Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anies dan Pembagian Daging Kurban

14 Agustus 2019   15:39 Diperbarui: 14 Agustus 2019   16:02 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kreatifitas unsur penting kepemimpinan.Jadi kalau ada pemimpin yang kreatif kita harus dukung. Persoalannya kreatifitas juga perlu tempat yang sesuai. Tak bisa asal kreatif. Mungkin itu dasar pemikiran yang harus menjadi patokan saat kita membaca "kreatifitas" Gubernur DKI Anies Baswedan membagikan daging kurban bintang lima 5000 boks yang telah dimasak. "Hari ini masakan akan dirasakan status ekonomi rendah. Semoga jadi catatan pahala,"ucap Anies (detik.com).

Kreatifitas Anies menjadi persoalan karena menyangkut suatu aktivitas ibadah bernama Pemotongan Kurban. Aktivitas ini rangkaian besar Hari Idul Adha, suatu kegiatan yang berlangsung satu tahun sekali. Hari Idul Adha disebut juga Lebaran Haji karena bersamaan dengan penyelenggaraan ibadah haji di tanah suci.

Setiap aktivitas ibadah tentunya punya aturan dan ketentuan berdasarkan syariat agama. Begitu juga dengan ibadah pemotongan kurban. Mulai dari syarat hewan kurban hingga masyarakat yang berhak menerima juga sudah ditentukan. Surat Al-Hajj ayat 36 menyebutkan : "Makanlah sebagian dari daging kurban, dan berikanlah kepada orang fakir yang tidak minta-minta, dan orang fakir yang minta-minta."

Kreatifitas Anies membagikan daging kurban yang sudah matang menjaid persoalan. setidaknya ada tiga persoalan.

1. Persoalan keagamaan

Apakah boleh membagikan daging kurban dalam bentuk sudah diolah menjadi makanan siap makan? Kalaupun memang boleh seharusnya pelaksanaannya harus sudah ada "fatwa" sebagai pembenaran. Jadi sebagai umaro Anies tidak bisa bertindak juga sebagai ulama dengan alasan kreatifitas. Jangan sampai fatwa sekedar pembenar tindakan. 

Alasan Saudi Arabia membagikan daging dalam bentuk kemasan tentu tidak bisa langsung dibenarkan. Situasi Indonesia jelas berbeda. Di Saudi jumlah daging yang akan dibagikan lebih banyak daripada mereka yang berhak menerima. 

Sehingga perlu dilakukan upaya agar daging tetap segar ketika dibagikan.Sebaliknya di Indonesia jumlah mereka yang berhak menerima (fakir miskin) lebih banyak daripada daging yang akan dibagikan.

2. Persoalan Kemerdekaan

Membagikan daging kurban dalam bentuk makanan siap saji tentunya menghilangkan kemerdekaan para penerima. Para penerima pada dasarnya memiliki hak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap daging pembagia kurban tersebut. 

Apakah akan diolah menjadi makanan? Apakah akan dijual ke tukang daging? Atau akan disimpan? Apapun pilihan terhadap daging kurban adalah kemerdekaan penerima daging. Bukan ditentukan oleh panitia atau pemberi daging.

3. Menghargai selera

Anies Baswedan beralasan menyajikan daging kurban dalam bentuk makanan agar warga bisa merasakan makanan hotel berbintang. Ini alasan tak masuk akal. Suatu makanan enak atau tidak bukan ditentukan oleh ukuran makanan hotel berbintang atau bukan. Namun ditentukan karena sesuai dengan selera banyak orang. Selera sendiri tidak pernah benar atau pun salah. 

Selera terbit sebagai hasil penyesuaian dengan kondisi masyarakat. Masyarakat minang cenderung menyukai makanan yang pedas. Sementara masyarakat Jogja cenderung suka dengan masakan berasa manis. Tidak ada yang  salah. Tidak ada yang lebih tinggi di antara keduanya.

Menempatkan selera masakan hotel berbintang lebih enak daripada selera masakan masyarakat umumnya sungguh alasan menggelikan.

Membagikan daging kurban dalam bentuk makanan berstandar hotel internasional sungguh suatu pernyataan melecehkan. Sepertinya makanan yang bukan olahan hotel berbintang tidak enak bahkan mungkin tidak layak.Padahal sekali lagi, selera tidak pernah mengenal salah. Ada orang lebih berselera makan daging kambing menggunakan bumbu kecap. 

Ada juga yang lebih menyukai bumbu kacang. Ada yang menyukai daging sapi pembagian Idul Adha dijadikan sate. Sementara yang lainya dijadikan daging rendang. Kemerdekan memilih proses pengolahan daging diokupasi dan diintervensi dengan penyajian maakan siap santap ala hotel berbintang.

Peranyaan saya mengapa kretifitas Gubernur DKI tidak menyentuh masalah klasik seperti banjir dan kemacetan? Tidakkah itu lebih membutuhkan perhatian? Jangan sampai "kreatifitas" menutupi persoalan penting seperti macet dan banjir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun