Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca Pertemuan Jokowi, Megawati dan Prabowo

24 Juli 2019   07:11 Diperbarui: 24 Juli 2019   09:41 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika tidak ada aral melintang Rabu ini Joko Widodo, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto akan bertemu. Kabar santer yang beredar pertemuan ketiga tokoh politik ini akan dilaksanakan di kediaman Presiden Ke-5 Indonesia itu di kawasan Teuku Umar Jakarta Pusat. 

Jika terlaksana besar kemungkinan pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan antara dua kandidat pemilihan presiden 2019 Joko Widodo dan Prabowo Subianto di kereta MRT 13 Juli lalu.

Besar kemungkinan pertemuan dilaksanakan tengah hari sembari menyantap makan siang. Sejak Jokowi berkuasa makan siang menjadi acara penting dalam percaturan politik Indonesia. 

Harus diakui sudah lama meja makan  menjadi ruang diskusi keluarga Indonesia. Meskipun sudah banyak pula keluarga Indonesia yang tidak mempraktekkan hal ini.

Pada dasarnya kita tidak bisa sempurna membaca pertemuan ketiga orang ini. Utamanya karena tidak mengetahui rinci isi pembicaraan mereka. 

Namun demikian berdasarkan latar belakang peristiwa dan konteks pertemuan maka pemaknaan peristiwa itu masih bisa kita lakukan. 

Sebagian orang mungkin lebih senang memandang peristiwa ini dengan perspektif panggung depan panggung belakang. Panggung depan adalah semua hal yang tampak dan terucapkan dihadapan publik. Sedangan panggung belakang sebaliknya.

Ada pula yang melihat suatu peristiwa berdasarkan perspektif yang hadir (presence) dan yang tidak hadir (absence). Perspektif ini lebih luas dan mencakup banyak hal.

 Termasuk misalnya yang diingat dan yang dilupakan. Dengan keluasan persoalan yang dilihat diharapkan ada benang merah yang menjadi pemahaman persoalan. 

Perspektif ini juga berusaha keluar dari perspektif dominan yang biasa muncul melalui media arus utama dan menjadi populer. Dengan prespektif ini kesadaran bahwa persoalan adalah kumpulan ragam masalah sejak awal telah disadari. Perspektif inilah bacaan atas pertemuan Teuku Umar dilakukan.

Pertemuan Teuku Umar hari ini, kalau boleh diistilahkan, terjadi antara Joko Widodo, presiden petahana dengan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dengan tuan rumah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekanoputri. 

Pertemuan ini adalah pertemuan politik yang agendanya patut diduga adalah kelanjutan apa yang sering disebut rekonsiliasi politik. 

Proses rekonsiliasi sudah diawali dengan pertemuan pertama kali Jokowi dan Prabowo di kereta MRT 11 hari lalu. Kala itu Prabowo Subianto mengakui kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam pilres 2019. 

Kabar santer yang beredar pertemuan MRT adalah inisiatif Megawati Soekarnoputri yang dieksekusi oleh Budi Gunawan, Kepala BIN saat ini.

Posisi Megawati, Jokowi dan Prabowo

Peran Megawati yang besar dalam pertemuan kedua tokoh yang bersaing dalam pilpres 2019 menjadi koheren dengan posisi PDI-P sebagai parpol peraih suara terbanyak. Posisi Megawati terlihat dominan jika terselenggaranya pertemuan ini dilaksanakan di kediamannya. 

Posisinya makin menonjol sebagai satu-satunya perempuan dalam pertemuan tersebut. Dengan menempatkan diri sebagai tuan rumah pertemuan tersebut maka Megawati menjadi satu-satunya tokoh politik pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf yang mengetahui langsung rincian peremuan tersebut.

Sebagai pemenang pilpres 2019 posisi Jokowi tidaklah sama dengan Jokowi pemenang pilpres 2014. Selama 5 tahun Jokowi pasti belajar banyak praktek politik kenegaraan Indonesia. Kehadiran Jokowi tentunya mewakili  wakil presiden terpilih Ma'ruf Amin dan juga koalisi partai politik pendukungnya. 

Patut diingat pula meskipun Ma'ruf Amin absen dalam pertemuan ini namun sesungguhnya pengaruhnya tidak kalah besar. Salah satu janji kampanyenya yaitu kewajiban sertifikat halal sudah menjadi ketentuan melalui Peraturan Pemerintah (PP)  No.31 tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan UU  No.33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. UU ini  mewajibkan semua produk bersertifikat halal terhitung 17 Oktober 2019.

 Secara berseloroh kita bisa mengatakan bahwa bahkan belum resmi menjabat wakil presiden saja kebijakannya sudah dilaksanakan, bagaimana jika nanti sudah menjabat?

Sementara itu posisi Prabowo Subianto sebetulnya unik.  Dengan ucapan selamat kepada pemenang pilpres 2019 tanggal 13 Juli lalu Prabowo seperti ditahbiskan oleh media bersama Joko Widodo, sebagai pahlawan persatuan. 

Silang sengketa, permusuhan, caci maki antara kedua pendukung  harus sudah dihapus karena 01 dan 02 sudah tidak ada. Cebong dan Kampret sudah berlalu.Yang ada hanya 03 yaitu persatuan Indonesia. 

