Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kerusuhan dan Politik Telinga Rusak

13 Juni 2019   07:58 Diperbarui: 29 Juni 2019   06:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah persoalan ketiga yang menjadi tantangan tim investigasi kerusuhan 21-22 Mei 2019. Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan rekomendasilah yang menjadi batu sandungan suksesnya kerja tim investigasi. .

Hal ini bisa disandingkan dengan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan yang memakan korban jiwa dan materiil yang besar itu terjadi di Jakarta dua puluh satu tahun lalu. 

Skalanya begitu dahsyat. Menurut catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, kerusuhan yang terjadi tanggal 13,14,15 Mei 1998 itu menewaskan 1.217 orang, 91 luka, dan 31 hilang. Kerugian materiil lebih dari Rp 2,5 triliun. Jangan dilupakan pula kekerasan seksual yang dialami puluhan perempuan selama tiga hari tersebut.

Setelah bekeja selama tiga bulan TGPF berdasarkan fakta-fakta yang berhasil ditemukan menyatakan peristiwa kerusuhan Mei 1998 sebagai tragedi nasional. Untuk mengungkap seluas-luasnya maka TGPF memberikan 8 rekomendasi kepada pemerintah.  Namun hingga  hampir 21 tahun berlalu rekomendasi TGPF hanya berhenti sebagai rekomendasi. 

Enam presiden yang berkuasa seakan mengabaikan rekomendasi pemberian TGPF. Mereka seperti tidak memiliki kemauan politik mengungkap apa, bagaimana dan siapa aktor sesunguhnya tragedi nasional tersebut. 

Upaya yang dilakukan korban, keluarga korban dan para aktivis kemanusiaan setiap tahun mendesak pemerintah melaksanakan rekomendasi TGPF saat mengenang (commemoration) tragedi Mei seperti, dalam istilah yang ditulis Tajuk Rencana 20 tahun lalu (Kompas, 15/5/99), jatuh  di telinga rusak (falling on deaf ears).

Kerusuhan Mei 1998 menjadi sejarah gelap bangsa. Tidak ada sebuah penjelasan memadai mengenai apa yang terjadi dan siapa yang bertanggung jawab. Tidak ada juga political will pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Haruskah kerusuhan 21-22 Mei 2019  ikut mengalami hal yang sama? 

Haruskah kerusuhan 21-22 Mei 2019 jatuh (lagi) di telinga rusak?. Politik telinga rusak ini sudah menjadi kebiasaan dan menjadi pintu pengabaian peristiwa kekerasan politik dan pengawetan politik kekerasan penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun