"Anda tahu, hanya ada dua kementrian yang menggunakan kata nasional di negara ini: Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Pertahanan Nasional". Ucapan ini disampaikan seorang perwira berpangkat kolonel kepada Ayse Gul Altinay. Pembicaraan ini tentu saja bukan di Indonesia. Melainkan di negara Timur Tengah bernama Turki. Sang perwira adalah Kolonel Yilmaz sedangkan lawan bicaranya adalah seorang mahasiswa yang sedang meneliti masalah militerisme dan militerisasi di Turki. Hasil penelitiannya tertuang dalam buku The Myth of the Military-Nation: Militarism, Gender and Education in Turkey (2004).
Wacana militer dan pendidikan memang sedang hangat dibincangkan masyarakat  menyusul penandatanganan kerja sama tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) tahun 2019 oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Mendikbud Muhadjir Effendy (detik.com 21/6/2019).
"Intinya kami akan melibatkan personel TNI seluruh Indonesia untuk ikut mensukseskan, berpartisipasi dan mengisi materi-materi pelatihan yang memang cocok dan relevan kalau itu dilakukan oleh TNI," kata Muhadjir Effendy di Kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Muhadjir meyakini pelibatan TNI akan membentuk karakter siswa-siswi di seluruh tanah air. Utamanya seperti penanaman disiplin, bela negara dan cinta tanah air. Hal itu penting dilakukan lantaran saat ini banyak ditemukan siswa-siswi yang berprilaku indisipliner.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet kerja Joko Widodo tersebut memang bukan orang yang pertama di dunia ini mengaitkan sektor pendidikan dengan militer. Penelitian Altinay
menunjukkan bahwa Turki adalah salah satu negara yang, dalam istilah yang sedang populer, denganÂ
Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) sejak lama  menyatukan sektor pendidikan dan militer. Pernyataan Kementrian Kebudayaan Turki tahun 1938  bahwa "Just as the army is a school, so is the school an army" adalah posisi yang gamblang menjelaskan hubungan militer dan pendidikan.
Jauh sebelum pernyatan tersebut muncul di tahun 1921 Kongres Pendidikan di Ankara menegaskan bahwa dalam masa perjuangan bangsa dua elemen yang membuat bangsa gilang gemilang adalah tentara dan guru. Jikalau tentara berjuang di medan laga maka para guru adalah tentara yang berjuang di medan pertahanan menghadapi ketidakpedulian.Â
Perang dan pendidikan adalah dua medan pertempuran yang membentuk negara dan kebangsaan Turki. Penyatuan  tentara dan guru terlihat dalam gelar yang disematkan kepada bapak bangsa Turki Mustafa Kemal Ataturk. Ia mendapat julukan Panglima Tertinggi (commander in chief) atau  Baskumandan dan juga Guru Utama ( head teacher) atau Basogretmen.
Menyatunya militer dan pendidikan memang sering dinarasikan Mustafa Kemal Ataturk dalam pidato-pidatonya. Dalam sebuah pidato ia mengatakan "Ketika saya bicara militer maka saya berbicara tentang anak-anak bangsa Turki.Â
Para guru yang mendidik pahlawan masa depan tentunya ada bersama mereka. Ketika saya bicara tentang perwira dan anak-anak Turki dalam militer kebanggaan kita, saya bicara tentang pemuda Turki yang bersama mereka dan siap ikut serta dalam kepahlawanan nasional dengan ide, ketekunan dan pengetahuan..."
Salah satu temuan menarik penelitian Altinay adalah seiring dengan gencarnya nilai dan praktek penyatuan pendidikan dan militer adalah hilangnya istilah militerisme dan militerisasi dalam wacana kehidupan masyarakat Turki.Â
Mengutip  Enloe (2003) sebagaimana disebut Altinay militerisasi didefinisikan sebagai proses selangkah demi langkah seseorang secara bertahap dikuasai oleh atau bergantung kepada kemiliteran, atau ide-ide militeristik. Militerisasi sukses jika mencapai posisi sebagai wacana yang normal dalam diskusi publik. Seiring itu istilah militerisme dan militerisasi menghilang dalam perbedaharaan kritis ilmuwan sosial Turki hingga kini. Militerisme di Turki telah menjadi ideologi dan berkelindan dengan nasionalisme yang membentuk budaya, politik dan identitas bangsa Turki.
Upaya Mendikbud Muhadjir Effendi untuk membentuk siswa yang disiplin, cinta tanah air dan siap membela bangsanya tentu patut kita dukung. Meskipun demikian Indonesia bukanlah Turki. Kedisiplinan, cinta tanah air dan kerelaan membela bangsa juga banyak bertebaran di lembaga kehidupan masyarakat yang lain.Â
Di lingkup kesenian misalnya sebuah orkestra yang berisi melodi mendayu atau bersemangat tidak pernah lahir jikalau tanpa kedisiplinan. Menyelaraskan bunyi dalam melodi dari berbagai alat musik memerlukan ketrampilan sekaligus kerjasama yang muncul bukan dari upaya semalam. Di dalam dunia kesenian kedisiplinan tidak bertentangan dengan kreatifitas yang selalu berdasarkan kebebasan.
Kedisiplinan, cinta tanah air dan kerelaan membela bangsa juga dimiliki dunia olahraga. Medali olimpiade, asian games, sea games dan PON serta kejuaraan lainnya hanyalah buah perjuangan yang lahir dari kedispilinan dan kecintaan agar nama bangsa Indonesia harum di lingkup dunia. Semua kedisiplinan itu bisa ditularkan dan disosialisasikan kepada para peserta didik sesuai usia dan kematangan mereka.Â
Di atas upaya kedisiplinan, kecintaan dan kerelaan membela tanah air maka pendidikan berpikir kritis harus menaungi segala upaya tersebut. Karena berpikir kritis bagian penting kemanusiaan bangsa Indonesia menghadapi dunia yang penuh persaingan dan penaklukan.
Di era reformasi ini upaya militerisme dan militerisasi akan mendapat resistensi masyarakat. Trauma 32 tahun bersama rezim orde baru yang militeristik tidak mudah hilang apalagi oleh para korban dan keluarganya. Itulah sebabnya kerjasama Mendikbud dan Panglima TNI melahirkan pro konta di masyarakat. Karena dispilin, cinta tanah air dan semangat bela bangsa bukanlah milik mereka yang bersenjata saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H