Mohon tunggu...
Dodi Bayu Wijoseno
Dodi Bayu Wijoseno Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar, membuat hidup lebih indah

Penyuka Sejarah, hiking dan olah raga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur: Rekaman Seni Bermusik dalam Bingkai Perjalanan Sejarah dan Waktu di Relief Candi Borobudur

13 Mei 2021   19:34 Diperbarui: 13 Mei 2021   19:35 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Sumber gambar: Jan-Pieter Nap/wikimedia.org

Ketika masih kecil dulu dan saat libur kenaikan kelas biasanya saya berlibur ke rumah kakek dan nenek yang ada di kota Yogyakarta, salah satu agenda dalam liburan tersebut biasanya saya selalu diajak berwisata ke Candi Borobudur bersama kakek dan saudara-saudara saya. Sama seperti banyak anak lainnya, pengalaman pertama dalam ingatan ketika mengunjungi Candi Borobudur adalah terkagum-kagum dengan bangunannya yang megah hingga setelah beberapa kali kunjungan dan seiring bertambahnya usia , cara pandang terhadap bangunan ini berubah dari sekedar kagum menjadi ingin tahu sejarahnya. Kebiasaan almarhum kakek saya mengajak jalan-jalan ke tempat yang bersejarah membuat saya senang dengan segala hal yang berbau sejarah hingga hari ini.

Seingat saya setelah lepas usia remaja saya sudah jarang mengunjungi Candi Borobudur. Saya kembali lagi ke Candi Borobudur beberapa tahun yang lalu dalam event lari Marathon. Yang pertama pada event Borobudur Marathon 2016 di mana saya menyelesaikan lari jarak Half Marathon: 21 km dan yang kedua pada event Borobudur Marathon 2018 di mana saya menyelesaikan lari jarak Full Marathon: 42 km. Sebenarnya kalau mengikuti event lari di luar kota (saya tinggal di Jakarta)  tujuan utamanya adalah pergi ke tempat-tempat bersejarah untuk sekedar membuat tulisan ringan mengenai situs-situs bersejarah di kota tersebut.

Event lari  beberapa tahun yang lalu tersebut membawa saya kembali ke  Candi Borobudur, sebuah   mahakarya arsitektur dari abad ke-9 yang telah lama menjadi salah satu ikon Wonderful Indonesia.  Menurut sejumlah sumber,  UNESCO telah menetapkan Candi Borobudur sebagai salah satu warisan budaya dunia dan monumen Budha termegah dan terlengkap di dunia. Pintasan kenangan masa kecil terhadap Candi ini masih terus membawa kekaguman hingga hari ini dan tidak hanya sekedar kekaguman saja tetapi juga  ingin mengetahui setiap kisahnya secara lebih mendalam karena perjalanan kembali ke Borobudur waktu itu membawa  sebuah sudut pandang baru dalam memahami bangunan megah ini.

Borobudur membingkai perjalanan panjang sebuah sejarah peradaban besar manusia

Candi Borobudur tidak hanya sekedar bangunan yang megah saja, selain fungsinya untuk tujuan keagamaan dan peribadatan,perjalanan panjang sejarah sebuah kebudayaan,  termasuk sejarah kesenian terekam dan terbingkai dalam salah satu reliefnya dari berbagai relief yang berjumlah sekitar 1,460-an panel. Dalam ilmu sejarah, para sejarawan membuktikan keautentikan sebuah sejarah dimasa lalu dengan cara meneliti catatan tertulis yang ada maupun dengan bukti-bukti peninggalan  arkeologis yang ditinggalkan untuk memahami secara lebih baik sebuah tingkat kebudayaan yang pernah dibuat oleh manusia.  

Borobudur adalah artefak dan peninggalan arkeologis luar biasa yang membuktikan salah satu peradaban maju nenek moyang bangsa Indonesia di masa lalu dan narasinya digambarkan dalam bahasa visual yang dapat diteliti pada  relief yang terdapat di dalam Candi Borobudur. Meski sempat nyaris "hilang" karena pengaruh waktu dan alam namun reruntuhannya ditemukan pada tahun 1814  ketika Raffles menjadi Gubernur Jenderal dan menguasai Jawa. Beberapa pemugaran dilakukan oleh pemerintahan Kolonial setelahnya.

Dari sejumlah pahatan pada reliefnya diketahui adanya sejumlah alat musik yang digambarkan dalam panel-panel reliefnya. Seni selalu berjalan seiring dengan sejarah panjang peradaban manusia sendiri dan menjadi salah satu pencapaian penting dalam peradaban dan kebudayaannya. 


Ketika melihat rekaman video  sejumlah pemusik memainkan alat musik yang unik di kanal youtube milik akun Sound of Borobudur di atas beberapa waktu lalu, saya baru tersadar kalau Candi Borobudur tidak hanya sekedar bercerita  tentang sejarah saja tetapi juga tentang kesenian khususnya seni bermusik di masa lalu yang dulu tidak pernah terpikirkan ketika mengunjungi Candi Borobudur ini.  Alat-alat musik  dari relief Candi Borobudur tersebut dibuatkan replikanya dan dibunyikan di acara Sound of Borobudur bersama artis-artis musik kenamaan seperti Trie Utami, Dewa Bujana dan lain-lain

Alat Musik di Salah satu Relief Candi Borobudur. Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.id  
Alat Musik di Salah satu Relief Candi Borobudur. Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.id  
Mengutip informasi dari Perpustakaan Balai Konservasi Borobudur (perpusborobudur.kemdikbud.go.id), alat-alat musik tersebut terdapat pada relief Karmawibhangga. Terdapat 10 panel yang memuat jenis alat musik, adapun jenis alat musik yang terdapat pada relief terdiri atas 4 jenis yaitu:
  1.  Jenis idiophone (kentongan dan kerincingan)
  2. Jenis Membraphone (gendang, kentingan)
  3. Jenis Chardophone (gambus, rebab)  
  4. Jenis Aerophone (suling, terompet)

Diantara berbagai alat musik,  saya pribadi memiliki ketertarikan kepada alat musik berdawai   seperti biola, viola (biola Alto),cello, contrabass dan sejenisnya, konon nada-nada ekspresif dan dinamis dalam biola dapat mewakili berbagai gaya bermusik. Perpaduan nada dinamis dan harmonis dalam biola baik yang terdengar riang , sedih atau jenaka memiliki kemampuan untuk membangkitkan hampir semua suasana hati. Ketika dulu saya bersemangat membaca literatur mengenai biola-biola legendaris seperti Amati, Antonio Stradivari atau Guarneri del Gesu saya tidak sadar bahwa terdapat juga banyak kisah mengenai alat-alat musik berdawai lainnya sebagaimana yang digambakan dalam salah satu relief Candi Borobudur yaitu apa yang dinamakan dengan  waditra (instrumen musik)  berdawai (chrodophone). Sound of Borobudur membuka wawasan saya untuk hal ini.

Sebagaimana ditulis oleh  Arkeolog  Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono dalam artikelnya yang berjudul  "Seni Musik di Relief Candi dan Upaya Transformasi" dari berbagai macam alat musik di relief Candi Borobudur terdapat alat musik yang dikategorikan sebagai waditra berdawai (chrodophone), yakni suatu jenis instrumen musik yang terdiri dari satu atau lebih dawai dan resonator, yang sumber bunyinya berasal dari dawai yang dipetik, digesek atau meski jarang ada pula yang dipukul dengan tongkat kayu.

Lebih lanjut masih menurut tulisan M. Dwi Cahyono pada relief di Candi Borobudur ini ditampilkan tiga ragam bentuk waditra berdawai menurut bentuk resonatornya, yaitu: (1) resonator gemuk, dan (2) resonator langsing. Terdapat dua varian dari waditra dengan resonator berbentuk gemuk yaitu: (1a) neck lurus panjang namun jumlah tuning peg kurang jelas, dan  (1b) neck membengkok ke arah kanan bagian atas dengan tuning peg berjumlah empat. Waditra  dengan resonator langsing mengarah pada bentuk relatif persegi panjang, neck lurus panjang dan tuning peg berjumlah dua.

Alat-alat musik berdawai tersebut  kemudian didiskusikan oleh pihak-pihak terkait untuk kemudian  dibuatkan replikanya sehingga apa yang tadinya tergambar di relief Candi Borobudur diinterpretasikan dan diwujudkan ke dalam dunia nyata dalam sebuah bentuk alat musik yang bisa dibunyikan dan dimainkan, tentu butuh usaha yang keras dan dedikasi yang luar biasa dari para seniman musik untuk mewujudkan alat musik ini pada saat ini. Alat-alat musik tersebut yang pada akhirnya dibunyikan dan dimainkan dalam Sound of Borobudur yang banyak mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak dan masyarakat umum. 

Kemungkinan Borobudur menjadi tempat interaksi pertemuan kesenian dan alat-alat musik dari berbagai tempat


Relief kapal berlayar di Candi Borobudur. Sumber gambar:  MichaelJLowe/wikimedia.org
Relief kapal berlayar di Candi Borobudur. Sumber gambar:  MichaelJLowe/wikimedia.org

Adanya kemungkinan bahwa cikal bakal bentuk alat-alat musik tersebut  berasal dari beberapa tempat atau bahkan dari tempat yang sangat jauh membuka kemungkinan Borobudur adalah sebagai tempat pertemuan alat-alat musik dari berbagai tempat di dunia. Hal tersebut sangatlah menarik karena sebagaimana dituliskan dalam artikel " Ekspedisi Perahu Borobudur Samudra Raksa" (lipi.go.id, 2017) terdapat bukti-bukti sejarah mengenai adanya jejak-jejak pengelana (phantom voyagers)  dari bumi Indonesia yang telah mencapai Afrika di masa lalu, yang menimbulkan sebuah pertanyaan bagaimana caranya pengelana tersebut dapat sampai di tempat yang sangat jauh di seberang samudra. 

Salah satu petunjuk kunci  yang mungkin dapat membantu  memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah penggambaran perahu layar bercadik ganda yang terpahat pada relief Candi Borobudur. Relief tersebut menjadi salah satu bukti adanya pengembangan kebudayaan bahari oleh Kerajaan Mataram kuno di Jawa tengah pada masa itu. Kapal dari relief tersebut akhirnya dibuatkan replikanya oleh seorang pembuat kapal ulung di Indonesia, kapal kayu replika tersebut dibuat tanpa menggunakan paku. Sebagaimana dituliskan oleh Nuswantoro dalam artikelnya yang  berjudul " Kapal Samudra Raksa, Kejayaan Maritim Nusantara di Pahatan Borobudur." di laman mongabay.co.id,  Kapal  layar Samudra Raksa berhasil melakukan eskpedisi pada 15 Agustus 2003, dari Ancol dan berakhir pada tanggal 23 Februari 2004 di Pelabuhan Tema, Accra, Ghana, Afrika Barat.

Selain interaksi perdagangan di masa lampau, interaksi kebudayaan dan kesenian pasti terjadi di antara nenek moyang bangsa Indonesia dengan orang-orang yang ditemuinya di tempat-tempat yang disinggahinya ketika berlayar. Saling mempelajari kesenian  dan  kebudayaan termasuk seni bermusik  yang pada akhirnya mereka membawa pulang hal-hal baru yang dipelajari tersebut lalu dikembangkan dengan cara sendiri  menjadikan Indonesia menjadi begitu kaya akan seni budaya dan berbagai jenis alat musik untuk berkesenian dan bermusik . Mungkin hal tersebut yang dinarasikan dalam pahatan relief di Candi Borobudur sehingga membuka kemungkinan bahwa Borobudur juga sebagai pusat musik dunia.

Meskipun saat ini Candi Borobudur adalah tempat tujuan  wisata namun perlu diingat bahwa Candi Borobudur pada awalnya juga merupakan tempat ibadah dan masih  digunakan sebagai tempat ritual keagamaan Budha pada waktu-waktu tertentu, jadi jangan lupa sopan santun perlu dijaga di tempat ini. Kemegahan Borobudur akan terus berjalan melintasi waktu hingga abad-abad mendatang dan mengisahkan kisah-kisah besarnya kepada setiap generasi dan bukan tidak mungkin apa yang belum semuanya terungkap saat ini akan terungkap di masa depan. Semoga kita semua dapat melestarikan peninggalan sejarah, budaya dan kesenian sebagai salah satu pencapaian  penting dalam perjalanan panjang sejarah peradaban umat manusia. 

Terima kasih Borobudur yang telah memberikan inspirasi dan pembelajaran, semoga setelah selesai masa pandemi ini bisa berkunjung kembali ke sana.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun