Insiden pembajakan ini terjadi pada tanggal 28 Maret 1981.
Para pembajak mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membebaskan 80 orang tahanan yang terlibat dalam beberapa aksi teror di dalam negeri dan meminta seluruh tahanan tersebut diterbangkan ke luar negeri dengan tujuan negara tertentu yang akan disebutkan kemudian.
Selain itu pembajak juga menambahkan tuntutan permintaan USD 1,5 juta kepada Pemerintah Indonesia dan mengancam akan meledakkan pesawat jika tuntutan tidak dipenuhi. Tim negosiator terus bernegosiasi untuk mengulur waktu hingga pasukan antiteror Indonesia tiba untuk membebaskan sandera.
Dalam ulasan " Kisah-Kisah Heroik Penjaga NKRI bab: Tragedi Woyla Melambungkan Indonesia (Edisi Koleksi Majalah Angkasa: 2015) dikisahkan bahwa peristiwa pembajakan ini terjadi saat tim antiteror Kopassanda baru saja dibentuk dan belum pernah melakukan operasi yang sama, bahkan latihan yang dilakukan pun masih sangat terbatas.
Namun sejarah dunia akan mencatat, reputasi pasukan elite ini ketika menuntaskan pembajakan Pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesia di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand dalam hitungan menit.
Untuk mengatasi krisis pembajakan, Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan opsi operasi militer untuk membebaskan para sandera. Danjen Kopassandha saat itu Brigjen. Yogie S. M. memerintahkan Letnan Kolonel Sintong Panjaitan untuk secepatnya membuat rencana penyelamatan sandera. Letkol.
Sintong Panjaitan segera mengumpulkan 32 orang pasukan dari Grup 4/Sandiyudha dan melakukan beberapa simulasi latihan pembebasan sandera diantaranya dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia di Hanggar Teknik Garuda Jakarta agar setiap anggota pasukan mengetahui secara detail setiap bagian pesawat untuk kelancaran operasi.
Setelah melakukan sejumlah latihan, pasukan telah siap untuk diberangkatkan ke Thailand. Sebelum berangkat, petinggi Militer dan Kepala Badan Analisa Intelijen Strategis (BAIS) saat itu, Letnan Jenderal Benny Moerdani memerintahkan Letkol Sintong Panjaitan untuk mengganti senapan serbu M16A1Â tim penyerbu dengan senapan H&K MP5 SD-2 kaliber 9mm low velocity, jenis senapan yang digunakan oleh satuan antiteror Jerman, GSG-9Â ketika melakukan operasi pembebasan sandera di Mogadishu Somalia.
Perintah penggantian senapan tim penyerbu sempat membuat Letkol Sintong Panjaitan ragu karena anggota pasukannya belum ada yang pernah mengoperasikan senapan ini.
Terdapat sebuah kisah mengenai hal ini, dalam buku karya Hendro Subroto yang berjudul " Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" (Kompas: 2009) , dikisahkan sesaat sebelum pesawat lepas landas, ketika pilot sedang melakukan pengecekan prosedur take off, Letkol.
Sintong Panjaitan memberanikan diri menghadap Letjen. Benny Moerdani di pesawat dan meminta untuk mencoba senjata H&K MP5 tersebut. Permintaan dikabulkan, Letjen Benny Moerdani memasuki kokpit untuk meminta pilot menunda take off.