Bagaimana memori tragedi Mei 1998 bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan ini menjadi menarik dan penting karena Mei tahun ini genap dua puluh tahun sudah hingar bingar momen pengubah haluan republik itu terjadi. Penembakan yang menewaskan empat mahasiswaTrisakti, kerusuhan di Ibu Kota serta pergantian rezim Soeharto setelah berkuasa 32 tahun adalah tiga peristiwa yang saling berkelindan. Kata memori sendiri bukanlah berarti mengingat saja namun bersamaan itu pula ada tindakan untuk melupakan karena memori adalah mata uang dengan dua muka. Sehingga pertanyaan di awal tulisan ini jelasnya adalah: Bagaimana bangsa Indonesia mengingat (dan melupakan) tragedi Mei 1998?
Pertanyaan serupa pernah diajukan Michael Schudson saat mengenang dua puluh tahun terjadinya kasus Watergate. Melalui buku Watergate in American Memory: How We Remember, Forget and Reconstruct The Past guru besar sosiologi itu menguraikan bagaimana memori kolektif (collective memory) bangsa Amerika akan peristiwa politik yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.Â
Alih-alih bertanya langsung kepada rakyat Amerika, Schudson meneliti memori kolektif warga negara Adi Daya tersebut melalui berita surat kabar, program televisi, buku, film, buku pelajaran sekolah dan lain-lain. Melalui media, Schudson mencari pengetahuan dan ingatan kolektif Watergate. Seluruh media tersebut disebutnya sebagai "the stuff of our collective memory", bahan memori kolektif kita. Dengan bahan memori kolektif inilah kita dapat mengenal dan memahami bagaimana suatu peristiwa kita kenang sekaligus kita lupakan.
Salah satu bahan memori kolektif tragedi Mei 1998 yang dapat menjadi ukuran bagamana kita mengingat tragedi Mei 1998 adalah sebuah pameran foto bertema perjuangan para pemuda yang diselenggarakan museum Vrederburg Yogyakarta 4 November 1999 atau satu tahun lebih setelah tragedi Mei 1998 (Strassler,2005;2010).
Penyelenggaraan pameran foto tersebut bertujuan agar perjuangan mahasiswa, yang telah terjadi1966 hingga aksi reformasi 1998 tidaklah terputus sejarahnya. Di akhir pameran terpasang tiga foto yaitu peristiwa Malari (Malapetaka Lima belas Januari 1974), gambar Sri Sultan HB X di tengah lautan mahasiswa pengunjuk rasa 20 Mei 1998 dan foto aksi ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR Senayan 21 Mei 1998.Â
Melalui pameran foto tersebut Strassler berkesimpulan pameran lebih menampilkan heroisme pemuda dalam perjuangan bangsa, khususnya mahasiswa saat peristiwa-peristiwa penting seperti Malari dan Reformasi.Pameran foto tersebut seperti ingin menegaskan bahwa para mahasiswa layak dikenang karena mereka adalah pahlawan sedangkan para korban yang tewas akibal mal yang terbakar dan penderitaan korban perkosaan bukanlah narasi penting dalam aksi reformasi sehingga tidak perlu ditampilkan dalam pameran foto tersebut.
Bagaimana kita mengingat dan melupakan tragedi Mei 1998 juga dapat dilakukan dengan menelisik bagaimana masyarakat mengenang (commemorated) peristiwa tersebut. Setiap tahun di bulan Mei sejumlah elemen masyarakat khususnya di Jakarta memperingati peristiwa kelam agresivitas yang tak berperikemanusiaan selama tiga hari yang menewaskan ratusan manusia tak berdosa, nyaris 5000 rumah hancur dilalap si jago merah dan hampir dua ribu kendaraan pribadi (motor dan mobil) hangus terbakar.
Selama hampir dua puluh tahun, kegiatan mengenang tragedi Mei 1998 adalah kegiatan mandiri yang nyaris tak melibatkan pemerintah. Di era kepemimpinan Gubernur Joko Widodo, Basuki Tjahaya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pemerintah mulai ikut terlibat ditandai dengan peletakan batu pertama prasasti tragedi Mei 1998 di pemakaman TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur di waktu Mei 2014 oleh Basuki Tjahaya Purnama (ketika itu Wakil Gubernur).Â
Sebuah tugu yang dinamai Tugu 12 Mei juga didirikan di depan kampus Trisakti sebagai upaya mengenang peristiwa kelam tersebut.Puncak keterlibatan pemerintah terlibat acara mengenang tragedi Mei 1998 adalah kehadiran Presiden RI ke-3 Habibie dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat di TPU Pondok Rangon tahun lalu. Acara bertajuk "Mewujudkan Pemerintah yang Ingat, Hormat, dan Adil terhadap Sejarah" diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga yang lahir menyusul tragedi Mei 1998.
Bagaimana bangsa Indonesia mengingat tragedi Mei 1998 menjadi penting karena merupakan pertanggungjawaban atas penamaan suatu peristiwa yang disebut tragedi nasional. Bagaimana kita mengingat tragedi Mei 1998 adalah ukuran konsistensi atas satu-satunya peristiwa yang dikutuk secara resmi setelah orde baru tumbang. Pemerintah Indonesia melalui Presiden B.J. Habibie pada tanggal 15 Juli 1998 secara resmi telah mengutuk aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan,termasuk terhadap kekerasan terhadap perempuan saat Mei 1998.
Akhirnya bagaimana kita mengingat (dan melupakan) tragedi Mei 1998 adalah parameter keberadaban suatu bangsa memperlakukan warganya sendiri karena, seperti diungkapkan ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Perstiwa (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 Marzuki Darusman (2014), terlalu banyak korban yang masih menunggu penjelasan, pengakuan, permintaan maaf dan keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H