Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Habibie dan Kekerasan terhadap Perempuan

20 Juli 2023   10:51 Diperbarui: 20 Juli 2023   10:54 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Habibie dan Kekerasan Terhadap Perempuan*

...Oleh karena itu, saya atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan.

Penggalan kalimat pembuka tulisan ini adalah paragraf penutup pidato Presiden B.J. Habibie Rabu 15 Juli 1998. Dua puluh lima tahun lalu presiden ketiga Republik Indonesia itu membacakan pidato yang ditayangkan langsung saluran televisi nasional. Pidato tersebut lahir setelah sebulan sebelumnya Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengeluarkan pernyataan resmi  mengecam keras perkosaan dan penyerangan seksual yang bersifat sistematis terhadap perempuan pada kerusuhan Mei 1998 (Anggraeni,2014). Meskipun tidak dikategorikan sebagai pidato resmi kenegaraan, sehingga tidak muncul di laman kepustakaan presiden (Indonesian Presidential Library Materials), tak pelak pidato ini adalah pidato penting karena berkaitan dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Bab IX Penutup menyebutkan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah tragedi nasional yang sangat menyedihkan dan merupakan satu aib terhadap martabat dan kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan.

Sepekan setelah membacakan pidato, yang menyebutkan adanya bukti-bukti otentik kekerasan terhadap perempuan, Presiden Habibie membentuk TGPF peristiwa 13-15 Mei 1998 yang diketuai Marzuki Darusman bersama 17 anggota yang terdiri dari anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga Swadaya Masyarakat, kepolisian dan militer serta organisasi kemasyarakatan. Tiga bulan kemudian TGPF mengeluarkan Laporan Akhir yang berisi  analisis, simpulan, dan rekomendasi terkait dengan peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang diperkirakan memakan ribuan korban jiwa, serta mencatat sekurangnya 52 kasus pemerkosaan dan kerugian material lebih dari 3 triliun Rupiah.

Dalam perjalanan selama dua puluh lima tahun isu kekerasan terhadap perempuan Mei 1998 menjadi wacana masyarakat dengan topik perdebatan apakah peristiwa itu benar-benar terjadi atau tidak. Hermawan Sulistyo dalam bukunya Intercourse with Tragedy (2016) mengisahkan aktivis HAM Sydney Jones mengeluh telah membawa tim relawan untuk bicara di PBB namun saksi korban perkosaan tidak ada dengan alasan masih dalam perawatan akibat trauma (hlm.82). Dalam perspektif Prof Saparinah Sadli, anggota TGPF, dimensi jumlah (kuantitas) tidaklah penting, karena jika ada satu perkosaan dilakukan secara terencana, kasus tunggal itu telah lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan lebih jauh (hlm.78). Setelah terbunuhnya Ita Martadinata, menurut Romo Sandyawan (anggota TGPF) Jones minta maaf setelah melihat dan sadar apa yang dapat terjadi pada korban atau pendamping yang menampilkan diri (Anggraeni, 2014:73). Ita Martadinata atau Martadinata Haryono adalah seorang siswa sekolah menengah usia 18 tahun yang bersedia memberi kesaksian di hadapan kelompok internasional pembela HAM di Amerika Serikat (Anggraeni, 2014:129).

Sehari sebelum pembentukan TGPF Presiden Habibie membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau lebih dikenal sebagai Komnas Perempuan.Di antara para komisionernya saat itu tercantum nama Sinta Nuriyah Wahid ( menjadi ibu negara 1999-2001), Herawati Diah (jurnalis senior) dan Dr. Nasaruddin Umar (saat itu wakil rektor IAIN).

Persoalan kekerasan terhadap perempuan juga disinggung  Habibie pada Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 15 Agustus 1998. Habibie menyebut :... . Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama dari kelompok etnis Tionghoa. Seluruh rangkaian tindakan tidak bertanggung jawab tersebut sangat mcmalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri sebagai bangsa yang berakhlak dan bermoral tinggi...Sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama kita mengutuk perbuatan biadab tersebut.

Habibie dalam pidatonya tersebut  sama sekali tidak menyinggung TGPF Mei 1998 yang diinisiasinya sendiri. Hingga akhir masa kepemimpinannya yang berumur satu tahun 5 bulan delapan rekomendasi TGPF berhenti di halaman kertas. Sejarah juga mencatat Ketua Komnas HAM sekaligus Ketua TGPF Mei 1998 Marzuki Darusman dilantik Presiden Abdurahman Wahid sebagai Jaksa Agung. Selama dua tahun karirnya (1999-2001) rekomendasi tim yang pernah dipimpinnya itu juga tidak dilaksanakan.

Dimasukkannya kerusuhan Mei 1998 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di penghujung pemerintahan Joko Widodo kiranya dapat menyadarkan kita bahwa memberi kesempatan bagi keadilan dan untuk mengingat adanya kekerasan terhadap perempuan  secara publik adalah sama dengan mengatakan kalau penderitaan para korban adalah penting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun