Belum lagi sejumlah laporan dari masyarakat pemanen hasil hutan yang masih mengaku melihat sosok harimau loreng meskipun laporan-laporan tersebut harus dikaji secara lebih mendalam lagi.Â
Sebagai tambahan informasi, Indonesia memiliki tiga subspesies Harimau, yaitu Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica)Â dan Harimau Bali (Panthera tigris balica).
Dari ketiga subspesies harimau tersebut hanya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang saat ini masih eksis dan menjadi satwa yang dilindungi di Indonesia, kedua subspesies lainnya yaitu Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan  Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) telah dinyatakan punah.
Perjalanan kepunahan Harimau Jawa, sang raja hutan tanah Jawa
Sedikit agak melebar dari pembahasan dan sebagai tambahan informasi, proses menyedihkan kepunahan Harimau Jawa ternyata sudah dimulai sejak jauh di masa lampau.
Pada masa lampau terdapat sebuah tradisi yang dikenal dengan nama Rampogan Macan sebuah tradisi yang mengorbankan Harimau dan kucing-kucing besar tanah Jawa lainnya seperti macan tutul dan macan kumbang.
Robert Wessing dalam artikelnya yang berjudul:Â A Tiger in the heart: The Javanese Rampok Macan" (1992), memaparkan tradisi yang biasanya dilakukan di alun-alun ini biasanya terbagi atas dua bagian: bagian pertama mengadu harimau atau macan tutul/kumbang dengan banteng/kerbau dan bagian kedua menombak harimau atau macan tutul/kumbang secara beramai-ramai yang dilakukan oleh orang-orang yang mengelilingi alun-alun dengan tombak panjang yang mereka bawa.
Dalam artikelnya, Robert Wessing juga memaparkan bahwa sejak abad ke-18 Rampogan Macan lazim diselenggarakan di alun-alun Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Pada tahun 1791, Rampogan Macan menjadi acara rutin ketika Raja Yogya atau Surakarta menerima tamu Eropanya. Penggambaran detail mengenai pertarungan antara kerbau dan harimau juga terdapat dalam buku terjemahan  yang berjudul: "Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa" karya Tim Hannigan (2018:296).Â
Ada kemungkinan pula bahwa tradisi serupa ini telah ada pada abad-abad yang lampau meskipun tidak ditemukan catatan tertulisnya.