Seorang teman saya berbagi sebuah foto di media sosial yang menyebut-nyebut kata "konde". Dari foto tersebut, saya menjadi teringat sebuah artikel di BBC Indonesia yang dimuat pada tanggal 18 Februari 2016 dengan judul “Anak-anak muda Indonesia makin radikal?” Artikel tersebut mengangkat hasil beberapa penelitian yang antara lain dilakukan oleh LIPI, survei oleh LaKIP, dan survei oleh The Pew Research Center menunjukkan peningkatan kecenderungan radikalisme di kalangan anak muda di Indonesia.
Penelitian oleh LIPI yang dilaksanakan di lima universitas di Indonesia (UGM, UI, IPB, UNAIR, dan UNDIP) di tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konservatisme agama di kalangan mahasiswa. Dari hasil survei LaKIP di tahun 2010-2011 menunjukkan hampir 50% pelajar di 100 sekolah setingkat SMP dan SMA di Jakarta setuju dengan penggunaan kekerasan dalam merespon masalah moralitas dan keagamaan. Sedangkan survei The Pew Research Center di tahun 2015 menyatakan sekitar 4% atau 10 juta warga Indonesia – dan sebagian besar merupakan anak muda – mendukung ISIS.
Dengan keadaan yang saya sampaikan di atas, saya ingin mengajak kepada semua pihak untuk lebih memperhatikan pendidikan bagi generasi muda kita. Tanggung jawab pendidikan ada di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Akan tetapi keluarga dan sekolah mempunyai peran yang paling besar di sini – yang bisa memegang kendali – untuk bisa membekali anak-anak kita dengan kemampuan berpikir kritis sehingga ketika ada pihak yang ingin mengarahkan mereka ke arah radikalisme, anak-anak kita sebagai pribadi yang merdeka bisa mengambil keputusan yang tepat dengan akal pikiran yang sehat dan jernih, apakah pemahaman-pemahaman yang dibawa oleh pihak-pihak ini akan membawa kebaikan kepada seluruh masyarakat.
Di keluarga, komunikasi antar orang tua dan anak sangatlah penting. Orang tua perlu membuat kehidupan sehari-hari, aktivitas sehari-sehari, sebagai sarana bagi anak untuk belajar, terutama belajar mengasah akal pikiran untuk berpikir kritis dan membangun kecerdasan sosial mereka. Tanggung jawab orangtua bukan hanya pada menyediakan materi untuk pendidikan anak, akan tetapi orangtua harus ikut aktif dalam membantu pembentukan pola pikir anak. Kita ingat, beberapa kasus telah terjadi ketika anak tiba-tiba menghilang, dan setelah ditemukan ternyata mereka bergabung dengan kelompok-kelompok tertentu.
Di sekolah, peran paling besar ada di guru. Karena itu, guru sebenarnya bukanlah pekerjaan main-main. Guru seharusnya bukan profesi yang dipilih ketika seseorang merasa tidak punya pilihan pekerjaan lain. Tanggung jawab guru sangatlah besar. Guru bertanggung jawab dalam ikut serta membentuk pola piker anak didiknya. Jadi untuk para guru yang sekarang masih asal-asalan dalam mengajar. Yang mengajar hanya dengan menempatkan “mendapat penghasilan” sebagai prioritas utama, anda harus berkaca lagi apakah anda pantas menjadi guru. Kalau memang anda menyadari betapa sangat pentingnya peran seorang guru, segeralah belajar; bekali diri anda dengan pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni agar anda bisa membantu anak didik anda menjadi individu yang bisa bermanfaat bagi orang banyak – bukan individu yang hanya mementingkan prestasi diri sendiri.
Lalu, apa materi utama yang sangat mendesak untuk diberikan kepada anak-anak kita agar mereka tidak menjadi radikal? Ajaklah mereka untuk mengenal keberagaman. Ajaklah anak-anak kita untuk memahami bahwa di dalam masyarakat, kita tidaklah seragam. Kita terdiri dari berbagai perbedaan. Tetapi perbedaan ada bukan untuk membuat kita berseteru, perbedaanlah yang membuat hidup kita lebih lengkap; perbedaanlah yang membuat kita bisa saling membantu – saling mengisi. Dan ketika kita menyadari pentingnya perbedaan, maka kita tidak ingin menyeragamkan, kita tidak menganggap diri yang paling benar dan memaksakannya kepada mereka yang berbeda. Kita tidak akan menjadi radikal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H