Catatan bahwa Prabowo bersama partai koalisinya (di antaranya PKS dan PAN) pernah  mengklaim sebagai pemenang pilpres bahkan dengan upacara sujud syukur hingga dua kali, menolak hasil quick count dan menyatakan tidak percaya lembaga survei, memasyarakatkan istilah pemilu curang dan akhirnya membawa perselisihan suara ke Mahkamah Konstitusi seolah terhapus sudah.

 Jangan dilupakan pula penolakan hasil pemilu oleh KPU yang berujung kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang menelan korban jiwa dan materi yang tak sedikit. Pengakuan kemenangan Jokowi oleh Prabowo bak pepatah hujan sehari mengapuskan panas setahun.

Harus diingat pula posisi Prabowo sebagai pihak yang kalah dalam pilpres 2019 bukan berarti tidak memiliki daya tawar menawar. Pernyataan Amien Rais terbaru bahwa rekonsiliasi hanya terjadi jika memenuhi dua syarat.

 Pertama pembagian kursi kabinet dengan porsi 55:45.Syarat kedua platform Pabowo-Sandi harus dimasukan ke dalam program Jokowi. Persyaratan pembagian kekuasaan 55:45 diakui sendiri Amien Rais tidak mungkin. Sementara syarat kedua masih mungkin dilaksanakan.

Alasan Rekonsiliasi

Besar kemungkinan pembahasan praktek rekonsiliasi menjadi topik utama pertemuan Teuku Umar hari ini. Narasi besar yang beredar adalah bahwa  rekonsiliasi ini harus dibaca sebagai upaya membebaskan Prabowo dari para penunggang gelap.

Para penunggang gelap itu adalah mereka yang diduga tergabung dalam ideologi radikal. 

Para penunggang gelap ini menyatakan keluar dari koalisi Prabowo seiring terjadinya pertemuan Jokowi-Prabowo 13 Juli lalu. 

Pembebasan dari penunggang gelap ini kemungkinan besar diganjar dengan masuknya Gerindra ke dalam koalisi pendukung Jokowi.  Inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa pertemuan Jokowi-Prabowo berlanjut ke pertemuan kedua.

Jika sejak awal Prabowo dan partai pendukungnya tegas memilih sebagai oposisi pertemuan setelah pengakuan 13 Juli tentunya tidak bermakna. Oposisi artinya tidak ikut dalam pemerintahan dan bertindak sebagai pengawas jalannya pemerintahan. 

Namun jika oposisi diartikan juga ikut berpartisipasi dalam kabinet bukan mustahil parpol Gerindra masuk dalam kabinet Jokowi-Maruf Amin. Tak ada yang mustahil dalam politik.

Narasi besar yang terlewatkan dalam analisis pertemuan Jokowi-Prabowo adalah bahwa pertemuan tersebut sangat besar kemungkinan bagian dari pelaksanaan program yang disampaikan Joko Widodo sebagai pidato kemenanganya bertajuk Visi Indonesia sehari setelah pertemuan di MRT. 

Visi Indonesia sangat besar titik perhatiannya pada pembangunan ekonomi. Investasi, baik materi maupun manusia dengan perbaikan kualitas SDM begitu gamblang dan jelas menjadi fokus kerja periode kedua Jokowi. 

Bebeda dengan Nawacita yang memuat persoalan hukum, HAM dan penyelesaikan persoalan masa lalu, pidato Visi Indonesia sama sekalai tidak memuat ketiga persoalan tersebut. 

Meskipun telah dibantah bahwa persoalan hukum tetap menjadi perhatian penting 5 tahun ke depan namun tentunya dapat dikatakan bukan prioritas utama.

Dengan mengedepankan persoalan ekonomi dan kemajuan pembangunan maka stabilitas politik menjadi persoalan penting bahkan utama. Kegaduhan politik harus sebisa mungkin dihindari. Dalam jargon orde baru maka Stabilitas Nasional harus didahulukan.

 Dengan merangkul Prabowo Subianto, entah dengan menempatkan anggotannya dalam kabinet atau memasukkan program kerjanya dalam praktek pemerintahan 5 tahun ke depan, maka diharapkan kegaduhan dapat dikurangi kalau bisa malah ditiadakan. 

Di sisi lain masuknya parpol pendukung Prabowo ke dalam kabinet Jokowi adalah suatu hal yang bukan mustahil. Dalam sejarah politik Indonesia mungkin hanya PDIP yang terbukti mampu bertahan 10 tahun menjadi oposisi di luar pemerintahan SBY.

Kesimpulan

Kesimpulannya pertemuan antara Jokowi, Megawati dan Prabowo hari ini patut diduga adalah bagian dari pelaksanaan Visi Indonesia yang sangat menekankan aspek pembangunan ekonomi. 

Agar pembangunan ekonomi berjalan mulus maka semua halangan politik harus disingkirkan. Salah satu caranya adalah merangkul pesaing yaitu Prabowo Subianto.

Info terbaru ternyata Joko Widodo dipastikan tidak hadir dalam pertemuan ini. Hanya Megawati dan Prabowo yang direncanakan bertemu.Meskipun demikian pertemuan tersebut menurut penulis tetap dapat dikatakan sebagai upaya merangkul Prabowo Subianto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun