tidak menganggap koperasi ini sebagai bentuk badan hukum yang layak apa lagi untuk mengelola pendidikan. Namun dalam kesempatan ini, penulis tidak akan membahas tentang pengkerdilan makna koperasi yang menjadi cikal bakal kesalah-pahaman masyarakat tentang koperasi sejati.

“Mengapa harus koperasi pendidikan ?” mungkin itu yang jadi pertanyaan.

Alasan pertama, berawal dari cerita seorang guru honorer kepada penulis tentang ketidak-sejahteraan mereka. Dibebani tugas yang sama dengan guru tetap namun hanya diberi imbalan sekenanya. Ada yang hanya sampai 50.000 rupiah/bulan. Kebutuhan ekonomi para guru honorer jelas tidak bisa terpenuhi oleh gaji yang masih jauh dari kata cukup.

Yang menjadi korban sistem pendidikan hari ini bukan hanya siswa atau orang tua siswa, begitu juga dengan tenaga pendidiknya. Dengan gagasan koperasi pendidikan diharapkan dapat membuka lebar pemecahan masalah kebutuhan ekonomi para tenaga pendidiknya.

Alasan kedua, keluh kesah para siswa yang terjebak dalam kekakuan kurikulum disekolah-sekolah. Siswa tidak lagi bisa membebaskan dirinya karena sekolah sudah menjadi penjara bagi para siswanya. Tak begitu berbeda, di perguruan tinggi pun sama, sistem pendidikan yang diberlakukan sangat kaku, mahasiswa dipaksa berkompetisi hanya untuk mengejar nilai dan kelulusan. Sistem seperti ini sama sekali tak sehat, hanya akan menciptakan generasi apatis. Dengan koperasi pendidikan, muncul harapan nantinya siswa juga akan turut serta dalam menciptakan suasana yang kondusif serta partipasi metode pendidikan yang sesuai dengan harapan para siswa yang tentunya bersifat membebaskan untuk mengembangkan nalar, berkarya, dan berimajinasi. Karena ini koperasi dan diwacanakan menjadi pendidikan alternatif, selama keputusan yang hadir merupakan kehendak dari para anggota, tidak masalah jika harus out of the box sistem pendidikan versi pemerintah hari ini, bahkan koperasi pendidikan hadir agar bisa keluar dari kerangkeng besi sistem pendidikan yang telah usang.

Alasan selanjutnya, selain melakukan salah satu prinsip koperasi : partisipasi ekonomi, para orang tua siswa sebagai anggota pun bisa turut berpartisipasi sumbangsih saran dan gagasan untuk kebaikan koperasi pendidikan yang dikelola bersama. Transparansi dana kolektif yang dibayarkan para orang tua bisa dengan mudah dilakukan, karena pengendalian koperasi itu sendiri adalah oleh anggota secara demokratis.

Ketiga alasan di atas, walau masih dalam bentuk sederhana bisa menjadi fondasi dasar pendidiran koperasi pendidikan sebagai alternatif di tengah bobrok dan boroknya sistem pendidikan kontemporer.
Koperasi pendidikan bisa menjadi countervailing dari bentuk neoliberalisasi pendidikan yang ada hari ini. Jika sekolah-sekolah yang sering hadir bersifat deskriminatif, tidak dengan koperasi. Kritik Paulo Freire tentang gugatannya terhadap sistem pendidikan yang dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin bisa diaplikasikan dengan bentuk koperasi pendidikan ini. Karena koperasi bersifat suka rela dan terbuka, siapa saja berhak menjadi anggotanya. Apa lagi bila melirik nilai-nilai yang dikedepankan koperasi seperti : keswadayaan, tanggungjawab, demokrasi, kebersamaan, kesetaraan, keadilan dan kesetiakawanan sangat jauh dari nilai-nilai kapitalistik yang bersifat menindas.

Sebagai permulaan, koperasi pendidikan bisa didiirikan oleh siapa saja. Misal, sekumpulan orang yang concern dengan pendidikan dan mempunyai tujuan kolektif yang sama. Kemudian mengumpulkan dana kolektif, dana tersebut sebagai bentuk komitmen bersama untuk membangun koperasi. Perlu diingat dalam koperasi prinsipnya capital is not master, but servant. Modal bukan penentu tapi hanyalah sebagai pembantu, maka yang dihargai sekali lagi adalah orangnya dan bukan modal yang ditanamkan.

Karena kekuasaan tertinggi dalam koperasi adalah Rapat Anggota, maka para anggota diwajibkan berpartispasi dalam menentukan arah kebijakan. Tiap-tiap anggota harus turut aktif dalam rapat-rapat koperasi terutama dalam penentuan-penentuan keputusan strategis. Dalam rapat awal tersebut para anggota menentukan siapa yang menjadi pengurus sesuai dengan kebutuhan dengan struktur organisasi tidak harus melulu sama dengan koperasi biasanya.

Koperasi pendidikan ini bentuknya semi-koperasi pekerja (worker co-op) sehingga perlu rasionalisasi dalam menentukan tenaga kerja dan pengurus yang diperlukan agar tidak mengalami proliferasi. Setelah distribusi peran terbagi secara proposional dan profesional, sesuai dengan prinsipnya, sukarela dan terbuka, tanpa ada paksaan koperasi pendidikan terbuka bagi siapa pun untuk bisa menjadi anggota dan pemilik koperasi, tanpa ada deskriminasi, tidak melihat status sosial, ras ataupun agama.
Tentang penghasilan tenaga pendidik bisa didapat dari simpanan dan iuran orang tua yang dianggarkan berdasar musyawarah mufakat. Atau dari karya-karya pendidikan, semisal jurnal, media, atau buku yang dibuat dan dirilis oleh orang-orang yang tergabung dalam gerakan koperasi pendidikan. Koperasi pendidikan memang menuntut orang-orang yang didalamnya untuk terus berinovasi, agar tidak terjebak dalam metode pendidikan yang biasa.

Koperasi mempunyai keunggulan untuk menjadi sebuah bentuk perusahaan yang didasarkan pada pemikiran realistis membangun usaha yang didasarkan pada konsep efisiensi kolektif. Efisiensi kolektif ini dapat dari besaran partisipasi aktif anggotanya dalam permodalan maupun transaksi yang minimal telah impas (break even point). Semakin besar anggotanya, semakin besar perputaran (turn-over) dari pelayanan koperasi. Demikian usaha-usaha koperasi semakin efisien. Dengan begitu, bila basis anggotanya sudah kuat tidak menutup kemungkinan penghasilan lain bisa didapat dari unit usaha baru, misalkan dibangun pula koperasi konsumen sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari anggota. Dengan ini, bahkan pemenuhan aspirasi ekonomi tak melulu bagi tenaga pendidik saja, tapi juga bisa bagi siswanya dan orang tua siswa atau bahkan masyarakat sekitar yang menjadi anggota. Sungguh menarik bukan ?

Fermeture: La Révolution De Coopération

Koperasi pendidikan bisa menjadi sebuah alternatif di tengah kondisi arus dan belenggu neoliberal yang mencengkram bumi pertiwi, sehingga negara tidak lagi berkeinginan untuk mencerdaskan rakyatnya. Namun sesuai dengan pekemnya, koperasi adalah gerakan sekumpulan orang (bukan kumpulan modal) jadi yang diperlukan adalah komitmen dari para cooperators untuk bekerjasama, aktif dan menjaga semangat juang.

Sedari awal koperasi sudah anti terhadap penindasan dan ingin menegakkan keadilan dalam segala bentuknya musti berdiri di garda paling depan, melakukan perlawanan dan menetapkan diri dalam garis revolusi. Dengan jalan koperasi pendidkan berarti kita akan bersama-sama melakukan revolusi terhadap sistem pendidikan yang ada hari ini.

Gagasan koperasi pendidikan sebagai bentuk perjuangan tentu tidak akan berjalan mulus begitu saja, akan ada hambatan dan tantangan menjadi keniscayaan. Namun tak perlu khawatir, bukankah inti dari koperasi adalah kesadaran penuh untuk bekerjasama dan bertanggung-jawab atas seluruh tindakan yang kita lakukan. Jadi mengapa harus takut ? []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun