Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Yogyakarta dan Bumerang Harga Murah

4 Februari 2021   09:27 Diperbarui: 4 Februari 2021   09:55 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Viral di media sosial keluhan turis wisata Tebing Breksi Yogyakarta. Tak kurang dari 33 ribu komentar muncul menanggapi kiriman Endah Hayati di Facebook. Sebagaimana dikutip detik.com Endah kecewa karena wisata Tebing Breksi yang terkenal sebagai wisata murah meriah  setelah ramai/viral kini jadi mahal. 

Setiap spot foto harus membayar per orang. Endah menjadi tidak nyaman karena setiap pindah spot foto diikuti dan ditungguin penjaganya. Sang penjaga datang bersama kotak uang transparan yang ditulis minimal Rp 10 ribu.  Padahal, lanjut Endah, wisata Tebing Breksi kini tiket masuk Rp 10 ribu perorang padahal dulu sukarela.

Murah dan enak memang menjadi merk dagang Yogyakarta sebagai destinasi wisata domestik nomer satu di Indonesia. Makanan murah, tempat tinggal murah, transportasi murah. Dan semuanya diikuti dengan pelayanan yang ramah memuaskan. Harga rendah tapi kualitas tinggi. Mengapa bisa begitu?

Perkiraan pertama dan sering menjadi asumsi popular adalah kota Yogyakarta terkenal sebagai kota pendidikan. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Yogyakarta pernah memperkirakan  di tahun 2015 bahwa ada 300 ribu mahasiswa yang studi di Yogyakarta. Biaya hidup seorang mahasiswa di kota Gudeg ini sekitar Rp 2 hingga Rp 3 juta rupiah.

Ini tidak berarti jika dibandingkan dengan biaya hidup di kota besar Jakarta yang rata-rata dapat mencapai Rp 4 juta hingga Rp 5 juta setiap bulan. Tak heran banyak orang mengidamkan biaya hidup di Yogyakarta namun dengan gaji/pendapatan Jakarta.  Sebagai perbandingan Upah Minimum Provinsi (UMP) Kota Yogyakarta adalah Rp 1.765.608  sedangkan UMP DKI Jakarta Rp 4.416.186.

Penduduk kota Yogyakarta tahun 2020 adalah 435.936 orang. Katakanlah di tahun 2020 jumlah mahasiswa naik 10 persen maka jumlah mahasiswa 330 ribu orang. Dengan demikian lebih dari 43%  manusia yang tinggal di Yogyakarta adalah mahasiswa. Ini dengan asumsi seluruh mahasiswa adalah pendatang dan kuliah di kota Yogyakarta.

Ekonomi mahasiswa inilah yang mendominasi harga produk yang dijual di kota Yogyakarta. Harga mahasiswa mendominasi produk yang ditawarkan karena mereka yang menjadi konsumen dominan. Mulai dari produk makanan, sandang, asesoris hingga lokasi wisata. Murah namun kualitas baik.

Murah meriah baik inilah yang dipelihara dan dijadikan ideologi ekonomi kota Yogyakarta. Sehingga ketika ketika ada produk yang mahal konsumen pun protes. Artinya harga murah menjadi boomerang sendiri. Kondisi ini makin terasa ketika pandemi. Jumlah wisatawan turun drastis. Sehingga yang datang berkunjung dimanfaatkan sebaik mungkin. Pengunjung merasa dieksploitasi.

Dalam dunia kewarasan harga sebanding dengan pelayanan. Makin mahal harga suatu produk maka pelayanan semakin baik. Itu kewarasan ekonomi saat kini. Menginginkan produk baik dengan harga serendah mungkin adalah kemustahilan.  Kita patut curiga dengan produk baik dijual dengan harga murah. Boleh jadi anda tidak sependapat.

Rupa bawa harga. Dulu mobil berwarna putih adalah mobil paling murah dibandingkan mobil sejenis dengan warna berbeda. Kini warna putih menjadi favorit sehingga harganya tak kalah mahal dengan mobil warna lainnya.

Dengan demikian ideologi murah meriah dan baik tidak selamanya menguntungkan. Sedikit demi sedikit harga produk di Yogyakarta ikut menyesuaikan. Para konsumen khususnya wisatawan harus tahu bahwa Upah Minimum Provinsi terendah di Indonesia adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Di Yogyakarta pula kesenjangan sosial tertinggi terjadi di Indonesia. ratio gini adalah 0,434 per Maret 2020. Makin mendekati angka 1 maka makin tinggi kesenjangan sosial.Di suasana pandemi sekarang ini besar kemungkinan kesenjangan makin lebar dan angka kemiskinan naik.

Menurut guru besar ekonomi UGM Mudradjad Kuncoro, sebagaimana dikutip Tirto.id di masa pandemi  justru warga Yogyakarya yang kaya makin kaya karena pendapatan yang lebih tinggi. Yang menikmati kue pembangunan Yogyakarta  40% adalah kalangan menengah dan 20% orang terkaya.

Dengan berkaca pada pemahaman sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta sepatutnya ideologi murah meriah dan baik dikaji ulang, khususnya sebagai merk dagang destinasi wisata. Yang patut dikedepankan adalah pelayanan terbaik kepada wisatawan, domestik maupun mancanegara, dengan harga kompetitif. Sehingga jangan sampai terjadi harga murah menjadi bumerang yang mencekik leher sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun