Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers dan Keterandalan Informasi

12 Februari 2019   07:55 Diperbarui: 12 Februari 2019   12:03 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

We need information that is reliable, that is not corrupt. And, as the Commission has stressed, one of the biggest scourges we face today is corrupt news~Amartya Sen

Pernyataan Amartya Sen yang disampaikan di sela pertemuan pimpinan 12 negara dalam acara Forum Perdamaian Paris (Paris Peace Forum) pertengahan November lalu menjadi aktual dalam perayaan Hari Antikorupsi Seduni akhir tahun lalu. Bersama Joseph Stiglitz, peraih Nobel bidang Ekonomi itu menjadi anggota Komisi Informasi dan Demokrasi (Commision on Information and Democration) melengkapi 25 anggota yang berasal dari 18 bangsa. 

Komisi Informasi dan Demokrasi sendiri adalah sebuah badan independen yang dipimpin Sekretaris Jendral Jurnalis Tanpa Batas (Reporters without Borders atau RSF)  Christophe Deloire dan peraih Nobel Perdamaian Shirin Ebadi. Pembentukan komisi tersebut adalah kelanjutan dari Deklarasi Internasional Informasi dan Demokrasi yang diinisiasi RSF beberapa waktu sebelumnya.

Pernyataan Sen menegaskan bahwa keterandalan (reliabilitas) informasi menjadi persoalan krusial di era derasnya arus informasi. Penyebabnya adalah keterandalan informasi mendukung pelaksanaan kebebasan berpendapat, menghormati hak asasi manusia lainnya dan semua praktik demokrasi seperti pemilihan umum (Deklarasi Internasional Informasi dan Demokrasi, 2018). 

Tanpa informasi yang dapat diandalkan integritas proses demokrasi dilanggar. Hal ini terjadi ketika informasi yang dapat mempengaruhi proses demokrasi tersebut dimanipulasi atau, mengacu istilah Sen, dikorupsi.

Istilah "korupsi informasi, korupsi berita" yang disebut Sen mengindikasikan makin luasnya persoalan korupsi. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti mengganggu, polusi, menyalahgunakan atau menghancurkan (Holmes, 2015). Organisasi Transparency International mendefiniskan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang diyakini untuk keuntungan pribadi (Holmes, 2015). 

Korupsi informasi pun dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan informasi/ berita yang diyakini untuk keuntungan pribadi /sekelompok orang. Dengan memasukkan istilah korupsi ke dalam dunia informasi maka berbagai kata populer saat ini seperti hoax, berita palsu, informasi sesat dan lain-lain, menjadi terang benderang keterkaitannya dengan motif ekonomi.

Informasi hanya dianggap dapat diandalkan ketika dikumpulkan, diproses, dan disebarluaskan secara bebas sesuai dengan prinsip-prinsip komitmen terhadap kebenaran, keragaman sudut pandang, dan metode pembentukan dan verifikasi fakta yang rasional (Deklarasi Internasional Informasi dan Demokrasi, 2018). Konsep ini sepatutnya menjadi pegangan media dan dilaksanakan para jurnalis ketika memproduksi berita.

Lebih lanjut deklarasi tersebut juga menekankan agar media beserta jurnalisnya menerapkan mekanisme yang mendukung visibilitas informasi yang dapat dipercaya. Mekanisme tersebut harus didasarkan pada kriteria transparansi, kebebasan editorial, penggunaan metode verifikasi dan kepatuhan dengan etika jurnalisme. 

Integritas, keaslian, dan ketertelusuran ide dan informasi harus diutamakan, sehingga asal dan cara produksi dan penyebarannya diketahui. Dengan demikian pelanggaran netralitas politik, ideologis dan agama untuk mendukung informasi yang dapat dipercaya sejak awal dapat dihindari.

Aspek reliabilitas ini juga mendorong kesadaran bahwa informasi/berita selayaknya tidak diperlakukan sebagai komoditi. Melainkan jurnalis memperlakukan informasi/berita sebagai bagian dari pelayanan informasi dan hak publik. Pada posisi ini jurnalisme memiliki fungsi sosial sebagai pihak ketiga yang dipercaya (trusted third party). 

Fungsi sosial jurnalisme terlihat ketika jurnalis dalam memproduksi berita tidak hanya mendeskripsikan peristiwa tetapi juga untuk menjelaskan situasi dan perubahan yang rumit, menjadi lengkap dan inklusif, memungkinkan pembaca dan pemirsa membedakan mana yang penting dan mana yang remeh temeh. Produksi informasi/berita mencerminkan aspek positif dan negatif dari kegiatan manusia dan menawarkan solusi konstruktif yang potensial menjawab tantangan yang ada.

Persoalan informasi yang dapat diandalkan ini makin penting di era masyarakat yang cenderung mempercayai informasi hanya berdasarkan kesesuaian dan keyakinan politik. Kondisi ini makin rumit ketika pesta demokrasi pemilihan presiden yang seharusnya adalah ajang adu wacana cara mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat agar lebih baik, berganti menjadi arena saling hujat para pendukung calon nahkoda masa depan negara. 

Jika situasi kondisi seperti ini terus terjadi bukan mustahil korupsi informasi melalui hoax, berita palsu dan sesat informasi akan terus marak dan menggerus kualitas demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun