Pagi hari tanggal 19 Desember 1948, dengan mendapatkan perlindungan tembakan dari pesawat pembom dan pemburu Belanda, 2 kompi Pasukan payung elite Belanda KST (Korps Speciale Troepen) diterbangkan langsung dengan pesawat angkut C-47 Dakota dari pangkalan militer Andir Bandung dan diterjunkan di atas pangkalan udara Maguwo (saat ini  bernama Bandara Adi Sucipto) Yogyakarta . Pasukan payung KST Belanda yang mengenakan baret berwarna merah mendapat tugas untuk langsung melakukan perebutan pangkalan udara Maguwo.
Meski pasukan pertahanan pangkalan udara Maguwo memberikan perlawanan sengit namun karena kalah jumlah dan persenjataan, pasukan payung elite KSTÂ Belanda tersebut dapat dengan cepat melumpuhkan pertahanan pangkalan dan segera menguasai pangkalan udara Maguwo yang menjadi titik kritis operasi "Gagak" ini.
Begitu pasukan payung KST menguasai pangkalan udara Maguwo dan memberi kode aman, Jenderal Spoor membuat jembatan udara dengan menggunakan pesawat angkut untuk memindahkan 2 batalion prajurit termasuk pasukan komando baret hijau KST dari pangkalan Kalibanteng Semarang ke Yogyakarta.Â
Dengan jembatan udara ini, dalam tempo 3 jam Jenderal Spoor berhasil memindahkan 2 batalion prajurit  dari pangkalan Kalibanteng Semarang dengan peralatannya ke Yogyakarta. Selain itu tentara Belanda juga mengerahkan pergerakan beberapa batalion pasukan darat di Jawa Tengah untuk mendukung operasi, salah satu yang dikerahkan adalah batalion tangguh KNIL yang dikenal dengan nama pasukan Anjing NICA di bawah komando Letnan Kolonel Van Zanten.
Setelah semua pasukan KST dari Kalibanteng mendarat di Maguwo, pasukan langsung bergerak secara cepat menuju pusat kota Yogyakarta untuk mendudukinya dan menawan pejabat-pejabat Republik yang ada di sana.
2. Beberapa pejabat tinggi Republik Indonesia ditawan dan diasingkan dalam peristiwa ini.Â
Setelah Jenderal Spoor berhasil melakukan mobilasi dan konsolidasi pasukan di Maguwo, pasukan segera digerakkan menuju pusat kota Yogyakarta. Pasukan komando baret hijau KST Belanda bergerak secara terkoordinasi dalam kelompok-kelompok  menuju Istana Presiden dan kediaman resmi Bung Karno.  Gerak maju pasukan komando ini mendapat perlawanan gigih dari pasukan RI namun perlawanan yang diberikan hanya bertujuan untuk menghambat gerakan, terlebih jumlah pasukan musuh yang lebih besar dan didukung dengan dukungan udara, serta peralatan komunikasi dan peralatan tempur yang lebih canggih.Â
Pasukan komando KST berhasil mencapai Istana Presiden dan kediaman resmi Bung Karno di Yogyakarta pada Minggu sore tanggal 19 Desember 1948, di hari yang sama dengan hari agresi militer Belanda II. Istana Presiden tersebut dipertahankan oleh Kompi Polisi Militer berjumlah kurang lebih 100 orang.
Dalam buku  "Doorstoot Naar Djokja-Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer" karya Julius Pour (PT Gramedia:2010) dituliskan bahwa Bung Karno memerintahkan Komandan pengawal Istana Presiden menghentikan perlawanan. Bung Karno, Bung Hatta dan sejumlah pejabat Republik akhirnya ditawan Belanda.Â
Meski Bung Karno dan sejumlah pejabat tetap berada di dalam kota Yogyakarta saat itu namun Bung Karno telah menginstruksikan Panglima Besar Jenderal Sudiraman dan segenap pasukan TNI untuk pergi ke luar kota dan melakukan Perang Gerilya terhadap Belanda.  Sebagai tambahan informasi Jenderal Sudirman dan induk pasukan TNI tidak pernah berhasil ditemukan oleh pihak Belanda sampai berakhirnya perang. Selain itu Presiden Sukarno juga telah mempersiapkan pemerintahan darurat untuk kelangsungan  Republik Indonesia.
Menurut sejumlah sumber, tidak perginya Bung Karno merupakan strategi jitu karena meski tertawan setidaknya beliau masih bisa menjalin komunikasi dengan delegasi Komisi Tiga Negara (KTN). Pihak  delegasi KTN yang masih berada di Yogyakarta untuk mengawasi gencatan senjata dan menjadi penengah konflik antara Indonesia-Belanda, secara nyata melihat langsung serangan sepihak militer Belanda kepada Republik Indonesia. Bung Karno, Bung Hatta dan sejumlah pejabat akhirnya diasingkan ke luar Pulau Jawa oleh pihak Belanda.