Full Marine Control, Menegakkan Kedaulatan ZEE Natuna Utara
Oleh: Doddy Rogabe F ManikÂ
Percayalah, kedaulatan Indonesia di kepulauan Natuna Utara akan selalu terusik jika hanya mengandalkan kegiatan patroli atau aktivitas militer  tetapi diperlukan kontrol penuh (full marine control). Bukan tidak bermanfaat tetapi bukan solusi yang berkelanjutan mencegah masalah keamanan kedaulatan Indonesia atas wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Mengapa demikian? mari kita mencoba menilik kembali konflik Laut China Selatan dari aspek history. Perselisihan antar negara yang beririsan dengan Laut China Selatan diawali oleh klaim sepihak dari masing-masing negara yang beririsan pada wilayah tersebut.
Klaim masing-masing negara didominasi atas dasar dan justifikasi sejarah. Tahun 1887 China mengklaim dan mengajukan tuntutan yang didasari jejak sejarah dari jaman kerajaan China pada 2000an tahun lalu. Bukti-bukti berupa peninggalan penjalajahan Kepulauan Spratly (pulau di laut China Selatan yang dekat dengan Kepulauan Natuna Utara) berupa peta, history penjelajahan hingga peta-peta kuno menjadi alasan kuat akan klaim yang diajukan. Hal ini berlangsung hingga sekarang, dikutip dari CNBC Indonesia (10/01/24), kapal raksasa China CCG 5901 melakukan patroli pada wilayah ZEE Vietnam tepatnya pada lokasi ladang mnyak dan gas Vanguard Bank. Â
Tidak ketinggalan Vietnam juga melakukan hal yang sama, secara history menuntut bahwa kepulauan Spratly berada pada kekuasan Kaisar Gia Long 1892 yang digabungkan dengan Vietnam dengan justifikasi keberadaan pagoda dan tanda batu di kepulauan Spratly. Selain itu, Filipina juga tidak tinggal diam karena berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Pada sidang PBB tahun 1946, Filipina menyebutkan bahwa Jepang sebelumnya telah menyerahkan kepulauan Spratly. Keterlibatan negara-negara ASEAN bertambah ketika pada tahun 1979 Malaysia juga membuat publikasi peta batas kontinen yang mengklaim sebagian kepulauan Spratly masuk dalam kedaulatan Malaysia. Tidak kalah dengan tetangganya, Brunei melakukan protes terhadap publikasi Malaysia tersebut khususnya atas Louisa Reef sebagai bagian dari ZEE nya.
Seperti yang kita ketahui, ketegangan di laut China Selatan masih terus berlangsung hingga sekarang. Hal ini berdampak pada kedaulatan ZEE Indonesia pada kepulauan Natuna Utara. Tidak jarang armada negara lain bahkan kapal pencuri ikan masuk ke wilayah ZEE Indonesia. Bahkan pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo sampai bertolak ke Kepulauan Natuna akibat kapal RRT memasuki wilayah ZEE Indonesia. Hal ini dipertegas dengan klaim China atas dasar nine dash line yang termasuk didalamnya perairan Natuna.
Full Marine Control, Penegakan Kedaulatan PerairanÂ
Full Marine Control tidak hanya sekedar adanya aktivitas militer dan peningkatan penjagaan pada wilayah perairan karena belum efektif dalam jangka panjang. Hal yang perlu kita lakukan ialah kendali penuh atas ZEE Kepulauan Natuna. Patroli dan penjagaan tetap dilakukan sebagai upaya pelengkap tetapi bukan yang utama. Hal utama yang diperlukan menurut hemat saya terdiri dari 4 hal antara lain perkuat industri perikanan Natuna Utara, buat negara berkonflik ketergantungan pasokan Ikan Natuna, gaungkan history Natuna Utara dan jadikan lokasi summit Internasional, serta bentengi dengan diplomasi dan naval power. Mari kita bahas satu persatu.
Perkuat Industri Perikanan Natuna UtaraÂ
Saya teringat dengan ladang sepetak yang dimiliki oleh saudara-saudara di kampung. Ketika perladangan tersebut jarang dikelola dan dikunjungi berakibat pada perbatasan perladangan sedikit demi sedikit bergeser dan menimbulkan masalah klaim perbatasan. Meskipun akhirnya dapat dibuktikan dengan kepemilikan surat legalitas tetapi sudah terlebih dahulu menimbulkan polemik. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perbatasan negara baik darat dan laut. Hidupnya kegiatan pengelolaan SDA pada wilayah darat maupun laut akan dapat mengurangi perselisihan. Kepulauan Natuna Utara yang kaya akan SDA harus diperkuat industri perikanannnya sebagai bagian dari bentuk penguatan kedaulatan Indonesia.