Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media dan Kemiskinan

28 Juni 2022   20:50 Diperbarui: 28 Juni 2022   20:57 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebutuhan untuk menyuarakan penderitaan adalah syarat dari semua kebenaran (Theodor W.Adorno)

Surat kabar Los Angeles Times pernah mengadakan jajak pendapat di tahun 1985 untuk mengetahui pendapat masyarakat Amerika tentang kemiskinan dan upaya pemerintah memberantasnya. 

Tiga puluh satu tahun kemudian pertanyaan yang sama kembali diajukan kepada 1202 orang dewasa. Di antara temuan yang mengejutkan adalah mereka yang hidup miskin dan di atas kemiskinan konsisten tetap tidak yakin pemerintah mampu menghapus kemiskinan (latimes.com). 

Alih-alih percaya kepada pemerintah, masyarakat lebih mempercayai perseorangan atau lembaga swasta dalam mengentaskan kemiskinan.   Setelah lebih dari 30 tahun mengapa suara masyarakat, baik miskin maupun tidak, tetap konsisten meyakini pemerintah tidak mampu mengentaskan kemiskinan? Adakah hubungannya dengan media?

Harkins dan Lugo-Ocando (2018) mencoba menjawab dengan menjelaskan bahwa kemiskinan telah lama dikonstruksi dalam imajinasi publik sebagai realitas sosial oleh para agen kultural. 

Para agen kultural tersebut adalah bagian dari lembaga kultural yang dikembangkan kelompok penguasa sebagai tindakan mengekalkan kekuasaannya. 

Inilah yang disebut sebagai hegemoni kultural menurut Gramsci. Menguasai masyarakat melalui nilai-nilai sosial yang dibagikan tanpa paksaan dan kekerasan. 

Di era modern ini agen kultural yang mengonstruksi nilai-nilai di masyarakat di antaranya adalah media. Media memang tidak hanya mencerminkan realitas masyarakat namun lebih jauh lagi membentuk realitas masyarakat. Media bahkan memiliki otoritas pengetahuan dibanding aparatus kekuasaan lainnya.

Dalam pemberitaan kemiskinan media mengonstruksi kemiskinan melalui narasi, wacana dan sirkulasi citra (gambar). Istilah kemiskinan sendiri harus dilihat sebagai konsep politik yang selalu diperebutkan karena pemahamannya mempengaruhi tindakan sosial yang akan dilakukan (Lister,2004).

Perebutan konsep politik kemiskinan dapat kita lihat saat menengok upaya dominasi ide dan praktik politik ekonomi di masa lalu. Di era orde baru Soeharto memasukkan penanggulangan kemiskinan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). 

Kini istilah penanggulangan kemiskinan ekstrem mencuat seiring keluarnya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (Kompas.com). Seluruh konsep ide dan praktik ekonomi politik kemiskinan berbagai rezim tersebut muncul dalam bingkai media.

Sudah lama diperdebatkan bahwa media membatasi pembingkaian (framing) isu-isu publik, termasuk persoalan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Redden (2011) terhadap media arus utama dan alternatif di Inggris dan Kanada menemukan tiga framing dominan yang dilakukan media saat memberitakan kemiskinan. 

Ketiga pembingkaian itu adalah bingkai individualisasi (individualizing frame), bingkai rasionalisasi (rationalizing frame) dan bingkai keadilan sosial (social justice frame).

Memberitakan kemiskinan dengan menampilkan penderitaan individu menjadi ciri khas pemberitaan media di manapun termasuk di Indonesia. Media cetak, penyiaran hingga media baru tak asing dengan kisah getir kehidupan seorang yang miskin. Inilah yang disebut bingkai individualisasi. 

Harkins dan Lugo-Orcando (2016) menyebut sebagai wacana Malthusianisme. Wacana ini muncul di era Victoria dan diadopsi seiring munculnya komersialisme media yang mengakhiri  era surat kabar politik dan ideologis. Kemiskinan dipresentasikan media sebagai isu individu alih-alih masalah struktur sosial. 

Media mendukung gagasan bahwa distribusi kekayaan dalam masyarakat mencerminkan kecerdasan dan kemampuan yang diwariskan untuk tampil lebih baik atau lebih buruk dalam masyarakat sebagai individu. Dengan demikian kemiskinan adalah tanggungjawab perseorangan.

Bingkai rasionalisasi tampil dalam pemberitaan yang menitikberatkan pada alasan instrumental (Redden,2011). Kemiskinan dinarasikan dengan rujukan statistik dan pembiayaan program. 

Kemiskinan disajikan sebagai isu untuk dievaluasi berdasarkan kuantifikasi, perhitungan dan analisis biaya versus manfaat. Pembingkaian rasionalisasi kemiskinan sering kita temui di media jelang kontestasi politik baik oleh pendukung maupun pesaingnya

Jika ada media yang menampilkan kemiskinan dalam relasi kualitas kehidupan dan sebagai hak dalam kesetaraan distribusi maka di situlah kita temui bingkai keadilan sosial. 

Media di Indonesia pernah melakukan framing keadilan sosial saat menanggapi rencana vaksinasi  berbayar pemerintah yang akhirnya diubah menjadi vaksinasi Covid-19 gratis untuk semua penduduk Indonesia.

Media hadir bukan hanya menghibur, namun juga memberikan suara kepada penderitaan. Bingkai keadilan sosial harus makin sering dimunculkan dalam pemberitaan kemiskinan. Karena itu semua adalah pelaksanaan mantera media sebagai Amanat Hati Nurani Rakyat, Migunani Tumraping Liyan (bermanfaat untuk orang lain) dan Inspirasi untuk Perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun