Pemakaman keluarga Hasta Renggo Kotagede Yogyakarta menjadi peristirahatan terakhir Bendara Raden Ayu (BRay) Roswarini Sri Yuniarsih Prabukusumo. Istri GBPH Prabukusumo itu meninggal di RSUP Dr.Sardjito Senin malam (7/12/20). Sebelumnya ia dirawat selama 20 hari usai dinyatakan positif Covid-19.
GBPH Prabukusumo adalah adik Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X. Proses pemakaman menggunakan protokol kesehatan Covid-19.
Meninggalnya istri adik Sri Sultan Hamengkubuwono X menandakan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 perlu dievaluasi. Wafatnya istri adik Sultan adalah penanda makin merebaknya virus Corona di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelumnya Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian kota Yogyakarta dinyatakan positif Covid-19. Masih di pekan yang sama tersiar kabar bahwa 33 guru Jakarta positif Covid-19 usai wisata ke Yogyakarta.
Akhir November lalu  22 nakes dan 7 dokter RS Yogyakarta terkonfirmasi positif Covid-19. Data mutakhir menunjukkan sudah 7421 kasus positif Covid-19 terjadi di Yogyakarta dengan 5162 orang sembuh dan 155 meninggal dunia.
Pemda Yogyakarta tidak menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB sejak virus corona merebak. Kebijakan ini dinilai positif pemerintah pusat yang disampaikan Kepala Staf Kepersidenan Moeldoko.
Sebagaimana ditulis Gatra.com Moeldoko menyatakan,"Pengelolaan Covid-19 di Yogyakarta, saya kira langkah Bapak Gubernur sangat inovatif, sejalan dengan pemerintah pusat ambil, yaitu micro lockdown," ujarnya.
Menurut dia, PSBB dalam satu wilayah, seperti sekabupaten, tak bisa diterapkan saat ini. "Pembatasan semakin mikro itu sangat diperlukan karena di satu wilayah konsentrasinya, bukan satu kawasan diberlakukan PSBB," ujarnya.
Moeldoko menyatakan, Presiden Joko Widodo pun setuju atas pembatasan mikro. "Jangan langsung satu kabupaten PSBB. Kalau kejadiannya di zonasi kecil, perlakuannya mikro. Kalau (pembatasan) makro, mengganggu yang lain," ujar dia.
Kebijakan terbaru pemda Yogyakarta adalah  jelang libur natal dan akhir tahun mendorong destinasi wisata dan seluruh komponennya menjaga protokol kesehatan. Sebagaimana dikutip Tempo.co Sekretaris DI Yogyakarta Kadarmanta Baskara Aji menyatakan tidak mungkin lagi menutup aktivitas yang berpotensi menjadi tempat transmisi Covid-19.
Baskara Aji menjelaskan kasus Covid-19 itu muncul bukan karena wisatawan datang lalu menularkan virus. Sebaliknya, menurut dia, lonjakan kasus Covid-19 dipicu warga Yogyakarta yang berpergian keluar Yogyakarta lalu terpapar. "Untuk warga Yogyakarta, sebaiknya tetap di Yogyakarta saja," kata dia. Sebaliknya, Baskara Aji meminta agar penduduk waspada ketika menerima kunjungan dari luar Yogyakarta.
Kebijakan pemda DI Yogyakarta artinya mempersilahkan pelancong datang ke Yogyakarta seraya meminta warga Yogyakarta di rumah saja. Versi pemda warga Yogyakarta yang bepergian pulang pergi Yogyakartalah yang akan terpapar.
Pernyataan Sekertaris DI Yogyakarta ini mendefinisikan bahwa Covid-19 akan memilih-milih siapa yang akan ditulari. Virus dengan cerdik akan mendeteksi apakah ia wisatawan atau warga DI Yogyakarta. Jika ia wisatawan misal dari DKI Jakarta, wilayah yang paling tinggi peningkatan positif Covid-19nya, maka virus emoh menulari. Lain halnya jika seorang berKTP Yogyakarta dan pergi ke DKI Jakarta, maka ketika ia pulang ke rumahnya akan berpotensi membawa virus corona.
Kenyataannya secara saintis virus corona tidak pernah memilih-milih siapa yang akan ditulari.Ukuran mudah atau tidak ditulari adalah persoalan imunitas tubuh. Selain beberapa faktor lain seperti usia dan penyakit penyerta atau akrab disebut komorbiditas.
Diabetes, darah tinggi, asma adalah beberapa komorbiditas yang rentan ditulari virus corona. Penelitian terbaru mengindikasikan golongan darah ikut menentukan mudah tidaknya seseorang tertular Covid-19. Golongan darah A adalah golongan darah yang lebih mudah tertular dibanding golongan darah O.
Kebijakan pemda DI Yogyakarta yang tidak memutuskan PSBB mengindikasikan persoalan ekonomi menjadi dominan dalam menangani bencana nasional non-alam bernama Covid-19.
Kebijakan ini memang sesuai dengan kebijakan nasional dalam menangani percepatan penanganan ekonomi dan covid-19 yang diketuai Menko Perekonomian dengan pelaksana adalah menteri BUMN. Menteri Kesehatan yang seharusnya menjadi panglima penanganan penyakit menular ini hanya menempati posisi anggota.
Dengan kebijakan seperti ini seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak perlu gusar dengan terus bertambahnya pasien Covid-19. Indonesia adalah negara yang tidak mengalami sama sekali penurunan jumlah pasien positif Covid-19.
Berbeda misanya dengan Selandia Baru dan Australia. Awal November negara kanguru tersebut sempat mencatat nihil penambahan kasus baru Covid-19.
Singapura juga mencatat sebagai negara dengan penambahan kasus positif Covid-19 nihil. Vietnam, Tiongkok dan Thailand juga negara yang serius menangani penularan Covid-19. Mereka tak segan menerapkan PSBB atau Lockdown dan pengawasan protokol kesehatan ketat serta pengawasan imigrasi ketat. Thailand rela mengorbankan hancurnya sektor pariwisata demi menghentikan penyebaran virus Corona.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? kebijakan pemda DI Yogyakarta mungkin adalah representasi kebijakan pemerintah Indonesia yang menolak PSBB demi tetap bergeliatnya sektor ekonomi.
Di sini kita layak bertanya pada diri sendiri: benarkah keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi di negara ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H