Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

10 Tahun Kamisan, Sumarsih Belum Seberuntung Neisha

20 Januari 2017   09:09 Diperbarui: 21 Januari 2017   11:40 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh beruntung Neisha Rampengan. Gadis cilik asal Tomohon Manado Sulawesi Utara itu akhirnya bisa 'berjumpa' dengan idolanya, Presiden Joko Widodo. Lewat sambungan telepon, hasil upaya Kahiyang Ayu putri presiden, akhirnya Jokowi menyapa Neisha jelang tahun baru 2017. Beberapa hari sebelumnya Neisha menangis sejadi-jadinya karena batal melihat Jokowi yang sedang berkunjung ke Manado. Derai air mata Neisha mengundang simpati banyak orang setelah ibunda Neisha mengunggah video tangis putrinya. Usai ditelepon presiden, sebuah video memperlihatkan Neisha dengan suka cita berterima kasih dan mendoakan Jokowi sekeluarga.

Jauh dari kediaman Neisha di Manado Sulawesi Utara di muka Istana Merdeka Sumarsih bersama anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) masih berdiri membawa payung hitam setiap Kamis. Tak ada derai air mata mengiringi aksi diam di kala senja tersebut.18 Januari 2017 ini aksi diam “Kamisan” sudah berusia 10 tahun (Kompas,13/1) Artinya sudah satu dekade ibunda Norma Iriawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas diterjang peluru dalam peristiwa Semanggi 98, menanti pertemuan langsung dengan Presiden Republik Indonesia. Sumarsih memang tidak seberuntung Neisha.

Sebelumnya Sumarsih diterima Presiden SBY 26 Maret 2008 dan diberi janji bahwa terkait pelanggaran HAM masa lalu, hukum akan ditegakkan dan pengadilan ad hoc akan dibentuk sesuai undang-undang. Namun hingga kini janji tinggalah janji. Di era Nawacita yang bercita-cita melepas belenggu masa lalu Sumarsih berharap bisa bertemu Presiden Jokowi untuk menagih komitmennya.

Bicara tentang masa lalu, mungkin, hanya pemerintahan Joko Widodo yang secara tegas tersurat peduli masa lalu. Masa lalu menjadi bagian penting 9 cita-cita (Nawacita) kabinet kerja. Peduli masa lalu dalam Nawacita adalah menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Khususnya kerusuhan Mei, Trisakti-Semangi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok dan Tragedi 1965.

Di awal masa pemerintahan Jokowi-JK upaya memroses persoalan masa lalu sempat memberikan secercah harapan. Seperti acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 30 September 1965 dari Pendekatan Sejarah yang dilaksanakan tahun lalu. Meskipun menimbulkan gelombang pro dan kontra acara tersebut patut mendapat apresiasi karena pertama kali secara resmi suatu pemerintahan yang berkuasa membahas persoalan tragedi 1965. Pemerintah melalui Menkopolhukam Luhut Pandjaitan juga sempat berencana memverifikasi laporan adanya kuburan massal tragedi 1965. Meskipun hasil verifikasi hingga kini belum dipublikasikan. Langkah terbaru pemerintah adalah rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional sebagai cara penyelesaian kasus masa lalu dengan cara tanpa pengadilan (non justicia).

Bertemu masa lalu memang tidak selalu menggembirakan. Terkadang masa lalu adalah ancaman dan kejahatan (threats and evils) (Lowenthal,1985). Sehingga masa lalu pun harus dikubur dalam-dalam dan dihapus dari ingatan. Inilah yang disebut politik pelupaan (the politics of forgetting). Robert W.Goodfellow mencontohkan proses politik pelupaan tersebut dengan menganalisis metafora Sing Wis Ya Wis (yang sudah ya sudah). Dalam tesisnya Goodfellow mengargumentasikan bagaimana proses mekanis sosial pelupaan peristiwa 1965 (Goodfellow, 2003).

Meskipun bisa menakutkan, masa lalu, masa kini dan masa depan saling berkaitan. Mengetahui dan memahami masa lalu dapat mengubah perspektif tentang masa kini. Begitu juga sebaliknya. Pergantian perspektif akan masa lalu di masa kini membuat masa lalu mendapat penafsiran dan pemahaman baru. Sementara pemahaman masa lalu di masa kini menjadi pijakan dalam menentukan masa depan.

Dalam konteks inilah rencana pemerintah mendirikan Dewan Kerukunan Nasional harus dicermati dengan saksama. Hubungan masa lalu dan masa kini tentunya tidaklah sekedar narasi sejarah (historical) namun juga politik (political) yang jalinan keduanya merupakan arena kontestasi para aktor yang terlibat. Narasi dominan masa lalu yang tercatat dalam sejarah akan ditantang memori para korban pelanggaran HAM yang selama ini terpinggirkan.

Merukunkan pihak yang bersengketa adalah tugas mulia namun mengangkat harkat dan martabat para korban dan keluarganya harus diutamakan. Inilah tahap kritis penyembuhkan masa lalu yang memerlukan pengorbanan semua pihak yang terlibat. Pelanggaran HAM terjadi karena pelaku dan korban tidak pada tingkat kemanusiaan yang sama. Peristiwa pelanggaran HAM adalah bentuk pengerdilan manusia dalam rangka pembenaran kekejian yang dilakukan. Sehingga mengangkat korban pada posisi yang sama adalah tindakan manusiawi yang harus didemonstrasikan dan didahulukan.

Ketetapan MPR nomer V/MPR/2000 mewajibkan pemerintah melaksanakan pemantapan persatuan dan kesatuan nasional. Dalam ruang lingkup hukum inilah pemerintah seyogyanya memanusiakan para korban pelanggaran HAM terlebih dahulu untuk diajak dalam kerukunan nasional. Pintu memanusiakan para korban pelanggaran HAM yang mungkin bisa dibuka pertama kali pemerintah adalah menemui Sumarsih dan kawan-kawannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun