Zaken Kabinet Dari Sukarno ke Reformasi Dari Djuanda ke Jokowi
Berita Pendahuluan
Risalah singkat ini bertajuk: Zakenkabinet dari Sukarno ke Reformasi, dariDjuanda ke Jokowi. Naskah ini awalnya merupakan pokok-pokok pikiran Sdr. Giat Wahyudi, mengenai: Zakenkabinet Djuanda. Topik ini menjadi aktual ketika calon presiden Joko Widodo mengangkat isu: Kabinet Kerja dan kubu calon presiden Prabowo Subianto mengutarakan ihwal: Menteri Utama.
Sebelum diterbitkan pokok-pokok pikiran ini sempat dibahas dibeberapa forum terbatas dan banyak yang kaget, ternyata zakenkabinet merupakan susunan dewan menteri bersifat ekstra parlementer.Semula khalayak menyangka kabinet ahli atau kabinet kerja semata.
Forum menilai materi zakenkabinet yang didiskusikan layak diterbitkan sebagai risalah.Akan tetapi Sdr. Giat Wahyudi ragu dan pesimis, alasannya publik politik hari ini sangat pragmatis dan tidak memiliki apresiasi terhadap pendekatan sejarah. Bisa jadi penerbit akan mengalami kerugian dengan publikasi ini.
Dugaan tersebut telah kami tepis. Tentunya setelah kami mengetahui, bahwa: Informasi mengenai zakenkabinet ini dihimpun dari sumber-sumber primer, yaitu: Bapak Sudibyo (Sekjen Partai Serikat Islam Indonesia), Bapak Sadjarwo (Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta), Bapak Hardi (Ketua I DPP PNI). Ketiga tokoh ini adalah Menteri Penerangan, Menteri Pertanian, dan Wakil Perdana Menteri dalam Zakenkabinet Djuanda.
Selain itu ada Bapak Ruslan Abdulgani, Dahlan Ranuwihardjo, dan BM. Diah, masing-masing sebagai Wakil Ketua dan Anggota dari Dewan Nasional, yaitu: Lembaga ekstra konstitusional yang memberi nasehat kepada Kabinet Djuanda, turut melengkapi khasanah sekitar Ministerial-Parlementer dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Informasi kabinet karya dari para pelaku sejarah yang diserap sekitar tahun 80-an itu, akan ada manfaatnya bagi generasi muda sekarang ini.
Meminjam pendekatan ilmu hadis, yaitu: Sanad (riwayat) dan matan (materi) serupa dengan metode sejarah modern yang mengutamakan: Vailiditas (sumber primer), otoritas (sumber rujukan terpercaya) dan integritas (kejujuran), demikian dengan risalah ini telah memenuhi persyaratan tersebut. Maka layak kami terbitkan.Semoga usaha ini ada manfaatnya.
Mula Kata
BB dan SMS acap kali masuk ke kotak pesan
Dari mobile phone disentuh jemari cekatan
Teriring warta politik hari ini menjenuhkan
Berkelindan dengan masa lalu yang diabaikan
Partai politik bagai cendawan di musim hujan
Tak satu pun mampu menjadi tumpuan
Usai pesta demokrasi diselenggarakan
Sibuk transaksi koalisi galang dukungan
Rezim terbentuk melalui patungan
Hasrat luhur susun kabinet persatuan
Di tengah jalan ancam cabut dukungan
Koalisi guncang ada konsesi belum dicairkan
Fraksi oposisi di parlemen teriak pemakzulan
Pemerintah pasang kuda-kuda pertahankan kekuasaan
Bagaimana akan fokus dengan program pembangunan?
Setiap saat rezim koalisi dihantui perpecahan !
Parlemen mencibir kekuasaan tetap berjalan
Dengan tertatih-tatih meminta persetujuan
Setiap program disubsidi konsesi agar berjalan
In-efisiensi corak stelsel multi partai di pemerintahan
Pemilu Presiden 9 Juli 2014 telah diagendakan
Ada kandidat ingin benahi sistem pemerintahan
Bagi-bagi kursi bukan topik yang dikedepankan
Kabinet kerja langkah strategis yang diutamakan
Bila tuan dan puan membuka lembar sejarah pemerintahan
Di sana ada kabinet karya atasi krisis ketatanegaraan
Dari Bung Karno ke Ir. Djuanda: Zakenkabinet pecahkan kebuntuan
Strategi Sang Proklamator meredam parlemen kelola kekuasaan
ZakenkabinetMenerobos Kebuntuan
I
Mahathir Mohamad mantan Perdana Menteri Malaysia bertutur, “Demokrasi ekstrim tidak bisa menjaga keharmonisan suatu negara yang terdiri dari ikatan perkauman.Kebebasan yang terlampau luas, tidak ada batas, bisa menindas minoritas.Demokrasi harus dijalankan secara moderat, bukan menang- kalah atawa besar kecil yang menjadi ukuran, melainkan untuk membangun peradaban berbasis etika”.[1]Jauh sebelum Mahathir, Bung Hatta pernah mengingatkan negeri ini, tentang bahaya ultra demokratis yang pernah dijalankan semasa demokrasi parlementer.[2]Namun kita mengabaikannya, sehingga terulang kembali dalam varian berbeda di hari ini.
Tampaknya kita mesti membedakan, antara: Demokrasi sebagai sistem pemerintahan rakyat dalam rupa republik dengan kebebasan sebagai luapan ekspresi tanpa batas. Meski kebebasan merupakan salah satu unsur dari demokrasi, namun kebebasan belaka membuat demokrasi kehilangan makna. Pasalnya dalam demokrasi ada ketentuan, yaitu: Seperangkat aturan atawa norma yang harus dipatuhi bersama. Lantaran itu, aturan atawa norma yang dibuat untuk menegakan demokrasi harus logis, tidak kontradiktif antara aturan yang satu dengan aturan yang lain, dan selaras dengan sosio-budaya masyarakat yang akan mendukungnya agar dapat dilaksanakan secara efektif.
Ketika demokrasi hanya menekankan kebebasan dengan semangat ultra demokratis, niscaya akan menjauhkan demokrasi dari cita-citanya, yaitu: Kemerdekaan, ketertiban, kesejahteraan dan keadilan sosial. Maka seperti ungkap Bung Karno: Demokrasi politik saja belum cukup, mesti digenapi dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik belaka hanya menguntungkan kaum borjuasi yang setiap saat bisa menyetir parlemen dan menendang kaum buruh kepinggir jalan, tanpa jaminan apa pun.[3]
Di Barat demokrasi muncul tatakala kaum borjuasi mulai menguat dan menguasai akses perekonomian, maka dibutuhkan perlindungan untuk menyelamatkan dan mengembangkan kekayaannya.[4]Tiba gilirannya para pemilik modal menekan kekuasaan para bangsawan dan menguasai parlemen.Monarki konstitusional merupakan periode awal kaum bangsawan berbagi kekuasaan dan akses ekonomi, dengan kaum borjuasi.
Apakah monarki konstitusional di Indonesia pernah terselenggara? Belum pernah ada penelitian serius kearah sana. Sementara sewaktu revolusi pisik kaum borjuasi nasional masih sedikit sekali, sedangkan taraf kehidupan dan pendidikan masyarakat sangat rendah. Namun segelintir elit politik di pusat kekuasaan “tersihir” pesona demokarsi parlementer, dan khawatir akan bahaya otoriterianisme, sehingga abai bahwa demokrasi borjuasi telah menelantarkan kaum buruh, yang nampak hanya nilai-nilai kebebasan dan humanisme quasentimentil. Meminjam ungkapan Bapak Dahlan Ranuwihardjo, “demokrasi sebagai mode belaka”.
Demokrasi parlementer pun segera dipraktikan di negeri ini, sejak 14 Nopember 1945 – 5 Juli 1959, dengan stelsel multi partai.[5]Akan hal itu, setiap kelompok bebas mendirikan partai politik dan setiap orang bisa mencalonkan diri sendiri (calon perseorangan) untuk duduk di parlemen dan konstituante.Hebat bukan?
Bahwa parlemen dalam waktu singkat bisa menjatuhkan kabinet, sehingga dalam waktu 12 tahun (1945 – 1957) terjadi 17 kali pergantian kabinet dan berakibat pada krisis pemerintahan,[6] jangan disebut. Begitu pun dengan konstituante, lembaga pembuat undang-undang dasar gagal merampungkan tugasnya, jangan diingat. Galibnya biar Bung Karno saja yang mengkritisi demokrasi parlementer, generasi muda jangan sampai tahu.Bila perlu citrakan Presiden Pertama Republik Indonesia itu sebagai dikatktor.Tak pelak pembunuhan karakter terus menerus “menusuk uluhati” Bung Karno.
Strategi tersebut berhasil. De-Sukarnoisasi berjalan apik, hingga kini Tap MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari PresidenSukarno, belum dicabut.Bahkan sejak reformasi stelsel multi partai yang dikritik Bung Karno tumbuh bagai cendawan di musim hujan.
Pemerintahan koalisi, yaitu: Gabungan partai-partai, seperti zaman demokrasi parlementer tampil kembali di pentas politik nasional, mengelola kekuasaan hari ini. Berbanding lurus dengan hal itu, pemerintahan koalisi tidak efektif dan in-efisiensi, pantang dibicarakan. Kita harus berkata negeri ini sangat demokratis! Sambutlah Pemilu Legislatif dengan spirit “wani-piro”.Tak ayalfenomena politik transaksional menjadi penghuni rumah kita. Inilah demokrasi yang dikeramatkan para agen demokrasi “neo-liberal”, bravo amandemen UUD 1945! Selamat tinggal konstitusi Proklamasi?
Menghadapi era liberalisme, Bung Karno geram.Suatu saat presiden berpidato, “Kubur dalam-dalam partai-partai politik”.[7] Bukan hanya Pak Natsir yang kaget mendengar statemen Bung Karno, Pak Ali Sastroamidjojo pun menurut Budayawan Bagin dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), segera melancarkan kritik pedas, “Jangan begitu Bung, itu namanya diktaktur”. Seandainya tuduhan Pak Ali Sastroamidjojo benar, dia sudah ditangkap dan dimasukan ke-kamp-konsentrasi.[8]
Kekhawatiran Pak Natsir dan Pak Ali Sastroamidjojo bisa dimaklumi.Tetapi bahwa stelsel multi partai membuat pemerintah lemah, rapuh dan tidak efektif, sehingga menimbulkan gezag crisis, merupakan perkara serius yang harus segera diatasi. Tiba gilirannya tahun 1956 presiden jengkel melihat prilaku oposisi di parlemen dengan memberi peringatan,akan membubarkan partai-partai politik. Kemudian pada tahun 1957 Bung Karno menawarkan Konsepsi Presiden[9] yang terdiri dari dua hal: (1) Kabinet Gotong-Royong, (2) Dewan Nasional,[10] dengan demikian proses demokrasi bermuara pada kesejahteraan dan keadilan sosial.
Apa yang terjadi?Konsepsi Presiden mengenai kabinet gotong royong-kaki empat, suatu pemerintahan yang diusung oleh semua kelompok (koalisi tambun) dengan semboyan: Alle leden van de familie aan tafel, aan de eettafel, en aan de wertafel,tidak mendapat dukungan penuh. Terutama partai-partai agama tidak bisa menerima Partai Komunis Indonesia (PKI) duduk dalam kabinet.[11]Akan tetapi stabiltas politik dan kinerja kabinet harus terselenggara secara efektif.Maka diperlukan kompromi, musyawarah untuk meretas kebuntuan.
Untuk mencapai ke arah sana diperlukan terobosan, dalam pada itu ada dua skala prioritas, yaitu:
1.Penataan (penyederhanaan) partai politik;
2.Mengatasi krisis pemerintahan.
Terhadap dua hal tersebut yang bisa segera dilaksanakan skala prioritas ke 2.
Untuk itu Badan Pekerja Kongres (BPK) Partai Nasional Indonesia (PNI) mengusulkan agar Bung Karno membentuk kabinet presidensil.Usul ini ditolak presiden dengan alasan tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).BPK PNI bersiteguh agar sistem presidensil diselenggarakan.Akan hal itu, PNI telah mengadakan penjajakan dengan partai koalisi pemerintah di parlemen, untuk mendapat persetujuan, sehingga perkara prosedural-konstitusional dapat diatasi.Namun Bung Karno tetap menolak.[12]
Cara lain untuk menempuh stabiltas politik dan pemerintahan menurut pendapat PNI, kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Tentang hal ini presiden setuju, namun harus melalui persiapan dan konsolidasi yang matang, kelak persiapan ini dilakukan kabinet-karya. Dari partai lain ada yang mengusulkan resafel kabinet secara integral. Tetapi Bung Karno sama sekali tidak menghendaki hal itu. Presiden ingin menempuh stijl baru, melakukan kreasi politik, keluar dari “kotak ideot”.
Patut digaris bawahi kegagalan formatur Suwiryo untuk membentuk kabinet, bukan yang pertama kali. Sebelumnya: Mr. Moh. Rum dan Mangunsarkoro, Mukarto Notowidigdo, Burhanudin Harahap pada tahun 1953 mengalami hal serupa, sebagai formatur gagal menyusun kabinet. Akan halnya diskusi yang mengundang kontroversi dan polemik untuk menyelesaikan kemelut politik nasional, sesuatu yang mafhum pada zamannya.Hal itu menunjukan kebijakan dan putusan yang akandiambil berjalan saksama, meski terkadang menggegerkan.
Setelah presiden melakukan komunikasi yang intensif dengan berbagai kelompok dan golongan melalui perdebatan sengit dan alot, semua pihak sepakat krisis pemerintahan yang acapkali terjadi harus segera diakhiri. Namun langkah apa yang harus diambil, masih dalam perdebatan.
Hal mengejutkan setelah konsepsi Bung Karno mengenai Kabinet Gotong Royong ditolak, cara yang ditempuh presiden adalah membentuk zakenkabinet darurat ekstra parlementer.[13]Sebelumnya zakenkabinet pernah ditempuh Kabinet Natsir dan Wilopo, tetapi gagal.Belajar dari kegagalan tersebut, kabinetstijl baru 4 April 1957 mulai disusun formatur Sukarno,sebagai warga negara. Walau hal itu tidak lazim dan menuai kritik, namun tetap berjalan dan akhirnya dapat diterima.Susunan dewan menteridiumumkan 9 April 1957 dan ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1957.[14]Zakenkabinet darurat ekstra parlementer dipimpin Perdana Menteri Ir. Djuanda dengan program “Panca Karya”, yaitu:
1.Membentuk Dewan Nasional;
2.Normalisasi keadaan Republik Indonesia;
3.Melanjutkan pelaksanaan pembatalan KMB;
4.Perjuangan Irian Barat;
5.Pergiat pembangunan.
Pembentukan kabinet stijl baru dapat diselenggarakan lantaran empat faktor:
1.Pada 14 Maret 1957 Kabinet Ali- Idham menyerahkan mandat ke Presiden Sukarno karena tidak mampu menghadapi gejolak politik, seperti:
A.IPKI, Masyumi dan PERTI menarik menterinya dari kabinet;
B.Manuver dan aksi-aksi Kolonel Zulkifli Lubis yang mengundang bahaya dan gejolak sparatis di luar Jawa, seperti: di Sumatera dan Sulawesi, dipelopori perwira-perwira pembangkang TNI AD.
2.Pada 14 Maret 1957 diumumkan keadaan darurat perang: Negara dalam keadaan bahaya (SOB), Keputusan Presiden No. 40 tahun 1957;
3.Pada 2 April 1957 formatur Suwiryo menyerahkan mandat ke Presiden Sukarno karena gagal membentuk kabinet baru.
4.Pada 4 April 1957, 69 tokoh dari berbagai kalangan mendukung gagasan pembentukan zakenkabinet yang diusulkan presiden.
Tak dipungkiri kabinet ini merupakan hasil kompromi antara presiden, partai politik dan golongan fungsional. Dibanding kabinet-kabinet sebelumnya, Kabinet-Karya Djuanda cukup efektif, hanya Partai Katholik, Masyumi dan PRI yang menentang, maka kedudukannya di DPR cukup kuat dan tidak bisa dijatuhkan parlemen. Apalagi dengan adanya Dewan Nasional yang mampu mengimbangi kiprah partai-partai politik.
Ada pun usaha-usaha konkrit yang perlu segera dilaksanakan antara lain, adalah:
1.Usaha-usaha pemulihan dan ketertiban;
2.Penyempurnaan otonomi;
3.Pembangunan di daerah-daerah;
4.Perbaikan ekonomi keuangan termasuk pemberantasan penyelundupan dan korupsi.[15]
Dalam hal usaha-usaha pemulihan dan ketertiban, Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi diutus untuk turun kewilayah konflik, seperti: Aceh dan Sulawesi. Di Aceh Misi Hardi berjalan sesuai rencana, hasilnya: DI/TII pimpinan Ayah Gani bersedia menerima tawaran pemerintah pusat untuk menghentikan perlawanan dan kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.
Terhadap pemberontakan dan atawa rasa tidak puas dari pelbagai wilayah di luar P. Jawa, selain akan diselenggarakan prioritas pembangunan di daerah-daerah sesuai dengan potensi yang ada, pemerintah juga telah menerbitkan regulasi yang mengatur tata kelola antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, melalui: Undang-undang No. 6 Tentang Penyerahan Tugas Pemerintahan Pusat Dalam Bidang Pemerintahan Umum, Peraturan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya Kepada Pemerintah Daerah Tahun 1959.Selain itu akibat gejolak politik dipelbagai daerah yang mengakibatkan sejumlah Kepala Desa dan Pamong Desa menjadi berkurang pendapatannya, pemerintah mengucurkan dana bantuan (kredit) sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Dalam upaya menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 13 Desember 1957 diumumkan Deklarasi Djuanda mengenai batas wilayah perairan. Deklarasi Djuanda kemudian diatur dalam Undang-undang No. 4/PRP/1960, hasilnya luas perairan Indonesia dari 2.027.087 Km (persegi) menjadi 5.193.250 Km (persegi).Kebijakan itu merupakan keputusan strategis sepanjang sejarah maritim Republik Indonesia, yang dilanjutkan oleh Mochtar Kusumaadmaja dan Hasyim Djalal melalui Kementerian Luar Negeri RI.
Sedangkan untuk menanggulangi krisis ekonomi moneter yang berakibat pada devisit anggaran belanja negara, sehingga anggaran pemerintah pada waktu itu kurang dari Rp. 1.598.000.000,- kabinet-karya berupaya sekuat tenaga menambah pendapatan negara, di antaranya meningkatkan produksi nasional, menambah nilai eksport, dan menghemat pengeluaran rutin disemua lini dan level pemerintahan. Rezim devisa pun dijalankan secara ketat.[16]Pada masa Kabinet Djuanda nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (Belanda) sebagai tindak lanjut pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), sukses dilaksanakan.Aksi ini diatur Undang-Undang No. 86 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda Tahun 1958.
Tak kalah pentingnya usaha pemulihan produktifitas pertanian dengan diadakan penggalian dan perbaikan pengairan (jalur-irigasi), untuk pembangunan persawahan.[17] Kebijakan ini berjalan atas usul Panitia Menambah Hasil Bumi (PMHB) dengan lokasi anggaran sebesar Rp. 77.330.533,- untuk 11 propinsi. Di bidang infrastruktur seperti perbaikan dan pembuatan jalan serta jembatan di 11 Propinsi juga dilakukan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 176.960.349,- Usaha-usaha ini tentunya akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan pendapatan negara.[18]
Pada bagian lain, ditilik dari kerja sama antara pemerintah dan parlemen dalam usaha menerbitkan regulasi, Kabinet Djuanda sangat produktif. Sekitar 116 pokok-pokok pembicaraan mengenai perundang-undangan, dalam waktu dua tahun tiga bulan, telah selesai dibicarakan. Dan yang perlu digaris-bawahi, pada tahun 1958 ada tiga undang-undang (UU) yang sangat strategis telah diterbitkan, yaitu:
1.UU No. 78 Tentang Penanaman Modal Asing Tahun 1958;
2.UU No. 80 Tentang Dewan Perancang Nasional 1958;
3.UU No. 85 Tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahun 1958.[19]
Ketiga undang-undang ini, merupakan landasan hukum bagi pemerintah melakukan pembangunan nasional. Bagaimana pun juga ketika anggaran negara devisit, Indonesia membutuhkan bantuan modal asing. Pasalnya perlu diatur secermat mungkin agar modal asing yang masuk bermanfaat bagi kepentingan nasional dan kemakmuran rakyat Indonesia.Hal ini berkaitan dengan perencanaan pembangunan nasional yang secara kompetensi otoritasnya ada pada Dewan Perancang Nasional, sekarang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).[20]
Sementara dibidang ideologi dan kesatuan bangsa, ketika Konstituante macet, tidak berhasil mencapai kesepakatan menetapkan Undang-undang Dasar. ZakenkabinetDjuanda turut mematangkan konsep kembali ke UUD 1945.Galibnya zakenkabinet Djuanda merupakan transisi dari alam liberalisme ke jatidiri bangsa dalam tata pemerintahan Republik Indonesia, seperti diatur UUD 1945.[21]
Setelah Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959, Kabinet Djuanda dibubarkan 10 Juli 1959 melalui Keputusan Presiden 9 Juli No.52 tahun 1959. Ministerial-Parlementer yang diatur UUDS 1950, Pasal 82, ayat 2, gulung tikar. Sedangkan dalam UUD 1945, Pasal 17, kedudukan para menteri adalah pembantu presiden dan tidak bertanggung jawab pada parlemen.Dalam pada itu, Ir Djuanda sebagai mantan Perdana Menteri Kabinet Karya dipercaya sebagai Menteri I, bukan Menteri Utama, kedudukannya setara dengan Wakil Perdana Menteri.
Penataan partai politik pun mulai dilaksanakan setelah krisis pemerintahan dapat diatasi pasca dekrit presiden, melalui:
1.Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Partai;
2.Peraturan No. 13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-Partai.
Melalui dua peraturan tersebut Panitia Tiga Menteri yang terdiri dari Jenderal Nasution, Ipik Gandamana dan Ruslan Abdulgani, telah “menginterview” pimpinan PKI dan hasilnya menerima partai berlambang palu arit sebagai salah satu partai dari 10 partai politik, yang mewakili tiga aliran utama di negeri ini kala itu, yaitu: Nasionalis (PNI, PARTINDO, IPKI), Agama (PARKINDO, Partai Katholik, PERTI, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam) dan Komunis (PKI dan Murba). 10 partai politik ini dinyatakan sah dan berbadan hukum.[22]
II
Iktibar apa yang dapat dipetik dari zakenkabinet Natsir, Wilopo dan Djuanda? Tak urung kegagalan zakenkabinet Natsir dan Wilopo lantaran hanya memenuhi persyaratan nomor satu dan nomor dua, dari empat persyaratan yang dibutuhkan untuk menegakan kabinet karya, yaitu:
1.Susunan menteri di kabinet terdiri dari para ahli (zaken);
2.Susunan menteri di kabinet tidak mencerminkan dan atawa tidak mewakili aliran politik dalam parlemen (ekstra parlementer);
3.Momen yang tepat;
4.Kepemimpinan populistik.
Sedangkan Kabinet-Karya Djuanda, selain memenuhi persyaratan nomor satu sampai nomor tiga, kedudukannya disokong oleh kepemimpinan populistik Presiden Sukarno. Dalam hal ini presiden bertindak sebagai Ketua Dewan Nasional (Denas), suatu lembaga ekstra konstitusional bertugas memberikan nasehat kepada dewan menteri dan menjadi penghubung antara pemerintah, masyarakat dan parlemen.Lembaga ini Beranggotakan 45 tokoh, di antaranya dari golongan fungsional, seperti: Tani, buruh, nelayan, guru, ulama, rohaniawan, TNI, veteran, pemuda, perempuan, seniman, cendekiawan, dll. Meski demikian zakenkabinet darurat ekstra parlementer bukan solusi permanen dan final, melainkan jalan keluar bersifat situasional, menghadapi stelsel multi partai yang telah menimbulkan pelbagai ekses dan sangat mengganggu stabilitas nasional.
Hal lain yang patut dicatat dari serangkaian upaya menyusun zakenkabinet darurat ekstra parlementer adalah, semula Presiden Sukarno menginginkan dr. Subandrio sebagai formatur dan Perdana Menteri. Akan tetapi BPK PNI menolak anjuran presiden.Menghadapi hal itu, Bung Karno meminta tokoh non-partai murni.
“Jika presiden menginginkan kabinet dipimpin tokoh non partai, maka Pak Djuanda sangat tepat memimpin kabinet-karya. Penampilannya tenang, tetapi cekatan dan dinamis dalam bekerja”.[23] Demikian antara lain saran Pak Ali Sastroamidjojo. Bung Karno pun setuju. Kepiawaian Pak Djuanda sebagai teknokrat memimpin kabinet, terbukti!
Hata[24] semasa revolusi negeri ini dikelola pemerintahan stelsel multi partai, faktanya lantaran sesuatu dan lain hal, lebih banyak mudharatnya ketimbang kemaslahatannya. Kini terulang kembali, seperti keledai terantuk di lubang yang sama. Dua periode dari tahun 2004 – 2009 dan 2009 – 2014 rezim koalisi memerintah negeri ini secara tidak efektif, auto-pilot belaka. Sementara kebocoran (di luar anggaran belanja negara) menurut Prabowo Subianto, sekitar: 1000 trilyun rupiah.
Mengkritisi fenomena auto-pilot, in-efisiensi (kebocoran) dan tidak efektifnya pemerintahan koalisi, tentunya sangat tidak sportif bila semuanya ditimpakan ke rezim yang berkuasa.Ada hal mendasar yang perlu disimak, seperti sistem pemerintahanyang diaturamandemen UUD 1945 dan sistem politik liberal yang tengah merajalela di negeri ini. Bila sistem ini tetap dipertahankan, tanpa perbaikan mendasar, tidak menutup kemungkinan semua rezim Pemilu reformasi mengalami nasib serupa. Menyadari hal ini, belajar dari pengalaman sejarah: Zakenkabinet menjadi relevan untuk dipertimbangkan. Seperti nasehat Bung Karno: Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!
Perkaranya pelajaran yang paling penting dari sejarah adalah, kita telah meninggalkan sejarah, sehingga stelsel multi partai di negeri ini terulang kembali.Maka apakah mungkin di tengah publik politik yang mengalami ketaksadaran sejarah, langkah seperti ditempuh Bung Karno menjadi perhatian untuk dielaborasi?Bukan tidak mungkin, bila ada upaya revivalisasi pemikiran Sang Proklamator untuk perikehidupan kebangsaan kita, tangan-tangan kotor yang tidak terlihat segera bertindak secara sistematis, terstruktur dan sadis untuk menyingkirkannya?!
III
Memasuki tahun politik 2014 terminologi dan jargon-jargon politik yang dikumandangkan Bung Karno semasa revolusi, kembali menggema.Seakan Bung Karno hidup lagi. Kedua pasangan yang akan bertarung diajang pemilihan presiden dan wakil presiden, memberi penghormatan dengan penuh takzim kepada Sang Putra Fajar: Bapak bangsa Indonesia.
Dalam strateginya pasangan Prabowo-Hatta menempuh koalisi “tambun” dan sharing kekuasaan dengan partai-partai pendukung, seraya berjanji akanmengembalikan kedaulatan bangsa. Sebaliknya pasangan Jokowi-JK memilih koalisi ramping dan sharing program dengan jalan kerjasama,[25] dengan tekad melaksanakan Tri-Sakti. Sebelumnya Jokowi sempat mengeluarkan statemen, akan membentuk kabinet kerja atawa kabinet karya untuk menguatkan lembaga kepresidenan, jika terpilih nanti. Sedang kubu Prabowo akan menempatkan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, bila bergabung dengan koalisi merah-putih, sebagai menteri utama dalam kabinetnya, jika terpilih menjadi presiden.
Kabinet kerja atawa zakenkabinet dan menteri utama, meski yang satu ini, belum pernah ada dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia.Dua hal tersebut merupakan isu ketatanegaraan.Tragis, hal mendasar dan strategis ini, tidak mendapat perhatian publik. Bisa jadi di mata media massa isu ini dinilai tidak seksi. Padahal baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, jika terpilih, masalah pertama yang dihadapi adalah menyusun kabinet.Efektif dan tidaknya pemerintahan koalisi hasil Pemilu 2014 bisa diprediksi melalui komposisi kabinetnya.
Pengalaman negeri ini bersama stelsel multi partai dengan “kabinet jatuh-bangun” dari tahun 1945 – 1957, zakenkabinet darurat ekstra parlementer merupakan jalan keluar mengatasi krisis pemerintahan. Tetapi sekali lagi, apakah pengalaman tersebut layak dipelajari publik politik hari ini? Terpulang dari mana dan siapa yang melihatnya.
Ada yang berdalih, situasi hari ini berbeda jauh dengan “orde lama”. Bahkan secara congkak ada yang berkata, jangan memutar jarum sejarah!Ada lagi yang berargumentasi, perang dingin telah usai.Bipolarisasi sudah beralih ke-multi polar. Tak pelak situasi nasional pun akan mengikuti kecenderungan internasional.Konklusinya, biarlah yang lama menjadi lapuk dan yang baru sedang bersemi. Sepintas argumentasi ini ilmiah, sama halnya dengan jargon Indonesia baru!
Zaman memang berubah.Hutan raya, alas gung liwang-liwungtelah gundul.Pemanasan global membuat bumi bagai neraka.Kemajuan teknologi menjadi obor peradaban dan suluh kebudayaan.Struktur masyarakat semakin mekanis, hilang guyubnya. Namun secara substansial dorongan untuk melakukan perubahan pada masyarakat dari zaman ke-zaman, motifnya tetap sama, yaitu:
1.Menguasai sumber daya alam (energi);
2.Mengkooptasi sumber daya manusia (mengendalikan buruh dan mengatur pasar);
3.Memeliharajalur distribusi.
Untuk itu ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi internasional dikembangkan dan dipusatkan bagi kepentingan menguasai jagad, sebagaimana diperankan trans national cooporation (TNC) dan multi national cooporation (MNC).
Tak ayal meninjau perkembangan masyarakat secara formal akankehilangan substansi (inti) dan menjadi pandir (naïf).Kita pun segera kehilangan orientasi dan dunggu, tak mampu memetik hikmah dari masa lalu.Akan halnya semangat reformasi yang mengumandangkan jargon Indonesia baru, sungguh pandir belaka. Apa yang baru? Jika jalan untuk mencapai hal yang baru bagi negeri ini, dalam tataran politik menggunakan stelsel multi partai! Suatu sistem yang pernah digunakan republik ini sejak 14 Nopember 1945 – 5 Juli 1959 dan terbukti gagal!
Stelsel multi partai dengan pemerintahan koalisi bukan barang anyar di persada ini, kecuali jadul semata.Sistem ini pernah “mecekik” para formatur pembentuk kabinet dan para perdana menteri semasa “Minsiterial-Parlementer”.Apa yang baru Mas Brow and Jufrow? Sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu reformasi stelsel multi partai membawa cacad bawaan, yaitu: Pemerintahan koalisi, lantaran devisit suara. Ada pun penyakit menular dari pemerintahan koalisi stelsel multi partai, adalah: Tidak efektif dan cenderung rapuh.
Mengapa rezim koalisi lemah? Baik semasa Ministerial-Parlementer dan orde reformasi, sehingga mengundang bahaya! Ditinjau dari sistem kepartaian, rekruitmen politik dan Pemilu yang diselenggarakan, meminjam istilah Bung Hatta, dipraktikan dengan “semangat ultra demokratis”. Pastinyaliberalisme politik mengabaikan keselarasan (harmoni) dan stabilitas nasional, kecuali hanya menguntungkan kelompok yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan.Daulat rakyat dimobolisasi dan dimanipulasi oleh oligarki politik yang bersekongkol dengan dunia usaha.Menurut Bung Karno ini adalah demokrasi borjuis, bukan sosio-demokrasi yang berlandaskan Pancasila.
Penyair Suparwan G. Parikesit secara getir menyatakan, “Untuk mapan (eksis) dalam sirkuit demokrasi hari ini harus mempunyai tiga kriteria, (1) bersikap seperticoboy, (2) cerdas, (3) memiliki logistik memadai”. Mengimbangi hal itu, dalam tataran pemerintahan (eksekutif)zakenkabinet ekstra parlementerrelevan hadir kembali, sebagai upaya penguatan lembaga kepresidenan yang dikepung “buta terong” stelsel multi partai.
Dalam pada itu, jika para tokoh yang terbilang ahli (zaken) mengisi formasi kabinet, ada dari unsur partai, maka partai bersangkutan seyogianya mengeluarkan surat pernyataan, bahwa kader yang duduk di kabinet dibebaskan dari beban dan tugas partai. Seperti DPP PNI mengeluarkan dr. Subandrio dari keanggotan partai dan atawa Masyumi memberhentikan Ir. Pangeran. Noor yang duduk di kabinet. Alhasil agregasi partai-partai dipemerintahan relatif dapat diatasi, sang menteri pun fokus pada program kerja yang menjadi tugasnya.[26]
Demikian dalam zakenkabinetbukan berarti tidak ada unsur partai dalam dewan menteri. Akan tetapi kedudukannya sebagai menteri ditentukan oleh keahlian (bukan keangotaan dan kedekatan), atas dasar pengabdian yang sudah teruji di tengah masyarakat.Lazimnya zakenkabinet menempatkan orang-orang non-partai yang cakap untuk memimpin departemen atawa kementerian.Lantaran itu zakenkabinet bersifat ekstra parlementer, mengingat kehadiran mereka dalam kabinet tidak mencerminkan partai politik di DPR.
Khusus mengenai Kabinet Djuanda yang dikenal dengan istilah:Zakenkabinet darurat ekstra parlementer,hal ini,karena dibentuk oleh warga negara DR. Ir. Sukarno ketika negara dalam keadaan darurat (SOB).Niscaya zakenkabinet ini merupakan dewan menteri yang tanggap, professional, cekatan, dan tegas dalam menyelesaikan berbagai hal di lapangan kenegaraan, pada masa darurat akibat ekses-ekses yang ditimbulkanstelsel multi partai.
Bagi pasangan Jokowi-JK jika berminat menyusun kabinet kerja, pengalaman zakenkabinet Djuanda bisa diibaratkan: Sepatu. Bila cocok merknya, nomornya, warnanya, modelnya, dan harganya --silahkan ambil, pasti akan nyaman bila dipakai untuk bekerja. Jika tidak cocok, tinggalkan saja, “ora opo-opo”. Bisa jadi ada sepatu yang lebih cocok untuk Jokowi-JK.
Bagaimana dengan pasangan Prabowo-Hatta?Seperti telah disinggung di muka, menempuh koalisi “gendut”dengan sharing kekuasaan dan mendapat dukungan kuat di parlemen.Maka kesulitannya pada agregasi kepentingan partai-partai pendukung koalisi yang bisa jadi akan merepotkan jalannya pemerintahan, dengan meminta pelbagai konsesi. Seperti pengalaman pemerintahan koalisi SBY selama dua periode, tak mampu mengelola agregasi partai-partai pendukung yang demikian pragmatis dan boros (konsumtif).Bahkan sempat melakukan resafel.Hal itu menunjukan pemerintahan tidak efektif dan in-efisiensi. Tidak menutup kemungkinan pasangan Prabowo-Hatta bila tidak melakukan kreasi politik yang tepat dan jitu, akan mengalami nasib serupa, jika terpilih nanti.
Bagaimana pun juga koalisi “gendut” sarat konsesi-konsesi, hal ini lazim untuk memperoleh dukungan. Konon pemerintahan “tambun” layaknya orang gembrot, tak sedap dipandang mata, rawan terserang jantung dan stroke. Dengan kata lain, pemerintahan koalisi yang melibatkan banyak partai kurang lincah, tidak efektif dan in-efisiensi, lantaran sibuk mengurusi diri sendiri, sehingga pelayanan publik terabaikan.
Sebaliknya koalisi “ramping” tanpa syarat kecuali kerjasama program, apalagi jika berminat membentuk kabinet kerja, memerlukan komitmen kuat dengan segala keluhuran budi (idealisme), untuk menekan agregasi partai-partai pendukung agar tidak merecoki pembentukan kabinet dan jalannya pemerintahan. Selain itu gerakan ekstra parlementer, di luar partai politik,melalui kekuatan para relawanharus digalang, mengimbangi parlemen.[27] Jika tidak, akan kedodoran dan terseok-seok menghadapi pelbagai mosi oposisi di DPR, bila rezim koalisi terbatas menjalankan pemerintahan.[28]
Akan tetapi bukan berarti kolaisi “tambun” tidak bisa menuyusun zakenkabinet sebagaimana koalisi “ramping”. Galibnya kabinet kerja baik pada koalisi “kurus” maupun “gendut”, mustahil terbentuk dan berjalan efektif, tanpa dukungan dari para politisi yang berjiwa negarawan, sehingga mampu meletakan kepentingan nasional di atas kepentingan partai. Memang hal ini sangat sulit sekali, seperti “mencari sebutir menir[29]dalam tepung”. Akan tetapi bila ada kemauan kuat lahir dan bathin, kesukaran yang dihadapi dapat diatasi.
“Setiap orang (pemimpin) pada dasarnya memiliki kehendak (kemauan) yang sangat kuat untuk merealisasikan ide-idenya, seperti si buta perkasa menggendong si lumpuh bermata jelita, lari menelusuri lorong kehidupan mencari sesuatu”.Demikian filosof Artur Shopenhaur menancapkan terori kehendak, pada setiap orang. Perumpamaan itu menginspirasi Bung Karno dengan triloginya, yaitu: Semangat nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
IV
Kita semua menyadari, menyusun kabinet bukan perkara enteng.Salah pilih dan kurang cermat dalam mendistribusikan personil menteri, kinerja pemerintah bakal terancam gagal.Indikasinya terjadi resafel dan kemudian tidak efektif. Mengatasi hal ini, presiden terpilih harus memancarkan radar kedelapan penjuru mata angin, lebih afdolseraya menghayati Serat Sastra Gending(suluk Ketuhanan) karya Sultan Agung,raja Mataram dan panata agama yang inklusif di tanah Jawa.[30]Kelompok strategis (golongan fungsional), perguruan tinggi, PEPABRI, KORPRI, organisasi kemasyarakatan, keagamaan, kepemudaan (kelompok Cipayung), PP-PA GMNI, KAHMI dan kelompok relawan--dengan tingkat kredibilitas tertentu, adalah wilayah yang perlu disapa untuk menyaring potensi tokoh zakelijk, orang yang mengerti urusan secara piawai, ahli (zaken).
Ada tradisi (konvensi) di negeri ini dalam menyusun kabinet sejak Bung Karno kemudian “dikreasi”Presiden Suharto, bahwa ada sekian kementerian lazim dipimpin tokoh-tokoh dari organisasi tertentu (di luar partai politik), seperti: Nahdlatul Ulama (kementerian agama); Muhammadiyah (kementrian sosial); Taman Siswa, budayawan, cendekiawan (kementerian pendidikan dan kebudayaan); Veteran (bekas pejuang), Purnawirawan dan TNI (kementrian pertahanan); birokrat, pamong praja, TNI, perguruan tinggi (kementrian dalam negeri, luar negeri, dan keuangan); kalangan pengusaha (kementerian di bidang produksi, perdagangan dan distribusi); kelompok Cipayung (menteri pemuda dan olah raga). Sementara komposisi kementerian lainnya diperuntukan bagi partai politik.
Jika kita amati secara saksama qua visi-misi, baik pasangan Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, memiliki kesamaan konten (materi), yaitu: Keduanya mengusung isu politik nasionalisme dalam kampanye mereka. Perbedaannya pada tataran strategis.Pasangan No. 1 menitik beratkan kekuatan state, didukung politik aliran berorientasi PSI dan Masyumi. Pasangan No. 2 fokus pada pemberdayaan publik, mendapat support dari kalangan politik aliran berorientasi nasionalis dan nahdliyyin.Komposisi ini meniscayakan kesadaran ideologis dengan tingkat moderasi tertentu.
Konsekuensinya bagaimana penyebaran makna ideologi terserap dalam program dan kinerja kabinet serta lembaga-lembaga strategis tertentu, dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa menimbulkan goncangan. Sebaliknya mampu memberi marwah kejati-dirian-bangsa, misalnya dalam konteks Tri-Sakti: Berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian dalam hal kebudayaan --pada jalinan praksis kekinian.Dengan demikian antara kampanye, program kerja dan kinerja pemerintah, bisa direalisasi danada tolok ukurnya.
Galibnya hal itu membutuhkan kecakapan dan konsolidasi ideologiberkesinambungan sebagai suatu osmosis, sumbu penyaring (penghubung).Dengan kata lain di lingkar dalam presiden terpilih, seyogianya ada eksponenbewustideologie dan pemikir ketatanegaraan sebagaimana dimaksud Pembukaan UUD 1945. Jika hal ini diabaikan, demokrasi yang susah payah kita bangun akan terperosok dalam jurang “mobokrasi”, yaitu: Pengelolaan pemerintahanzonder etika dan norma ketatanegaraan yang berakibat pada de situatie van het abnormaller recht. (GW)
PAKARYA PIMPIN KABINET KARYA*
Ir. Djuanda adalah Pakarya – Tepat ia pimpin Kabinet Karya
Selama RI ada 15 Kabinet – Ir Djuanda 13 kali jadi Menteri
Potret-potretnya tidak pernah baik – sebab dia tidak bisa poseren – tidak pula pandai bicara – bisanya cuma: KERJA, KERJA, KERJA!
DIA TURUNAN ORANG KAYA – TIDAK KAGET LIHAT HARTA, SEKALIPUN HARTA NEGARA!
Pagi-pagi tersiar kabar di Yogyakarta kota pendudukan: Rumah Menteri Djuanda dilempari granat!
Orang gempar.Sudah segila itu tentara pendudukan Belanda.Apa akan berulang riwayat kota Bogor: Wakil Walikota Mahfud ditembak mati diwaktu malam hari? Dan kemudian Walikota Odang serta pembesar-pembesar balaikota lain-lainnya satu persatu diangkat Belanda?
*
Segera saya kerumah Pak Djuanda bersama-sama wartawan Sudjoko Hudionoto (sekarang persattache di Den Haag). Yang pertama-pata kami lihat: Daun pohon cermai didekat jendela serambi muka telah rontok. Jendela glas in loos kacanya pecah berkeping-keping.Dan serta kami masuk, reruntuhan eternit berantakan di lantai.
*
Tapi Ir Djuanda sendiri selamat. Wonder boven wonder. Selamat! Sebab ketika granat meledak.Ketika glas in loos pecah berkeping-keping. Ketika pecahan eternit runtuh beterbangan, ketika itu Ir Djuanda justru sedang baca-baca surat kabar, duduk di kursi dekat jendela!
*
Kami tidak akan heran, andaikata mendapatkan Ir Djuanda dalam keadaan panik. Dalam keadaan gugup.Dalam keadaan bingung.Tapi Ir Djuanda menyambut kedatangan kami biasa saja.Apa kabar? Baik? – Begitu tegurnya, padahal kami justru datang untuk menanyakan kabar keselamatannya!
*
Ketika kami tanyakan tentang peristiwa ledakan granat itu, jawabnya, dingin: ,,Tidak ada kecelakaan apa-apa. Sudah diperiksa M.P, tadi ……. Pro forma!”Dan kedalam, kepada salah seorang puterinya: ,,Kopi tilu…eh, saudara-saudara minum kopi juga, kan?”
*
Itu Ir Djuanda! Itu P.M. Djuanda Kartawidjaja!
Tenang.Selalu tenang, Tidak pernah gugup.Tidak pernah tergesa-gesa.Tidak pernah geagiteerd.
Sambil bicara-bicara Ir Djuanda lalu ambil jangklongnya, membersihkannya dengan pipe-cleaner, mengisinya, dan kemudian menyodorkan tembakau kepada kami.
*
Orang lain boleh dipastikan menyuguhkan cerita yang hebat. Cerita yang penuh sensasi.Cerita yang didalamnya dia sendiri pegang peranan terpenting. Umpamanya:
,,Apa yang telah terjadi ini sudah saya duga terlebih dulu! Habis, dalam kedudukan saya sebagai meneteri R.I. kan saya senantiasa dalam bahaya. Nah, ketika granat meledak semalam, bukan main suaranya.Kaca pecah bergemerincing.Eternit berpletak-pletak. Udara serasa di koyak…”
Yang bercerita lalu berhenti sebentar, melihat efek kisahnya kepada pendengarnya. Lalu menyambung:
,,Tapi saudara-saudara yakinlah. Saya ulang, yakinlah.Barang siapa dipihak benar, pasti dilindungi Tuhan”.Pembicara lalu berhenti lagi sejenak. Sambil mengepul-ngepulkan asap pipanya memberi kesempatan kepada pendengarnya untuk mengagumi ceritanya.
Lalu:
,,Dan saya masih selamat. Saudara-saudara lihat sendiri.Eternit berserakan.Kaca berkeping-keping. Tapi saya selamat tidak kurang suatu apa!”
*
TIDAK. Ir Djuanda tidak bisa cerita begitu. Tidak bisa mendramatisir peristiwa yang sesungguhnya memang menggemparkan itu. Tidak bisa menjadikan dirinya pemegang hoofdrol dalam cerita heroik yang sesungguhnya memang mengandung heroisme!
Ir Djuanda hanya mengomentar: Ini siasat Belanda. Maksudnya supaya orang-orang di Pasundan memperoleh kesan seakan-akan saya ditengah-tengah masyarakat Jawa ini tidak aman!” (Ketka itu sudah berdiri Negara Pasundan)
*
Memang pagi itu juga M.P. telah menawarkan, apakah rumah zijne excellentle tidak perlu dijaga?Zamannya zaman sulit. Eh, siapa tahu ada apa-apa lagi?
Ketika itu Ir. Djuanda yang biasanya tenang seperti air leuwi itu jadi marah. Tidak perlu tuan-tuan jaga rumah saya! Saya tidak khawatir. Saya berasa cukup aman ditengah-tengah bangsa saya sendiri! Dan M.P. pergi, gigit jari!
Lain hari Belanda datang lagi.Yang ditawarkan bukan lagi penjagaan.Siasatnya lebih halus. Eh. Apazijne excellentie tidak perlu aliran listrik? Tidak perlu air leding?Tidak perlu bahan makanan atau lain-lain? Belanda dengan senang hati akan usahakan supaya listrik disambung, ledeng dihidupkan, bahan makanan dikirim kerumah.
Tapi menteri Djuanda sikapnya ajeg saja.Tidak, tidak perlu apa-apa.Tidak usah tuan-tuan repot-repot.
*
Demikianlah tidak beda dengan penduduk Yogya lain-lainnya menteri Djuanda pun terus saban malam bekerja dengan lampu minyak. Tiap pagi dan petang anak-anak ambil air ledeng dari bak watermeter (meternya diambil oleh Belanda, air berkumpul di bak). Makanan pun apa yang ada saja.
*
Sikap tenang P.M. Djuanda itu telah saya alami lebih dulu, lama sebelum pendudukan kota Yogya, yaitu ketika dengan KLB (kereta apa luar biasa) mengadakan perjalanan Yogya – Jakarta untuk kemudian terus ke Banten.
Saya duduk bersama-sama rombongan menteri di gerbong direksi.Makin dekat Kranji jantung makin cepat juga denyutnya.Dan ketika KLB berhenti di stasiun Kranji, pembicaraan yang tadinya penuh kelakar tiba-tiba jadi sepi.Di halaman stasiun kelihatan tentara Belanda bersenjata.
Ketika itu seorang pembesar yang badannya pun besar mengusulkan kepada menteri Djuanda :
,,Sebaiknya sebagai menteri R.I. Pak Djuanda turun memberitahukan kepada Belanda bahwa bapak sedang dalam perjalanan inspeksi ke Banten. Tentunya segala sesuatu jadi gampang!”
Tapi menteri Djuanda menjawab : ,,Justru sebagai menteri R.I. saya tidak mau turun! Kalau mereka mau periksa.Itu urusan mereka”.Dan betul juga, beberapa orang tentara macan loreng naik, menuju kearah menteri Djuanda, bersikap, bersalaman militer, dan turun.
KLB jalan terus.Pembesar badan besar beberapa lamanya tidak berkata-kata.Menyesal telah memajukan saran yang begitu kecilnya kepada menteri Djuanda yang begitu besar hatinya.
*
Di zaman pendudukan Yogya Djuanda (partijloos), Kusnan (PNI), Sri Sultan Hamengkubuwono merupakan trio yang bekerja keras secara tidak kelihatan.
Mereka tidak kelihatan berhubungan langsung, tapi sebenarnya setiap hari berhubungan erat.Setiap peristiwa yang diketahui yang satu, segera diberitahukan kepada yang lain-lainnya.
Diantara orang-orang yang jadi penghubung ialah dr. Halim, yang sesudah pengembalian Yogya jadi perdana menteri. Itu dokter yang allround. Dokter yang politikus, pemimpin pandu, pemimpin sepakbola…..dan sampai sekarang masih single terus. Dengan air mukanya yang boyish (seperti kekanak-kanakan) ia selalu lolos dari penjagaan-penjagaan Belanda, dapat menemui Sri Sultan di kraton setiap pagi.
*
Sri Sultan yang tidak mudah memberi nilai tinggi tetapi disamping itu amat bersikap memahami dan memaafkan – penghargaannya besar terhadap Ir. Djuanda. ,,Orang serius”, kata Sri Sultan.
Sebaiknya Ir Djuanda pun amat menghargai pribadi Sri Sultan .Ir Djuanda kagum melihat pada pagi hari 19 Desember, ketika bom Belanda sudah jatuh di Maguwo, pesawat terbang sudah beterbangan, Sri Sultan dengan kemauan sendiri menyetir mobil menjemput Bung Hatta yang masih di Kaliurang.
*
Dan kemudian pada kontak pertama dengan Belanda, kesan Ir. Djuanda: ,,Sri Sultan betul-betul vorstelijk!Pada pertemuan pertama dengan Belanda itu terasa benar ada kekuatan luar biasa pada pribadi Sri Sultan.
Dan kalau kita tahu. Pun Ir Djuanda bukan orang yang emosional mudah tergerak. Bukan orang yang mudah antusias.Bukan orang yang murah dalam penghargaannya terhadap seseorang.Kita pun mengerti berapa tinggi nilai penghargaannya terhadap Sri Sultan itu.
*
Bersama-sama almarhum Mr. Kusumahatmadja, semasa hidupnya ketua mahkamah agung. Mr. Tirtawinata, dulu jaksa agung, sekarang duta besar di Australia. Almarhum Moh. Enoch, terakhir walikota Bandung, dulu anggota Dewan Pertimbangan Agung, menteri muda pekerjaan umum, dan walikota Yogjakarta Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dan M Sewaka, dulu gubernur Jawa Barat, terakhir menteri Pertahanan Ir. Djuanda termasuk pentolan-pentolan daerah Pasundan.
Seperti juga Belanda ,,ngincer” ingin memikat hati Mr. Kusumahatmadja untuk keperluan Negara Pasundan, Belanda pun ingin memikat Ir. Djuanda. Maka Belanda menyiarkan desas-desus. Ir Djuanda akan meninggalkan Yogja, hendak ,,kembali” ke Pasundan untuk menyusun kabinet.
Tapi nyatanya Ir. Djuanda tetap di Yogjakarta.Meskipun ada granat meledak di rumahnya.Meskipun harus bekerja zonder sinar listrik. Meskipun tiap pagi dan sore anak-anak harus ambil air dari baik watermeter !
*
Dengan peristiwa granat itu perjuangan di Yogya maskin tidak mau tobat.Saudara-saudara kita di Jawa Barat semangatnya makin kuat. Tentara, Siliwangi makin nekat….
Dan Ir. Djuanda kerja terus.Diam-diam. Tidak kelihatan.Seperti tidak ada apa-apa.Dengan air muka yang tetap tenang seperti biasanya.
*
Bekerja, Bekerja. Itu sifat istimewa Ir. Djuanda.Orang menamakan dia eenwerker.Dan memang dia eenwerker.Dia bukan showman, Bukan orang yang suka poseren, Bukan pada orang yang punya een camera-face.
Maka potret-potretnya pun tidak ada bagus.Tidak ada yang menarik.Tidak ada yang penuh glamour. Potretnya selamanya menunjukkan kepribadiannya yang sesungguhnya: saya pekerja, lebih tidak !
*
Sehabis pemberontakan Madiun tahun 1948 banyak jembatan hancur.Banyak jalan terputus.Perekonomian di daerah R.I yang sudah sempit itu jadi makin kacau. Djuanda bikin rencana: Paling lambat dalam tiga bulan jembatan harus sudah selesai diperbaiki.
Ir. Djuanda bikin rencana, jembatan rusak ada sekian. Diperlukan material sekian.Tenaga pekerja sekian.Pekerjaan dimulai. Dua pekerjaan siap dalam ……dua minggu ?
Semasa R.I.S. banyak ,, orang R.I” yang namanya jadi suram di Ibukota Jakarta. Si Anu kok tiba2 jadi kaya.Si Anu kabarnya kok korup.Si Anu katanya piara isteri baru.
Tapi menteri perekonomian Djuanda tidak jadi pembicaraan orang.Namanya tetap bersih.Tidak ada orang tuduh dia korup.Tidak ada orang tuduh dia main bureng.
*
Tapi rencana kemakmurannya tidak jalan seperti yang diharapkan.Memang. Tapi apa mau dikata? Rencana yang sebaik-baiknya tidak dapat digantungkan kepada satu orang saja.Sekalipun orang yang satu itu kerja keras dan jujur pula.
Maka orang pun tidak menyalahkan Djuanda. Orang berkata: Apa boleh buat. Susunan kementeriannya tentunya belum sebagaimana mestinya.Kualitet orang-orangnya belum sebagaimana mestinya. Penasehat-penaseihat bangsa asing tentunya tidak memberi nasehat sebagaimana mestinya!
*
Ir. Djuanda dilahirkan tahun 1907 di Tasikmalaya.Tapi ketika masih di Yogya, orang sangka umurnya lebih tua.Sebab air mukanya selalu ernstig.Selalu serius. Malah kata orang Belanda: Djuanda seperti pakai een ijzeren masker, pakai topeng besi.
Ucapan ini saya dengar di zaman perundingan KMB di Den Haag. Orang Belanda yang jadi lawan berunding Ir. Djuanda sukar dapat menebak apa gerangan pikiran Djuanda. Mereka jadi sukar dapat menentukan siasat debat.
*
Bicara tentang perundingan KMB, saya jadi ingat keanehan-keanehan kelakuan orang Indonesia di negeri Belanda ketika itu.Orang mabuk beli pakaian bagus dan mahal.Orang borong ke De Stad Parija, ke Maddena, dan taylor-taylor lain yang orang Belanda sendiri jarang masuk.
Ir. Djuanda tidak ikut mabok.Tidak ikut borong-borong.Memang tidak mabok.Sebab Ir Djuanda memang turunan orang kaya.Tidak bingung lihat barang-barang murah di negeri Belanda.
Ir. Djuanda cukup beli pakaian 2 stel , dan cukup beli pakaian konfeksi, harganya murah, barang sudah jadi!
*
Ir Djuanda juga tidak mabuk …..nona Belanda. Ada suatu wali Negara yang negaranya pakai keterangan ,,Selatan” yang setia mengunjungi suatu nona di Daendelsstraat no. 36. Sering bawa nona itu pergi dansa. Sering malah bawa nona itu ke Kuhrhaus di Scheveningen tempat menginap pemimpin delegasi R.I. …
Ada lagi tenaga ahli dari pihak BFO yang sebulan di negeri Belanda terus kawin, tidak ingat isteri dan 5 orang anaknya di Indonesia. Ada tenaga ahli, ma’afkan, BFO lagi yang terusir dari hotel, karena kedapatan dengan kamermeisje-nya !
Dan tentu saja ada juga orang-orang RI yang ,,membalas dendam” kepada nona-nona Belanda. Melihat semua itu Ir Djuanda jadi malu.
Malu! Malu! Malu!
Perbuatan-perbuatan itu merendahkan martabat bangsa. Kita lantas dipandang apa oleh Belanda!
*
Hingga sekarang ini sudah ada 15 kabinet.Ir Djuanda sudah 13 kali jadi menteri. Sampai orang kadang berkelakar: Ir Djuanda memang beroepsminister!
Kita yang kenal pribadi Ir Djuanda pandang sebutan ,,beroepsminister” justru sebagai gelaran yang utama. Kalau tidak ada kecakapan istimewa.Kalau tidak ada sifat-sifat utama. Mana bisa ada orang bisa jadi beroepsminister!
Sekarang Ir Djuanda memimpin Kabinet Karya.Kabinet kerja.Kabinet yang harus bekerja.Yang tidak hanya harus bikin rencana untuk diganti lagi dengan rencana baru oleh kabinet baru.
Penunjukan ini rasanya cocok dengan pribadi Ir. Djuanda.Dia pekerja.Doyan kerja, suka kerja, tukang kerja.Tentunya terdiri atas orang yang baik-baik. Sampai-sampai Bung Sjahrir – diluar dugaan banyak orang, memuji “kebaikan” pribadi menteri-menteri yang sekarang ini.
Mudah-mudahan pikiran yang sudah lahir semasa Ir Djuanda jadi ketua Dewan Perancang Negara dapat diwujudkan semasa ia jadi perdana menteri. Dia orang integer.Orang berkemauan baik.Kita semua wajib mendoakan.Amin.
***
*Minggu Pagi, 21 April 1957 No. 3 Tahun X.
Ditulis kembali tanpa perubahan kecuali penyesuaian EYD.
Mengangkat Kewibaan Pemerintah
via
Kabinet Kerja
I. Sistem Pemerintahan RI Selayang Pandang
Dalam risalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dr. Soekiman antara lain menyatakan, “Undang-undang dasar kita memiliki sistem sendiri”.[31] Memang bila kita mencermati tata pemerintahan menurut UUD 1945 (sebelum diubah), tampak bahwa cara yang ditempuh para pendiri republik, adalah: Pemerintahan Presiden Mandataris,[32] yaitu adaptasi (penyesuaian) dari kebaikan parlementer Inggris dan presidensil Amerika Serikat (AS). Duverger menyebutnya model “pemerintahan ketiga” atawa “sistem pertengahan”, ni parlementaire-ni presidentiel --menurut Georges Pompindou.[33]
Galibnya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), UUD 1945, Pasal 6 (2). Kedudukannya sebagai mandataris memiliki kewajiban melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), UUD 1945, Pasal 3. Tak urung presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya itu, presiden dibantu seorang wakil presiden, para menteri dan dikontrol Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[34]
Sistem pemerintahan tersebut lazim disebut “semi presidensil” (di antara dua tanda petik). Istilah ini dipakai untuk membedakan dengan sistem presidensil di Amerika Serikat (AS). Di sana presiden sangat berkuasa. Meski pemerintah AS bukan pembentuk undang-undang, namun presiden bisa membatalkan undang-undang yang diputuskan Kongres.Bahkan presiden dapat memberi pengampunan, penangguhan hukuman, mengurangi hukuman dan mengurangi denda, tanpa meminta persetujuan Mahkamah Agung.Hal yang tidak bisa dilakukan Presiden Republik Indonesia.
Dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia, Kabinet Sukarno diumumkan 5 September 1945. Sementara 14 Nopember 1945 Kabinet Syahrir yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk, berarti usia Kabinet Sukarno hanya tiga bulan. Peristiwa tersebut merupakan goncangan politik luar biasa bagi negara baru merdeka.[35]
Tanpa perubahan undang-undang dasar “Ministerial-Parlementer”, yaitu: Pola pemerintahan kepartaian yang bertanggung jawab kepada KNIP berlaku dalam tata-pemerintahan Republik Indonesia.[36] Cara ini juga digunakan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 (UUD RIS, Pasal 118 (2) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1950 – 1959 (UUDS, Pasal 83 (2).
Sekitar 14 tahun terhitung sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 – 1959 negeri ini berjuang mempertahankan kedaulatannya, pelbagai rongrongan dan gangguan ideologi, politik, ekonomi, dan ancaman kekerasan bersenjata baik dari pihak luar maupun kaum sparatis lokal –silih berganti menerpa bagai puting beliung.
Hal menarik adalah terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955.Pemilu pertama itu sampai hari ini menduduki tempat terhormat, lantaran pelaksanaannya jujur dan adil.Calon legislatif dan calon anggota konstituante yang dipilih pun terdiri dari para politisi berkelas. Jika dibandingkan dengan Pemilu sesudahnya apalagi Pemilu 2014, layaknya “itik bersanding dengan merak”.
Meski Pemilu 1955 sangat berkualitas dan bermartabat, tetapi tidak menghasilkan pemerintahan yang kuat dan efektif.Tak pelak sistem multi partai membawa konsekuensi tidak ada partai dominan di parlemen.Alhasil koalisi jalan satu-satunya untuk menyusun kabinet (pemerintahan). Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi dan Nahdlatul Ulama merupakan partai-partai yang acap berkoalisi membentuk pemerintahan. Nama kabinetnya pun dikenal dengan sebutan nama tokoh yang mewakili partai, seperti: Kabinet Soekiman-Soewirjo (Masyumi-PNI), Ali-Idham-Rum (PNI-NU-Masyumi), dan sebagainya.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
Pasal 83
Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama ataupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Akan hal itu, sekali saja mosi tak percaya dilancarkan salah satu fraksi koalisi di parlemen, kabinet tersungkur dan jatuh diganti kabinet baru.Kabinet “jatuh-bangun” itu berakhir pada tahun 1957,[37] ketika Soewirjo dari PNI sebagai formatur gagal menyusun zakenkabinet (kabinet kerja) yang diamanatkan presiden.
Krisis pemerintahan di era multi partai acap kali terjadi dan tiba gilirannya tidak bisa ditenggang lagi.Presiden Sukarno 4 April 1957 segera mengambil tindakan tegas, membentuk zakenkabinet. Secara lugas Presiden Sukarno menyatakan bahwa zakenkabinet merupakan kabinet darurat ekstra parlementer, artinya: Pembentukan kabinet berlangsung ketika negara dalam keadaan genting (SOB), tidak berdasarkan aliran (kekuatan) partai politik di parlemen, tetapi dilandasi program kerja pemerintah. Kedudukan para menteri pun mewakili keahlian masing-masing di luar ikatan (kepentingan) partai-partai politik.[38]
Kebijakan Presiden Sukarno mengundang kontroversi.Bahkan ada yang menilai inkonstitusional. Perkaranya pembentukan zakenkabinet di luar kententuan yang berlaku, sebagaimana diatur:
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
Pasal 51
(1) Presiden menunjuk seseorang atau beberapa orang pembentuk kabinet.
Mengatasi hal itu, Presiden Sukarno menunjuk warga negara Dr. Ir. Sukarno sebagai formatur. Selain itu, dalam keadaan darurat (bahaya) seorang presiden sesuai dengan Sumpahnya memiliki hak prerogatif untuk menyelematkan negara.
Terhadap tindakan tersebut, presiden telah mendapat dukungan penuh, setidaknya 69 tokoh berpengaruh dari pelbagai kalangan telah menyetujui kebijakan yang diputuskan. Hasilnya kabinet karya di bawah pimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda mampu menyelenggarakan pemerintahan secara efektif dan dapat membentuk Dewan Nasional, sesuai konsepsi presiden.[39]
Pada bagian lain, Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar menghadapi jalan buntu, tidak mencapai kesepakatan mengenai dasar negara. Sementara gerakan separatis dipelbagai daerah, seperti: DI/TII, PRRI dan Permesta membuat negeri ini dalam keadaan darurat. Presiden Sukarno menyebutnya sebagai era liberalisme yang membahayakan keutuhan negara.
Situasi politik bertambah runyam. Rancangan undang-undang dasar yang seyogianya sudah diselesaikan Konstituante dan dikirim ke presiden untuk disahkan pemerintah, tak kunjung rampung. Usul pemerintah agar kembali ke UUD 1945 pembahasannya tidak bisa dilanjutkan.[40]
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
Pasal 137
(1)Konstituante tidak dapat bermufakat atau mengambil keputusan tentang rancangan Undang-Undang Dasar baru, jika pada rapatnya tidak hadir sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang;
(2)Undang-Undang Dasar baru berlaku, jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh pemerintah;
(3)Apabila Konstituante sudah menerima rancangan Undang-Undang Dasar, maka dikirimkannya rancangan itu kepada presiden untuk disahkan oleh pemerintah. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera. Pemerintah mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.
Sementara itu sebagian besar dari fraksi dalam Konstituante berturut-turut menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi. Dalam keadaan seperti itu yang meliputi lembaga negara ini, pemerintah kemudian memberitahukan Pimpinan Konstituante bahwa segera Presiden akan mengeluarkan dekrit. Dan pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden mengeluarkan dekritnya yang terkenal itu.[41]
Tindakan tersebut mendapat dukungan dari DPR dan rakyat Indonesia, condition sine qua none telah terpenuhi. Niscaya dukungan rakyat merupakan bukti dan atawa sumber hukum tertinggi: recht-bewuszijn, bagi dekrit presiden.[42]
Tak urung sistem “Ministerial-Parlementer” berahir[43], kita kembali menganut pemerintahan Presiden Mandataris, yaitu: Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada MPR serta harus melaksanakan GBHN, sebagaimana diatur UUD 1945, Pasal 3 dan Pasal 6 (2).
Tentang hal itu, pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno menyampaikan Amanat Proklamasi bertajuk: Penemuan Kembali Revolusi Kita. Amanat tersebut mendapat perhatian Dewan Pertimbangan Agung untuk dirumuskan menjadi: Manifesto Politik Republik Indonesia dan mendapat kekuatan hukum melalui Keputusan Dewan Pertimbangan Agung Tentang Perincian Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 No.3/Kpts/Sd/II/59.
Dua dokumen politik tersebut, ditambah Amanat Presiden Sukarno di Sidang Pleno Dewan Perancang Nasional 23 Agustus 1959, Amanat Presiden Sukarno pada Pembukaan Sidang Pertama MPRS 10 Nopember 1960, Amanat Proklamasi 17 Agustus 1950 bertajuk: Jalannya Revolusi Kita, dan Pidato To Build the World a New di Sidang Umum PBB, 30 September 1960 --menjadi dasar pertimbangan MPRS untuk menetapkan GBHN pada tahun 1960.
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, merupakan GBHN pertama dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan UUD 1945, Pasal 3.
Akan tetapi sejak empat kali perubahan undang-undang dasar (1999 – 2002), sistem dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia diubah total.UUD 1945 sebagai konstitusi sosial bergeser menjadi konstitusi politik. Golongan fungsional, seperti: Buruh, tani, nelayan, wartawan, seniman, budayawan, cendekiawan, ulama, rohaniawan, pemuda, perempuan, veteran, TNI, dll, tidak lagi memiliki wakil dalam lokus kedaulatan rakyat di MPR. Sila ke 4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanan dalam perrmusyawaratan perwakilan, diabaikan.
UUD 1945 semula menganut asas semua harus terwakili diubah menjadi semua harus dipilih.[44] MPR pun tidak lagi berfungsi sebagai lembaga negara tertinggi, kewenangannya dalam hal memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN sirna. Tak ayal kedudukan presiden pun bukan mandataris MPR.[45]
Bangsa Indonesia tidak lagi memiliki lokus kedaulatan rakyat tertinggi, kecuali pada pesta demokrasi lima tahun sekali, di situlah para politisi mengemis dukungan suara pada rakyat untuk duduk di parlemen dan atawa sebagai presiden dan wakil presiden. Sementara setelah duduk di kursi kekuasaan, tak peduli pada konstituen (rakyat), memori van overgrap diahir jabatan pun tidak pernah disampaikan.
Kini sistem ketetanegaraan kita telah berubah, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung dan sayangnya hanya menghasilkan pemerintahan koalisi (patungan), buah dari stelsel multi partai. Kocaknya dengan bangga rezim patungan produk Pemilu reformasi menyatakan sistem pemerintahannya, adalah: Presidensil.
Niscaya pengertian presidensil menurut amandemen UUD 1945, sebatas presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak bertanggung jawab pada parlemen dan tidak bisa dijatuhkan DPR.Tetapi bahwa tugas dan wewenang presiden berbagi dengan parlemen, sehingga kedudukan presiden lemah dan kinerjanya tidak efektif, kurang mendapat perhatian.
Tragis sekali presiden yang memilki legitimasi sangat kuat, dipilih rakyat secara langsung, dalam banyak hal,ketika menjalankan wewenangnya harus meminta persetujuan DPR, sekadar untuk secercah pencitraan: Checks and balances. Dari 17 pasal yang mengatur kekuasaan pemerintahan negara, Sembilan pasal berurusan dengan pengangkatan, masa jabatan, sumpah dan janji presiden/wakil presiden, pemberhentian presiden dan wakil presiden. Sedangkantujuh pasal merupakan wewenang presiden dengan terlebih dahulu meminta persetujuan DPR, dan ada satu wewenang lagi harus menunggu persetujuan Mahkamah Agung (MA).
Tak pelak tugas dan wewenang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menurut amandemen UUD 1945, bukan pemerintahan presidensil seperti yang sering kita dengar, apalagi seperti dipraktikan di AS, jauh panggang dari api. Melainkan suatu sistem oplosan, campuran antara“presidensil” dan“parlementaria”, yaitu: Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, walau tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan tidak bisa dijatuhkan,akan tetapi seperti telah diungkap di atas, dalam banyak hal Presiden Republik Indonesia ketika menjalankan wewenangnya harus mendapat persetujuan dari DPR.Selain itu susunan kabinetnya mencerminkan partai-partai politik pendukung pemerintah di parlemen.
Mengacu pada pembentukan dan praktiknya, sistem tersebut merupakan “pemerintahan stelsel multi partai”.Alhasil stabilitas dan efektifitas pemerintahan tergantung pada dinamika koalisi partai-partai pendukung dan desakan agregasi partai-partai oposisi.
Dalam sistem ini pemerintah tidak memberi pertanggung jawaban atas jalannya pemerintahan negara.Impeachmentadalah sanksi bukan pertanggung jawaban, dilakukan jika presiden sungguh-sungguh melanggar konstitusi/undang-undang dan melakukan tindakan tercela.Impeacment berlangsung setelah DPR mengajukan usul kepada MPR dan disetujui Mahkamah Konstitusi (MK), maka MPR bisa menggelar Sidang Istimewa.
Apa yang terjadi? Fakta membuktikan pemerintahan koalisi SBY selama dua periode: 2004 – 2009 dan 2009 – 2014 begitu lemah dihadapan DPR dan tidak efektif, ditinjau dari perspektif Pembukaan UUD 1945. Bahkan telah terjadi: Konflik SARA, perang antar suku dan tawuran antar warga, kekerasan pisik pasca pemilihan kepala daerah yang dianggap curang, korupsi dan patologi sosial merebak di seantero negeri. Tak kalah brutal, “tradisi” pedofilia telah masuk dunia pendidikan sekitar kita.
Dalam Evaluasi Terhadap Implementasi Hasil-Hasil Amandemen UU 1945 dan Urgensi Wacana Amandemen UUD 1945 Yang Kelima, Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2007, antara lain mencatat:
Secara realitas kebijaksanaan urusan masalah ketatanegaraan dari pranata aturan hukum dasar hasil amandemen telah menciptakan ketidak stabilan pemerintahan yang berdampak luas sampai dengan terabaikannya keselamatan jiwa manusia Indonesia, dan terancamnya kebersatuan negara NKRI.
….
Sementara itu setelah amandemen, antara Pembukaan UUD 1945 dan Pasal-pasal UUD 1945 dinilai tidak sinkron, dimana Pembukaan UUD 1945 mencerminkan kultur budaya bangsa Pancasila dengan semangat kebersamaan, kegotong-royongan, musyawarah dan mufakat, sedangkan Pasal-pasal UUD 1945 (setelah diamandemen) membuka peluang-peluang terjadinya praktek-praktek liberalisme, kapitalisme dan individualisme …
Demikian qua substansi dan praktik kita menganut sistem “neo-liberal”, dalam rupa: Pasar bebas melalui praktik birokrasi rente dan stelsel multi partai via mekanismedemokrasi prosedural dengan kecenderungan “transaksional” (konsesi-konsesi). Pengecualiannya secara seremonial kita masih menyatakan: Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusiNegara Republik Indonesia.
II
Zakenkabinet = Pemerintahan Efektif
Ada yang menilai situasi politik ketatanegaraan kita hari ini, mirip tahun 1955 – 1957.Seperti kesaksian Pak Wilopo, “Rakyat berharap setelah Pemilu 1955 pemerintahanakan berjalan efektif. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, harapan masyarakat terhadap pemerintahan yang stabil tidak terwujud”. Pemerintahan koalisi hasil Pemilu 1955 sama seperti pemerintahan sebelumnya, menghasilkan: “Kabinet jatuh-bangun” dan krisis pemerintahan pun terulang kembali. Pendekatan sejarah ini tidak keliru, walau ada perbedaan, yaitu: Kabinet koalisi yang dibentuk presiden hasil Pemilu reformasi, meski tidak efektif tetap berjalan, lantaran tidak bisa dijatuhkan parlemen (DPR).
Suatu pemerintahan yang tidak efektif walau tidak bisa dijatuhkan, mustahil melaksanakan program pembangunan dengan baik dan tepat sasaran, pelayanan publik pun menjadi rendah.In-efisiensi dalam tata kelola pemerintahan pasti terjadi, maka semakin menjauh dari cita-cita kehidupan bernegara sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945.Akankah hal ini diteruskan?
Seperti telah dinyatakan di muka, dua periode rezim Pemilu reformasi memerintah negeri ini, hasilnya mengecewakan.Tidak sesuai visi-misi yang diutarakan pada masa kampanye. Hal ini bukan disebabkan kelemahan pemerintah belaka, akan tetapi ada unsur mendasar yang harus dikritisi dan dibenahi, yakni:
1.Stelsel multi partai dalam praktik ultra demokratis;
2.Kedudukan legislatifyang terlampau kuat;
3.Kedudukan eksekutif yang cenderung lemah.
Hal ini membuat rezim berikutnya galau, kalau-kalau hal serupa menimpa pemerintahannya, jika sistem ketatanegaraan dan sistem politik yang berlaku masih serupa. Maka muncul wacana perlunya kabinet kerja = kabinet karya (zakenkabinet) dalam upaya penguatan lembaga kepresidenan, baik dalam wujud presidensil atawa “semi-presidensil”.
Secara substansial persyaratan membentuk kabinet kerja,sama seperti tahun 1957 ketika Bung Karno membentuk zakkenkabinet,[46] yaitu:
1.Susunan menteri di kabinet tidak mencerminkan aliran (kekuatan) dari partai-partai politik yang ada di parlemen (ekstra-parlementer);
2.Susunan menteri di kabinet terdiri dari para ahli untuk menjalankan program pemerintah (zakenkabinet);[47]
3.Tepat momennya;
4.Kepemimpinan populistik.
Bisa jadi empat persyaratan tersebut menjadi problemstelling yang sulit di atasi.[48]Pasalnya libido kekuasaan partai-partai politik sangat menonjol, apalagi untuk duduk di kursi parlemen memakan ongkos demikian besar, maka pembentukan kabinet kerja menghadapi rintangan alang-kepalang. Di sini presiden tidak sedang berhadapan dengan politisi negarawan, melainkan politisi “ayat kursi” yang sangat hedonis. Berjalin-kelindan dengan keinginan luhur menguatkan lembaga kepresidenan, baik secara presidensil atawa “semi presidensil”, bila kabinet kerja tidak terbentuk, mustahil terlaksana.
Galibnya kabinet kerja merupakan langkah awal menguatkan sistem pemerintahan atawa lembaga kepresidenan.Dengan sistem pemilihan presiden secara langsung seyogianya kedudukan orang nomor satu dinegeri ini, sangat kuat.Jumlah konstituen dan para relawan yang mendukung presiden terpilih merupakan modal (power) yang efektif, menghadapi agregasi stelsel partai dan parlemen dalam menjalankan kebijakannya. Perkaranya sejauh mana kemampuan presiden terpilihmengelola kekuatan yang telah mendukungnya: Terkonsolidasi dan efekktif atawa sporadis an-organis?
Niscaya setelah kabinet kerja terbentuk, kinerjanya harus efektif, terutama di wilayah pelayanan publik, sehingga akan menambah kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Jika hal itu tercapai, bisa dirasakan rakyat pada tahun pertama pemerintahan, maka kita telah memiliki “kepemimpinan populistik”. Tak urung dalam situasi seperti ini, agregasi menguatkan lembaga kepresidenan, bisa diwujudkan.Mengapa? Kekuatan oposisi di parlemen akan diimbangi partisipasi rakyat yang mendukung pemerintah. Meski demikian jalan konstitusional mengukuhkan sistem pemerintahan presidensil atawa “semi-presidensil”, menggantikan sistem campuran “presidensil-parlementaria”, tetap harus ditempuh.Bagaimana caranya?
Seperti Presiden Lincoln (1861 – 1865) meminta Partai Republik mendukung usul amandemen konstitusi Amerika Serikat (AS)mengenai perbudakan, agar “dihapus” melalui addendum (lampiran). Demikian pula dengan Presiden Republik Indonesia, bisa meminta anggota MPR dari fraksi koalisi pendukung pemerintah menyampaikan mosi untuk mengubah pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen UUD 1945, terkait:
1.Kedudukan presiden;
2.Hubungan timbal balik antara presiden dan lembaga negara lainnya;
3.Hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Hal ini dilakukan agar wewenang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi kuat dan efektif.
Selain hal itu,untuk menopang kinerja pemerintah agar program kerja yang dicanangkan berjalan efektif, efisien, tepat sasaran dan berkesinambungan, adalah: Melebur visi-misi yang diutarakan semasa kampanye dalam semangat konstitusionalisme, seperti: Presiden Sukarno menugaskan Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS) menjabarkan Manifesto Politik Republik Indonesia menjadi rencana Pembangunan Semesta Berencana, di Sidang Pleno 23 Agustus 1959, kemudian menjadi pertimbangan MPRS untuk menetapkan GBHN.
Begitu pun dengan Presiden Republik Indonesia sekarang ini, bersama Badan Perancang Pembangunan Nasional (BAPPENAS) merumuskan program kerjanya dalam cetak biru rencana pembangunan nasional, mengganti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang akan diturunkan ke Recana Pembangunan Jangka Pendek dan Menengah.[49]
Rencana pembangunan nasional yang digodok BAPPENAS dilayangkan ke DPR untuk dibahas dan ditetapkan sebagai:Memorandum Bersama antara Pemerintah dan DPR mengenai Rencana Pembangunan Nasional,[50]kemudian dikirim ke MPR agar dibahas dan ditetapkan sebagai GBHN malalui amandemen, terkait dengan kedudukan majelis.
Tak dipungkiri menyeruaknya pelbagai ekses atas pelaksanaan amandemen UUD 1945, khususnya di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif, dikaitkan dengan fenomena IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS yang semakin runyam dan mengundang dis-integrasi sosial serta bahaya dis-integrasi nasional, maka ada beberapa kelompok masyarakat yang sadar konstitusi, menyarankan:
1.Kembali ke UUD 1945 secara murni;
2.Kembali ke UUD 1945 dengan menegakan Pasal 37 (amademen ulang), yaitu: Melakukan perubahan dengan teknik adendum melalui cara menambah pasal-pasal dan ayat-ayat yang ditempatkan dalam lampiran di belakang naskah asli, tanpa melakukan perubahan sistem ketatanegaraan yang dianut UUD 1945;
3.Memperbaiki dan atawa menghapus pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen yang dinilai rancu (bertentangan dengan Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945) dengan membuat pasal-pasal serta ayat-ayat baruvia amandemen ke 5;
4.Menambah pasal-pasal dan ayat-ayat baruvia amandemen ke 5;
Kecuali poin ke 1 yang membutuhkan peristiwa khusus, seperti SOB dan yang sejenisnya, maka untuk poin ke 2 – ke 4 telah diatur dalam:
Amandemen Keempat UUD 1945[51]
Pasal 37.
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ****
(2)Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya ****
(3)Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ****
(4)Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ****
(5)Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan ****
Selazimnya sebelum melakukan perubahan undang-undang dasar, presiden membentuk Komisi Negara (KN), yaitu suatu panitia hukum tata negara mengenai konstitusi yang terdiri dari para ahli dan tokoh masyarakat (non-partai).[52] Tugas KN membuat grand-desain perubahan konstitusi, yakni: Untuk apa perubahan dilakukan dan pasal-pasal serta ayat-ayat apa saja yang akan diubah. Selain itu KN mempunyai kewenangan melakukan kaji ulang atas pasal-pasal dan ayat-ayat perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 dengan merujuk pada Pembukaan dan Penjelasan.
Bila ada pasal-pasal dan ayat-ayat dari hasil perubahan pertama sampai keempat bertentangan dengan Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945, KN wajib mengusulkan kepada MPR untuk menghapus dan atawa mengubah pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut.Bersamaan hal itu, dilampirkan grand desain tentang tujuan perubahan UUD 1945 disertai pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen, hasil kajian KN.
Tentang hal itu MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna untuk membahas usul KN yang akan diatur dalam Tata Tertib MPR. Setelah segala sesuatunya telah memenuhi prosedur yang berlaku, maka digelar Sidang Konstitusi, yaitu: Sidang khusus hanya untuk menetapkan perubahan undang-undang dasar, tidak ada materi lain. Sidang Konstitusi ini belum diatur dalam Tata Tertib MPR.
III
Penataan Partai Politik = Konsolidasi Demokrasi
Semasa Rezim Soeharto K.H. Abdurachman Wahid (alm) akrab disapa Gus Dur, kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia ke 4 --pernah menyindir penguasa tentang demokrasi Pancasila dengan istilah “demokrasi atributit”.Maksudnya demokrasi Pancasila nihil, yang berjalan instruksi-instruksi kepada lembaga-lembaga demokrasi bentukan pemerintah sebagai atribut belaka, pelindung kepentingan penguasa. Akibatnya sangat serius, penguasa yang zalim, UUD 1945 dinista dan diubah secara sembrono oleh MPR masa bakti 1999 – 2002 yang kedudukannya melanggar UUD 1945, Pasal 2 (1) Jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1999.[53]
Para eksponen reformasi berhaluan “neo-liberal” segera mempopulerkan isu, bahwa rezim Soeharto otoriter akibat: UUD 1945 multi tafsir, berpeluang menciptakan penguasa diktaktor, lantaran itu harus diubah, bila perlu diganti. Opini tersebut mengabaikan prinsip ilmiah, bahwa konstitusi berbeda dengan kekuasaan, walau merupakan ketentuan dasar mengatur kekuasaan untuk mengurus negeri. Tak pelak harus dibedakan antara negara berkonstitusi dengan negara yang mempunyai pemerintahan konstitusional,[54] pasalnya kekuasaan cenderung korup.[55]
Sebagai sumber studi hukum tata negara konstitusi diibaratkan: Kapal sedang sandar dengan tenang di dermaga, de staat in rust. Hal ini tidak berarti menempatkan UUD 1945 sebagai kitab suci.Tanpa diminta oleh siapa pun yang merasa paling super demokratis di negeri ini sepanjang peradaban, UUD 1945 telah menetapkan prosedur perubahan sebagaimana diatur Pasal 37.Amanat perubahan ini bukan dirumuskan kaum neoliberal yang merasa paling hebat mewacanakan demokrasi di negeri ini.Melainkan oleh para pendiri republik yang cerdas, bersahaja, jujur dan patriotik.
Siapa sebenarnya yang mensakralkan konstitusi Proklamasi?Kecuali para “agen demokrasi” ketika menyindir golongan pro UUD 1945 sebagai kelompok yang mensucikan konstitusi, lantaran menolak amandemen.Suatu opini dangkal dan keblinger, out of contact. Pasalnya kritik dari golongan pro UUD 1945 bukan pada perubahan konstitusi yang diamanatkan Pasal 37, melainkan pada prosedur yang melanggar Undang-undang No. 4 Tahun 1999 dan Tata Tertib MPR ketika mengubah UUD 1945, serta pasal-pasal dan ayat-ayat perubahan (amandemen) yang bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.
Hata memasuki era reformasi ditandai terjungkalnya rezim Soeharto, demokrasi Pancasila mendapat kritik tajam kemudian ditarik dan digeser kearah demokrasi liberal dalam praktik one man one vote , “demokrasi statistik”, 50 + 1 = Menang.[56]Senafas dengan hal itu stelsel multi partai segera diselenggarakan sebagai wujud liberalisasi politik.Nasib atawa pemenang dari pesta demokrasi liberal, kata Lenin, diujung jari penghitung suara terakhir.
Alih-alih meningkatkan mutu demokrasi, pada gilirannya tradisi checks and balances dalam tatakelola sistem kekuasaan di negeri Paman Sam, dipinjam dan dipakai (secara sembrono) agar mentereng dalam struktur ketatanegaraan kita. Layaknya seorang Ayah sepulang dari luar negeri, membawa sepatu branded buatanParis untuk sang anak. Namun kebesaran atawa kesempitan, sehingga tidak nyaman digunakan ke-pesta.
Demikian perubahan UUD 1945 yang bertujuan “mengerem” penguasa agar tidak dominan (executive happy), dengan carachecks and balances (menjaga keseimbangan)melalui kesetaraan lembaga-lembaga negara, tidak tercapai. Yang paling mencolok dari implementasi amandemen UUD 1945 antara lain, tidak ada stabilitas prosedural, gonta-ganti peraturan dalam waktu sangat pendek sehingga membuat bingung masyarakat, dalam posisi seperti ini tertib orde takkan tercapai.[57] Pada bagian lain, infrastruktur dan suprastruktur yang dibangun dalam sistem politik hari ini, tidak selaras dan tidak mendapat dukungan dari sosio-budaya masyarakat kita.
Hampir seluruh elit terpelajar dan elit politik di persada ini merujuk negeri Paman Sam sebagai negara paling jempol dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Ironisnya, bahwa demokrasi di sana hanya memberikan peran pada dua partai, yaitu: Demokrat dan Republik dalam Pemilu dan pemerintahan, tidak direken, hanya dilihat sebelah mata, bukan perkara yang harus dipertimbangkan dalam proses demokrasi di negeri ini.
Naif sekali checks and balances dipundi-pundi bagai jimat sehingga pantang dikritik, rumangsa paling benar, tetapi stelsel multi partai dengan dwi-partai kompetitif, tidak dielaborasi untuk diadaptasi?[58]
Apabila Presiden Republik Indonesia di tengah stelsel multi partai berhasil membentuk zakenkabinet dan penguatan lembaga kepresidenan, sehingga pemerintah yang ada menjadi kuat (stabil) serta berjalan efektif. Niscaya tak kalah pentingnya, adalah: Mengubah sistem kepartaian dan Pemilu melalui regulasi yang berbasis sosio-budaya Indonesia, dengan tidak mengabaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan masyarakat urban di perkotaan (kantong massa rawan politik uang), serta tidak mengenyampingkan tingkat pendidikan rakyat yang masih relatif rendah, terutama mengenai politik ketatanegaraan dan demokrasi (pendidikan kewargaan negara = civic), agar tidak dimobilisasi untuk kepentingan sesaat. Berkelindan dengan itu, civic-education mutlak diselenggarakan di negeri ini.
Alhasil agenda penataan partai politik sangat strategis untuk stabiltas nasional di masa sekarang dan yang akan datang, walau demikian kompleks dan sarat tantangan untuk mewujudkannya. Akan hal itu batas perolehan suara partai peserta Pemilu perlu diatur dan ditetapkan melalui undang-undang. Tentang batas perolehan suara partai peserta Pemilu, tergantung skema atawa model penataan partai politik yang akan ditempuh. Setidaknya ada lima skema yang bisa dicermati, yaitu:
1.Stelsel multi partai kompetitif;
2.Penyederhanaan partai politik dengan cara fusi;
3.Stelsel multi partai terbatas dengan tiga partai kopetitif;
4.Stelsel multi partai kopetitif dengan pemenang tunggal= Partai Pelopor;
5.Stelsel multi partai kopetitif terbatas dengan dua koalisi permanen.
Untuk skema ke 1, stelsel multi partai kompetitif, sudah pernah dipraktikan ketika Pemilu 1955 dan tidak menghasilkan pemerintahan yang stabil dan efektif. Hal ini terulang kembali dalam varian berbeda pada Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014,[59]hasilnya sama. Pasalnya tidak ada partai pemenang PemiluLegislatif meraih suara dominan, sehingga harus menempuh jalan koalisi untuk membentuk pemerintahan yang cenderung transaksional dan sangat rapuh.
Sedangkan untuk skema ke 2, penyederhanaan partai politik dengan cara fusi (melalui operasi intelejen), telah dipraktikan semasa Pemilu-Pemilu “orde baru” dan menghasilkan pemerintahan otoriterian sebagaimana dijalankan rezim Soeharto.Akibatnya UUD 1945 dan Pancasila yang dijadikan tameng rezim Soeharto, dinista. Seakan apa yang dilakukan “orde baru” merupakan refleksi dari UUD 1945 dan Pancasila. Padahal sama sekali bertentangan.
Bagaimana dengan skema ke 3?Stelsel multi partai terbatas dengan tiga partai kompetitif, belum pernah dijalankan di negeri ini. Jika hal ini akan dipilih untuk menata sistem politiknasional kita, dalam usaha membentuk pemerintahan yang kuat melalui jalan demokratis, tantangannya adalah: Menaikan ambang batas perolehan suara partai peserta Pemilu Legislatif dengan prosentase tinggi, misalnya: 10persen.
Pada sistem ini tidak ada pembatasan partai politik, namun hanya partai yang meraih suara minimal 10 persen dalam Pemilu legislatif sebelumnya, bisa menjadi peserta Pemilu legislatif selanjutnya. Melalui ambang batas perolehan suara 10 persen, bercermin dari Pemilu Legislatif 2014, diprediksi hanya akan ada tiga partai besar yang berkompetisi dalam setiap Pemilu Legislatif.
Melalui stelsel multi partai terbatas dengan tiga partai kompetitif, padasaat Pemilu Legislatif digelar, lazimnya: Masing-masing partai sudah menetapkan dan mengumumkan calon presiden dan wakil presidennya.Tak urung bagipartai yang meraih suara terbanyak padaPemilu Legislatif,calon presiden dan wakil presidennya akan dipilih dan dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Berbeda dengan skema ke 4, stelsel multi partai kompetitif dengan pemenang partai tunggal,maka semua partai dapat mengikuti Pemilu Legislatif, tanpa ketentuan ambang batas suara yang harus diraih.Akan tetapipartai politik yang meraih suara terbesarpertamaduduk dan memimpin pemerintahan, sebagai partai pelopor.Calon presiden dan wakil presiden dari partai pemenang segera dipilih dan dilantik MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.Adapun peraih suara terbesar kedua menjadi partai oposisi, mengimbangi partai pemerintah di parlemen. Partai-partai dengan perolehan suara di bawah partai pemenang kedua, suaranya hangus.Meski demikian partai-partai tersebut tetap menjadi peserta Pemilu Legislatif.
Adapun untukskema ke 5,stelsel multi partai kompetitif terbatas dengan dua koalisi permanen,bilamerujuk pada komposisi partai-partai hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014,[60]yang telah menghasilkan dua koalisi besar pasca Pemilu Legislatif, yaitu: Koalisi Merah-Putih dan Koalisi Kebangsaan.Maka bedanya dalam sistem ini, pola koalisinya dibalik,yakni: Sebelum mengikuti Pemilu Legislatif,partai-partai tersebut sudah harus menetapkan calon presiden dan calon wakil presiden. Bersamaan dengan itu, sudah harus bergabung dengan partai-partaiyang bisa berkerja sama secara efektif dan permanen, membentuk koalisi ideologis untukmenyusun program pemerintah yang akan ditawarkan dalam Pemilu.
Adapun di parlemen nanti, tidak ada fraksi partai politik, melainkan cukup diwakili dua fraksi koalisi saja. Dengan cara ini suara konstituen yang tersebar berserakan keberagam partai (disfusi), dihimpun (fusi) dalam dua kelompok (koalisi) agar terkonsolidir menjadi kekuatan demokrasi yang konstruktif di DPR.Melalui skema ke 5, partai koalisi atawa gabungan partai-partai denganperolehan suara terbanyak pada Pemilu Legislatif, calon presiden dan wakil presidennya akan dipilih dan dilantik MPR menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dari lima skema penataan partai politik ini, skema ke 3, 4 dan 5 menempatkan Pemilu Legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden berjalan serentak.Cara dan pendekatan yang ditempuh dalam tiga skema tersebut, baik yang berurusan dengan batas suara, koalisi, fraksi, kedudukan partai pemenang, penentuan presiden dan wakil presiden, dll diselenggarakan sebagai upaya konsolidasi demokrasi. Tanpa konsolidasi demokrasi dalam alam liberalisme seperti dewasa ini, suara konstituen yang tersebar kepelbagai partai bagai pecahan beling, menyeruak disetiap penjuru dan mengundang bahaya.
Pada tempatnya suara rakyat yang berhamburan kepelbagai partai, diserap menjadi kekuatan demokrasi yang konstruktif di DPR via koalisi permanen. Hal ini akan diatur dalam:Konstitusi; undang-undang partai politik; undang-undang koalisi; undang-undang Pemilu; undang-undang kepresidenan; dan undang-undang kedudukan DPR dan MPR --yang tidak saling bertentangan dan dapat memberikan jalan keluar secara elegan bila terjadi sesuatu yang krusial (darurat), sehingga tidak menimbulkan de situatie van het abnormaller recht.
Dalam pada itu, tanpa terkecuali seluruh partai politik wajib mengadakan pendidikan politik secara reguler, minimal dua kali dalam setahun, untuk rekruitmen anggota dan kader, guna ditempatkan sebagai pengurus partai di semua level (dari bawah sampai atas) dan sebagai wakil partai di lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) menurut peraturan yang berlaku. Partai politik tidak melaksanakan pendidikan politik secara reguler segera dibekukan. Demikian kehadiran partai politik tidak sebatas ketika masa kampanye menyongsong Pemilu.
Galibnya bila kita ingin menciptakan pemerintahan yang kuat dan efektif tanpa menciderai demokrasi,dari lima skema penataan partai politik yang telah dipaparkan, ada tiga pilihan yang patut dipertimbangkan untuk ditempuh, yakni: Skema ke 3, 4 dan 5.Paralel dengan hal itu, anggaran Pemilu pun menjadi ramping. Tingkat kecurangan dapat diminimalisir, mutu demokrasi akan meningkat dari sekadar demokrasi prosedural (formal-administratif) kearah demokrasi substansial (tertib-orde = bersih, etis, setara dan sejahtera).
Pengalaman dua periode pemerintahan koalisi hasil Pemilu 2004 dan 2009seperti telah disinggung berulang kali, tidak efektif dan in-efisiensi. Begitu pun kiprah stelsel multi partai dengan legislative happy, telah memberikan peluang pada tindak korupsi (penyalah-gunaan wewenang kekuasaan) yang bersumber dari struktur lembaga negaravia BANGGAR.Mengapa hal ini terjadi?
Khalayak telah mafhumaroma dan hebohnyaaliran politik uang pada setiap Pemilu- Legislatif, pemilihan kepala daerah (Pemilukada) serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, di era reformasi ini.Lantaran itu, ketika kekuasaan sudah di tangan, semua proyek yang dibiayai APBD dan APBN harus bisa dikapitalisasi dan disebar kesetiap jaringan pendukung.Modal dan ongkos politik yang demikian besar harus kembali dengan marjin keuntungan tertentu, hal yang logis.
Sudah saatnya kita berpikir preventif, memberantas korupsi bukan menangkap koruptor.Banyaknya koruptor yang ditangkap bukan berarti pemerintah amanah.Sebaliknya lembaga negara dan instansi pemerintah telah salah memilih personil yang direkruituntuk mengisi formasi jabatan, walau via tes-psikologi dan uji kelayakan. Buktinya persyaratan formil yang telah dilalui itu, tidak mampu mendeteksi mental bandit.Alhasil pengadilan tindak pidana korupsi kewalahan menyelesaikan tugasnya, lantaran besar pasak dari tiang, lebih banyak koruptornya ketimbang jaksa dan hakim yang bertugas menanganinya.
Tampaknya standar tes-psikologi dan uji kepatutan selayaknya diperbarui, bila perlu ditinggalkan sama sekali. Buang jauh-jauh cara berpikir formalis, linier, dan teks books. Saatnya kita berpikir spiral, zig-zag, lateral –keluar dari pakem (menerobos tantangan) dengan mengadakan: Itjtihad sosial (revolusi mental) untuk menemukan formula rekruitmen dan distribusi personalia kepemimpinan, berbasis watak.[61]Pasalnya dalam watak ada unsur budi-pekerti (etika), kepemimpinan, dan talenta (kompetensi).
Berapa milyar anggaran ambles untuk tes psikologi dan uji kepatutan berbasis kompetensi, hanya untuk meloloskan personalia cerdas tanpa integritas, akibatnya bisa bertindak lacur ketika dipercaya memegang jabatan .[62] Sementara biaya untuk operasional Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demikian besar, tidak sebanding dengan uang yang disita dari tangan para koruptor. Akan lebih efisien dan efektif adalah mencegah sikap korup yang ditimbulkan rezim Pemilu transaksional, sumber penyalah-gunaan wewenang kekuasaan.
Perlu ditegaskan berulang kali agar menjadi ingatan kolektif, bahwa: Korupsi hari ini merupakan kejahatan struktural, sumbernya di kekuasaan, pada lembaga-lembaga negara yang proses rekruitmennya menelan ongkos sangat besar dan tidak logis. Stelsel multi partai turut memberikan kontribusi bagi kejahatan struktural dalam rupa penyalahgunaan wewenang kekuasaan, sehingga menimbulkan kerugian pada kas negara yang tak tepermanai banyaknya.Walhasil penataan partai politik dan perbaikan sistem Pemilu melalui undang-undang berbasis sosio-budaya dan kepentingan nasional, jalan strategis mencapai stabilitas nasional dan pemberantasan korupsi.
Jika kinerja presiden efektif serta amanah, begitu pula dengan kejaksaan dan kepolisian akan meneladaninya, negeri ini tidak perlu KPK sebagai lembaga Ad Hoc. Kekuatan armada KPK bisa ditransformasi ke kejaksaan, kepolisian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pajak, bea-cukai, inspektorat jenderal, panitia lelang, dll.Pastinya pengawasan melekat pun terselenggara di setiap level dan lini di instansi-instansinegara dan pemerintah.
“Kamera anti korupsi” berjalan di jantung kebijakan dan kegiatan aparatur birokrasi.Gejala prilaku korup langsung tertangkap,artinya: Baru akannelepanggaran dan atawa menyusun rencana jahat, sudah terkena kartu kuning (pangkat diturunkan dan dimutasi).Fungsi pengawasan (kontrol) berjalan ketat dan efektif. Pasalnya hanya pemerintah yang kuat dan amanah mampu melakukan hal itu, lain tidak! (GW)
-----------------------------
[1] Pidato Mahathir Muhamad dalam Malam Ramah Tamah Bersama HE Tun Dr. Mahathir bin Mohamad dan Ven. Prof. Dr. Master Chin Kung, Hotel Mulia, Jakarta, 13 Maret 2014.
[2] DR. Mohammad Hatta, Pustaka Antara, Jakarta 1966.
[3] Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, 579 – 588, Jilid I, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi , Jakarta 1964.
[4] Pada masa Yunani kuna ada Negara Kota dengan demokrasi langsung, namun hanya berlaku bagi para bangsawan, masyarakat awam atawa budak tidak ambil bagian dalam proses demokrasi.
[5]Semangat jang ultra-demokratis jang meradjalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai mengubah sistem pemerintahan dari pemerintah presidensiil jang tertanam didalam Undang-Undang Dasar 1945 mendjadi kabinet parlementer.Sistim kabinet parlementer seperti jang berlaku di Eropah Barat, dimana pemerintah bertanggung djawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari sistim pemerintah presidensiil. Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintaha nasional jang demokratis perlu akan suatu pemerintah jang kuat. Sedjarah Indonesia sedjak proklamasi 17 Agustus 1945 menjatakan bahwa pemerintah jang kuat di Indonesia ialah pemerintah presidensiil dibawah dwitunggal Soekarno-Hatta.Lahirnja ide dwitunggal diwaktu itu bukanlah suatu hal jang dibuat-buat, melainkan suatu kenjataan jang dikehendaki oleh keadaan. (DR. Mohammad Hatta, 10, 1966)