Pesta demokrasi usai. Saatnya kembali bersama membangun bangsa. Itulah makna sesungguhnya sebuah rekonsiliasi. Kata ini menjadi buah bibir masyarakat namun maknanya menyebar luas tak berpijak. Kata rekonsiliasi sendiri memang problematis. Karena biasa dipakai dalam konteks penyatuan kembali suatu bangsa dalam lingkup hukum.Â
Contoh paling afdol adalah Afrika Selatan. Negara yang berpuluh tahun terpecah-pecah karena politik warna kulit alias apartheid kembali disatukan sebagai sebuah bangsa. Tokohnya tentu saja tak lain dan tak bukan bernama Nelson Mandela. Bagi Mandela hidup adalah keberagaman. Tak perlu ada dendam. Meskipun bukan berarti peristiwa mengerikan itu dilupakan.
Di Indonesia rekonsiliasi dibentuk dalam posisi transaksional. Ada harga yang harus dibayar.Kalau mau rekonsiliasi maka Habibib Rizieq harus dipulangkan. Semua hambatan kepulangannya ditanggung pemerintah. Â Pergeseran makna rekonsiliasi ini tentu saja membuat upaya menyatukan kembali bangsa, tujuan utama rekonsiliasi, terlupakan. Posisinya bukan win-win solution namun win or lose solution.
Polarisasi bangsa ini sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Dua kali pemilihan presiden yang terjadi adalah segresasi masyarakat antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Dalam bahasa dunia maya menjadi cebong dan kampret.Â
Residu pilpres begitu dahsyat sehingga meski sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa tuduhan kecurangan pilpres tidak terbukti namun resistensi tetap tak terkikis. Terlihat dari masih ada (mungkin tepatnya banyak) pendukung yang melewati batas melalui media sosial menyebar kebencian.Â
Muncul pula ajakan membuat kartu identitas Prabowo Sandi untuk para pendukungnya. Selain ajakan mematikan televisi ketika pelantikan presiden terpilih nanti hingga ajakan menarik uang dari bank dan menolak bayar pajak.
Upaya ini disebut pembangkangan sosial. Masyarakat diajak mendelegitimasi pemerintah. Repotnya ajakan ini bercampur baur dengan nilai-nilai keagamaan sehingga gugagahnnya begitu tinggi karena masuk dalam nilai-nilai keimanan.
Kondisi ini seharusnya tidak dianggap sepele. Lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan diseminasi informasi harus giat menyebarkan informasi yang terklarifikasi agar masyarakat tidak galau dan ikut dalam sebaran kebencian.Â
Media arus utama juga selayaknya memberi porsi yang wajar pada pemberitaan pihak yang menang. Dalam prakteknya media sepertinya asik dengan gotak gatuk kabinet daripada mengingatkan bahwa periode pemerintahan Jokowi-JK masih berumur 3 bulan lagi.
Media dapat menyorot target Nawa Cita yang belum dapat dikerjakan. Hal ini penting karena dapat menjadi evaluasi hasil kerja kabinet saat ini. Hasil evaluasi dapat menjadi pegangan pembentukan kabinet periode ke-2 pemerintahan Jokowi nanti.
Kehidupan bangsa ini tentunya menjadi lebih nyaman jika masyarakatnya tidak terbelah karena persoalan pilpres. Ajakan rekonsiliasi sendiri merupakan ujian bagi pimpinan masing-masing kubu, apakah posisinya seorang negarawan (dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara) atau sekedar petualangan politik yang tak kenal kata kalah dan tidak urusan dengan kepentingan bangsa dan negara.