Kelenteng-Kelenteng bersejarah menjadi salah satu bagian dan kekayaan sejarah kota Jakarta
Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Jakarta sudah bercorak internasional sejak masih bernama Sunda Kelapa. Berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang, suku, bahasa dan agama bertemu dan berinteraksi di kota Pelabuhan yang penting ini.
Seiring dengan perjalanan waktu,  Gubernur Jenderal VOC  Jan Pieterzoon Coen  mendirikan Batavia pada tahun 1619 dan berkedudukan di sana. Sebagai tempat kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kota Batavia berkembang dan menjadi pusat untuk segala macam urusan baik untuk urusan politik, ekonomi maupun perdagangan yang tentu saja membuat semakin banyak orang  yang datang dan berinteraksi di sana. Beberapa ratus tahun kemudian setelah Indonesia merdeka Batavia berganti nama menjadi Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia saat ini.
Terdapat berbagai peninggalan bersejarah yang menjadi bukti dari interaksi banyak orang dengan berbagai macam latar belakangnya di kota ini, salah satunya adalah rumah peribadatan warga dari etnis Tionghoa yaitu Kelenteng. Di Jakarta terdapat sejumlah Kelenteng bersejarah yang telah berusia ratusan tahun dan beberapa di antaranya telah menjadi cagar budaya karena tinggi nilai sejarahnya.
Dalam buku-buku tempat bersejarah di Jakarta karya Adolf Heuken, Sj (1997: 173) dituliskan bahwa pada abad ke-16 pedagang-pedagang dan pelaut Tionghoa menjadi saingan kuat pedagang-pedagang Eropa di Nusantara. Tentu para pedagang dan pelaut Tionghoa tersebut pernah berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak semua pedagang dan pelaut Tionghoa tersebut kembali ke negaranya, beberapa di antara mereka menetap dan tinggal di seputaran Batavia dan memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, buruh pedagang dan sebagainya.
Ketika orang-orang Tionghoa tersebut berada di perantauan mereka juga memiliki kebutuhan dalam hal spiritual dan untuk memenuhi kebutuhan itu mereka membangun sebuah Kelenteng. Di Kelenteng tersebut mereka dapat berintetaksi, berkumpul dan berdoa dalam tradisi dan keyakinan mereka. Setiap Kelenteng memiliki kisahnya masing-masing dan berkaitan dengan tradisi dan kehidupan spiritual sekelompok orang yang pertama kali mendirikannya.
Satu hal yang menjadi catatan dalam tulisan ini, mungkin saat ini masih terdapat kerancuan antara Vihara dan Kelenteng yang kerapkali dianggap sama meskipun Kelenteng dan Vihara adalah berbeda. Kelenteng merupakan tempat peribadatan umat Konghucu atau Tionghoa perantauan sementara Vihara merupakan tempat peribadatan umat Budha.
Kerancuan tersebut terjadi karena setelah terjadinya peristiwa politik di Indonesia pada tahun 1965, pada tahun- tahun setelahnya terjadi pembatasan segala sesuatu yang mengandung unsur budaya Tionghoa sehingga banyak umat Konghucu bergabung dengan salah satu agama dari 5 agama yang diakui negara saat itu, salah satunya adalah Budha yang mungkin lebih dekat secara tradisi. Begitu pula tempat peribadatannya mulai bergabung dan menggunakan nama Vihara sebagaimana yang dapat kita lihat saat ini. Seiring perjalanan waktu, saat ini agama Konghucu telah diakui dan Tahun Baru Imlek telah  ditetapkan sebagai hari Libur Nasional.
Bertepatan dengan Hari Raya Imlek, Sabtu tanggal 25 Januari 2020 yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi 4 Kelenteng tua dan bersejarah di Jakarta dan khusus untuk Kelenteng ke-5 Vihara Lalitavistara yang  diulas di akhir tulisan, saya pernah mengunjunginya beberapa waktu yang lalu.
Berikut ulasannya:
1. Kelenteng Ancol (Vihara Bahtera Bhakti)
wisata Panti Ancol Jakarta Utara, di dalam kawasan perumahan Pantai Sanur Ancol, terdapat salah satu Kelenteng tertua di Jakarta. Menurut sumber informasi sejarah, Kelenteng Ancol yang juga dikenal dengan nama Vihara Bahtera Bhakti ini dibangun pada pertengahan abad ke-17 atau sekitar tahun 1650-an.
Tidak jauh dari lokasiGerbang pintu masuk Kelenteng Ancol ini dihiasi oleh ornamen indah dua ekor naga yang sedang memperebutkan mustika. Setelah melewati pintu masuk kita akan melihat bahwa Kelenteng ini cukup megah dan memiliki halaman yang luas. Saat hari Raya Imlek kemarin, Sabtu 25 Januari 2020 Kelenteng ini terlihat sangat ramai dikunjungi oleh umat Konghucu yang akan beribadah.
Dominasi warna merah dan lilin-lilin besar yang menyala menambah semaraknya suasana Imlek di Kelenteng ini. Ornamen-ornamen dan relief pada dinding Kelenteng ini didominasi oleh warna cerah yang juga menjadi ciri khasnya.
Mengutip informasi dari National Geographic Indonesia, tempat ibadah ini dikenal juga dengan nama Kelenteng Da Bo Gong atau Tua Pe Kong ( bahasa Hokkian), nama lain dari Dewa Bumi Tu Di Gong. Beberapa bagiannya menjadi tempat pemujaan agama Budha, Konghucu dan Tao.
Ada hal unik di Kelenteng Ancol ini, yaitu: daging babi dan petai tidak boleh dibawa dan dikonsumsi dalam area Kelenteng ini.  Dalam buku Tempat-Tempat bersejarah di Jakarta karya A. Heuken, Sj (bab: Kelenteng dan kuburan Tionghoa, 1997: 187-189) dikisahkan bahwa pada suatu ketika seorang juru mudi kapal Tionghoa tiba di tempat ini dan jatuh cinta dengan seorang Ronggeng Sunda. Singkat kata juru mudi Tionghoa tersebut melamar wanita itu. Namun sebelum menikah , karena wanita tersebut seorang muslim, mereka berjanji  tidak akan makan daging babi yang dianggap haram oleh kaum muslim atau masak petai yang menurut orang Tionghoa totok menjijikkan karena baunya.
Lebih lanjut dalam buku tersebut dikisahkan bahwa juru mudi tersebut menyuruh seseorang untuk membangun Kelenteng sebelum ia berlayar jauh tetapi sebelum Kelenteng tersebut diselesaikan juru mudi dan istrinya Sitiwati meninggal. Mereka dikuburkan dalam Kelenteng bersama-sama dengan adik istrinya,Ibu Mone. Beberapa cerita menyebutkan adanya keterkaitan antara Kelenteng di Ancol dan Kelenteng di Jawa Tengah.
2. Kelentang Jin de yuan (Vihara Dharma Bhakti).
Kelenteng Jin de yuan atau juga dikenal dengan nama Vihara Dharma Bhakti terletak di kawasan Petak Sembilan Glodok tepatnya di Jalan Kemenangan III Petak Sembilan RW. 02. No. 19. Bersama Kelenteng Ancol, Â Kelenteng ini adalah salah satu Kelenteng tertua di Jakarta yang dibangun pada pertengahan abad ke-17 atau sekitar tahun 1650-an
Pada hari Imlek 25 Januari 2020 kemarin, Kelenteng ini dipadati oleh Umat  yang beribadah, selain itu juga terlihat banyak orang yang mengantri pembagian sedekah yang akan dibagikan oleh pihak Vihara.
 Sewaktu sampai di Kelenteng ini prosesi pelepasan burung pipit baru saja dimulai di halaman depan Kelenteng. Secara tradisi,prosesi pelepasan burung pipit tersebut dimaknai sebagai pembebasan untuk mendapatkan karma yang baik dalam setiap langkah kehidupan.
Masuk ke bagian dalamnya, Kelenteng ini begitu semarak dengan lampion di atas langit-langitnya. Lilin-lilin besar berwarna merah menyala di tiap-tiap Altar pemujaannya.
 Secara historis Kelenteng Jin de yuan memiliki posisi yang penting bagi umat Konghucu dan Budha di Jakarta.
Dalam buku "Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta" A. Heuken, Sj (1997: 181) menuliskan pada sekitar tahun 1650-an Letnan Tionghoa Guo Xun-guan mendirikan sebuah Kelenteng untuk menghormati Guan-yin di Glodok. Guan yin adalah Dewi belas kasih Budhis yang lazim dikenal sebagai Dewi Kwan-Im.
Lebih lanjut dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada tahun 1755 seorang Kapten Tionghoa menamai kembali Kelenteng yang dipugar ini dengan nama Jin-de yuan- "Kelenteng Kebajikan Emas". Orang setempat menyebut Kelenteng ini Kim Tek I. Pada dasarnya Kelenteng ini bercorak Budhis dan dahulu delapan belas orang biksu tinggal dalam Kelenteng ini. Namun demikian beberapa unsur Taois ditemukan juga.
3. Kelenteng Toasebio (Vihara Dharma Jaya Toasebio)
Tidak jauh dari Kelenteng Jin de yuan dan masih berada di Jalan Kemenangan 3 terdapat Kelenteng Toasebio atau dikenal dengan nama Vihara Dharma Jaya Toasebio.
Setelah memasuki gerbangnya akan terlihat lilin merah menyala yang disusun  sepanjang koridor pintu masuk ke arah dalam Kelenteng. Meski susunan lilin tersebut terlihat instagramable dan bisa menjadi spot foto yang bagus, tingkah laku dan perilaku kita tetap harus dijaga karena Kelenteng adalah sebuah tempat ibadah dan bagi kita yang bertamu harus bisa  menjaga sikap agar umat yang beribadah tidak terganggu kekhusyukannya.
Dalam laman www. viharatoasebio.com dituliskan bahwa Kelenteng Toasebio adalah salah satu Kelenteng tua yang masih berdiri di Jakarta.  Toasebio sendiri adalah gabungan dari dua kata yakni Toase yang berarti pesan dan Bio adalah Kelenteng. Kelenteng yang dibangun di tahun 1755 ini menyembah dewa Qing Yuan Zhen Jun (Tjeng Gwan Tjeng Kun).
Sewaktu mengunjungi Kelenteng ini terlihat banyak orang sedang khusyuk berdoa di bagian dalam Kelenteng. Secara umum Kelenteng atau Vihara ini mempunyai ciri khas yang hampir sama dengan Klenteng-Klenteng lainnya di Jakarta. Kelenteng atau Vihara ini  didominasi warna merah dengan ornamen naga di sudut atapnya.
Menurut sejumlah sumber informasi sejarah, Kelenteng ini menjadi saksi bisu tragedi yang menimpa warga etnis Tionghoa di dalam kota Batavia pada tahun 1740. Tindakan dan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu A. Valckenier menyulut kerusuhan dan menimbulkan tragedi pada warga etnis Tionghoa di dalam kota Batavia di tahun tersebut. Karena tindakan dan kebijakannya tersebut A. Valckenier ditahan dan dipenjarakan atas perintah pimpinan tertinggi kumpeni di Amsterdam ( A. Heuken Sj, 1997:87).
4. Kelenteng Sin Tek Bio Pasar Baru (Vihara Dharma Jaya)
Di tengah keramaian pusat perbelanjaan Pasar Baru Jakarta Pusat terdapat sebuah Kelenteng tua dan bersejarah yang bernama Kelenteng Sin Tek Bio. Kelenteng Sin Tek Bio Pasar Baru menjadi Kelenteng ke- 4 yang dikunjungi saat Imlek tanggal 25 Januari 2020 kemarin.
Diperlukan sedikit kejelian untuk menemukan Kelenteng Sin Tek Bio atau Vihara Dharma Jaya ini karena letaknya yang ada di dalam gang sempit Pasar Baru. Patokan untuk menemukan Kelenteng ini adalah dua warung bakmi legendaris Ibu Kota, yaitu Bakmi Aboen dan Bakmi Gang Kelinci.Â
Letak Kelenteng tersebut tidak jauh dari dua warung bakmi tersebut, kita tinggal menyusuri gang setelah warung bakmi Aboen untuk sampai ke lokasi Kelenteng Sin Tek Bio tersebut.  Alamat kelenteng ini ada di Jl. Pasar Baru Dalam  No. 146 Jakarta Pusat.
Setelah menelusuri gang selama beberapa menit maka tibalah saya pada sebuah bangunan yang memiliki ciri khas sebuah Klenteng.Â
 Setelah memasuki pagar pintu masuk, pada bagian depan Kelenteng Sin Tek Bio ini terdapat  dua patung singa penjaga dan bangunan Pagoda. Pada bagian atapnya terdapat 2 patung naga dan mustika di tengahnya, ciri khas yang sama seperti yang terdapat di Kelenteng tua dan bersejarah lainnya di Jakarta seperti Kelenteng  Ancol, Kelenteng Jin de yuan dan Kelenteng Toasebio yang telah dikunjungi sebelumnya.
Dalam buku Riwayat Singkat Sin Tek Bio Vihara Dharma Jaya Pasar Baru karya Bambang S (2006:4-5), dituliskan kemungkinan Kelenteng Sin Tek Bio ini dibangun oleh para petani Tionghoa yang tinggal di tepi kali Ciliwung di sekitar Pasar Baru. Pada masa tersebut orang-orang pribumi dan Tionghoa tidak diperbolehkan tinggal di dalam kota Batavia, dan hanya pada siang hari saja sebagian dari mereka diperbolehkan masuk ke dalam kota Batavia.
Sedangkan di daerah Glodok/Pancoran-pusat pemukiman orang Tionghoa terbesar di Batavia-kebanyakan dihuni oleh orang-orang Tionghoa yang mampu (pedagang). Oleh karenanya orang-orang Tionghoa miskin (petani) tinggal jauh di luar kota Batavia dan Pancoran. Mereka merambah hutan dan rawa untuk dijadikan perkebunan dan persawahan untuk bercocok tanam sayur-sayuran, padi dan tebu di ladang-ladang basah dekat sungai Ciliwung. Lebih lanjut dalam buku tersebut dijelaskan bahwa diyakini Kelenteng Sin Tek Bio didirikan pada tahun 1698.
Ketika masuk ke bagian dalam Kelenteng, pesona nuansa kuno dan historisnya bisa langsung dirasakan. Di bagian dalam, pada  ruangan depan Kelenteng ini terdapat ukiran 2 ekor makhluk mitologi naga yang melilit tiang-tiang utama Kelenteng.Â
Kelenteng Sin Tek Bio juga menjadi saksi bisu perkembangan Pasar Baru sejak pertama kali didirikan hingga saat ini. Meski sudah berusia lebih dari 3 abad dan telah mengalami beberapa kali pemugaran sejak masa Indonesia merdeka namun Kelenteng Sin Tek Bio terlihat masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Pada ruang utama di bagian depan Kelenteng terdapat sebuah Altar Utama. Menurut apa yang dituliskan dalam buku Riwayat Singkat Sin Tek Bio karya Bambang S (2006:12) Sin Tek Bio merupakan satu dari 9 Kelenteng Utama di Jakarta yang menempatkan Hok-tek Ceng-sin (Fu-de Zheng-shen) atau Tu-di Gong/Thouw-te Kong (Dewa Bumi dan Rejeki) sebagai Dewata/Sin-beng (Shen-ming) Utama di Altar.
Menurut informasi, Patung Hok-Tek Ceng-Sin yang berada di altar utama diperkirakan sudah berumur sama dengan umur Vihara ini, bahkan mungkin lebih tua sebelum tahun 1696 karena patung ini didatangkan langsung dari negeri Tiongkok. Hok-Tek Ceng-Sin merupakan dewata favorit bagi orang Tionghoa karena pada umumnya orang Tionghoa bekerja sebagai petani dan pedagang.
Kelenteng Sin Tek Bio ini terdiri atas dua lantai dan beberapa ruangan. Sewaktu mengunjunginya  di hari Imlek kemarin banyak Lampion-lampion indah yang bergantungan di langit-langitnya dan lilin-lilin merah menyala di Altar utamanya dan di sekeliling ruangannya. Bangunan tua tersebut terlihat semarak dengan cahaya indah lampion dan lilin di hari Imlek kemarin.
Di ruangan tengahnya terdapat  Altar Sakyamuni Budha, para Budha dan Bodhisattva Buddhis dan juga Altar-Altar pemujaan lainnya.
 Banyak umat yang berdoa di tempat ini. Pada bagian belakang di lantai 1 terdapat patung Budha besar yang sedang tersenyum, yang juga menjadi ciri khas Kelenteng ini.
Naik ke lantai 2 kita akan menemui beberapa Altar dan banyak patung-patung.Â
Menurut informasi di Kelenteng ini terdapat 14 Altar di ruang utama dan 14 Altar di  Lantai atas serta terdapat ratusan patung. Beberapa patung ada yang berasal dari abad ke-17 dan sudah berusia lebih dari 3 abad.
Semoga Kelenteng ini dapat terjaga kelestariannya karena juga menjadi bagian dari perjalanan panjang  sejarah kota Jakarta
5. Vihara Lalitavistara
Di pesisir Jakarta Utara, di daerah dekat krematorium Cilincing terdapat Kelenteng yang juga disebut-sebut sebagai salah satu Kelenteng tertua di Jakarta. Kelenteng tersebut berada dalam kompleks Vihara Lalitavistara. Saya mengunjungi Kelenteng ini beberapa waktu yang lalu.
Di dalam Kelenteng yang sudah menjadi cagar budaya tersebut terdapat sejumlah patung yang tampaknya sudah berusia cukup tua. Juga terdapat rumah abu di area Vihara ini. Selain Kelenteng bersejarah, bagian lain yang menarik di kompleks Vihara ini adalah bangunan menara Pagoda bertingkat yang merupakan Pagoda bertingkat satu-satunya dan tertua di Jakarta.
Dahulu Pagoda tersebut bisa dimasuki pengunjung tetapi karena struktur bangunannya mulai miring dan dirasa tidak aman serta untuk menjaga bangunan tersebut dari kerusakan lebih lanjut maka Pagoda tersebut saat ini hanya bisa dilihat oleh pengunjung.
Adalah sebuah anugerah bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku ras dan agama. Perjalanan panjang sejarah bangsa ini telah membuktikan bahwa kita mampu bersatu dan menjadi satu bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Semoga kita dapat selalu memupuk toleransi untuk persatuan yang telah terjaga saat ini dan untuk masa yang akan datang.
Referensi:
- Heuken SJ, Adolf. 1997. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
- S, Bambang, 2006. Riwayat Singkat Sin Tek Bio Vihara Dharma Jaya-Pasar Baru Anno 1698-Batavia. Jakarta: Yayasan Vihara Dharma Jaya.
- Klenteng Keramat untuk Warga Konghucu, Budha, Tao dan Muslim. Â Â https://nationalgeographic.grid.id/amp/13298771/klenteng-keramat-untuk-warga-konghucu-buddha-tao-dan-muslim. Diakses pada tanggal 26 Januari 2020 pukul 19.30 WIB.
http://viharatoasebio.com/kelenteng/home/. Diakses pada tanggal 26 Januari 2020 pukul 19.00 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H