Saat dibaca sekilas tidak ada yang salah dengan papan pengumuman di atas. Papan pengumuman milik pemerintah sudah umum kita lihat di mana-mana. Biasanya menandakan lokasi kantor pemerintahan, kepemilikan atau sebagai rambu peringatan. Namun jika kita simak lebih serius terlihat kejanggalannya.Â
DILARANG MEMBUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA. Kata DILARANG tercetak besar dengan warna merah. Sedangkan kalimat dibawahnya MEMBUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA terpampang dengan font lebih kecil dan berwarna hitam. Alih-alih melarang orang buang sampah sembarangan papan pengumuman milik pemerintah kota Bekasi Kecamatan Pondok Gede justru melarang orang buang sampah pada tempatnya. Jika anda buang sampah pada tempatnya maka akan terkena sanksi (bukan sangsi)pidana paling lama 6 bulan (harusnya ditambah kata penjara) dan denda paling tinggi  Rp 50 juta.Lucu bukan?
Mungkin banyak orang menyatakan terlalu serius jika mempermasalahkan sebuah papan pengumuman. Apalagi foto papan tersebut viral di media sosial sehari jelang tutup tahun 2017. Di kala liburan papan pengumuman tersebut cukuplah menjadi bahan tertawaan atau ledekan, hitung-hitung lelucon akhir tahun. Mungkin itu pikiran banyak orang. Namun saya tidak sependapat. Papan pengumuman  tesebut punya makna yang lebih dalam.
Sebagai sebuah produk dari aparat negara papan pengumuman tersebut adalah representasi, dari sekian banyak representasi sebuah sistem bernama negara. Proses hingga berwujud papan pengumuman tidaklah sederhana. Hari ini perintah hari ini langsung terpampang. Tidak. Papan pengumuman tersebut terpampang setelah melewati berbagai tahapan birokrasi. Mulai dari usulan  program , disetujui sebagai program, hingga tahap pelaksanaan program. Sangat besar kemungkinan papan pengumuman tersebut adalah bagian dari program kebersihan  pemerintah  daerah Bekasi.
Tahapan yang tidak sederhana tersebut seharusnya juga linear dengan konten yang akan ditampilkan. Kalimat yang akan terpampang , aturan perundang-undangan  sebagai landasan hukum, lokasi penempatan dan lain sebagainya sudah dipikirkan. Masak-masak.Artinya sebuah papan pengumuman adalah kerja serius birokrasi sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Nah, bagaimana dengan papan pengumuman dilarang buang sampah pada tempatnya?
Menurut saya inilah bukti bagaimana kekacauan pola berpikir sudah merambah dengan hebat di masyarakat kita. Kekacauan terjadi karena permenungan, bahasa kerennya berpikir kritis,bukanlah suatu  yang dibiasakan. Mungkin berpikir kritis hanya terjadi ketika dirinya dirugikan. Berpikir kritis atau critical thinking adalah kemampuan mengevaluasi, membandingkan, menganalisis, mengkritik dan mensintesis informasi (Dennis Coon dikutip Bartholomew (2003)
Sepertinya yang dibiasakan sehari-hari spontan dalam bertindak dan baru berpikir belakangan. Itulah yang ditradisikan. Setidaknya ketika media sosial menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat jaman now. Informasi yang menarik, kontroversial segera dikomentari dan atau disebarkan tanpa dicek dulu kebenarannya.Evaluasi sebagai bagian dari pembenahan menuju ke tahap yang lebih baik tidak terjadi. Utamanya segera ditanggapi atau disebarluaskan.
Robert E Bartholomew dan Benjamin Radford dalam bukunya Hoaxes, Myths, and Manias: Why We Need Critical Thinking (2003) menjelaskan bahwa membaca, menulis dan aritmatika adalah awal dari semua aktivitas yang membutuhkan tindakan berpikir.Ketiga aktivitas tersebut diajarkan di sekolah.Itupun belum melibatkan apa yang disebut berpikir kritis.Jadi membaca, menulis dan Aritmatika belum merupakan aktivitas berpikir kritis.
Mengutip psikolog Carole Wade dan Carol Tavris ada 8 ciri mereka yang berpikir kritis (Bartholomew,2003).Â
1. Bertanya; mempertanyakan
Bertanya adalah aktivitas awal berpikir kritis. Rasa keingintahuan dan keraguan  atas suatu pernyataan.Klaim atas sesuatu  hal tidak serta merta diterima.Namun diolah dan dikritisi dengan mengubah pernyataan menjadi pertanyaan. Benarkah demikian? Mengapa bisa terjadi? Bagaimana prosesnya?