Mohon tunggu...
Doddy Haripriambodo
Doddy Haripriambodo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dulu menulis di Mading, kini menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Bukan Mbok Turah

12 Februari 2015   01:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah beberapa tahun terakhir ini saya mengikuti artikel Politika di harian Kompas. Kolom Politika diisi bergantian antara Sukardi Rinakit, Budiarto Shambazy dan James Luhulima. Dua nama terkahir adalah wartawan harian Kompas. Sedangkan Sukardi Rinakit adalah Doktor ilmu politik yang bekerja di lembaga kajian politik. Setahu saya, beberapa tahun lalu pak Sukardi tergabung dalam Sugeng Saryadi Syndicate. Kini tergabung di PARA Syndicate. Tulisan terakhir pak Sukardi di kolom Politika adalah artikel berjudul Mbok Turah yang ditayangkan di harian Kompas tanggal 10 Februari 2015 dan disajikan juga di website kompas.com.

Tulisan saya ini merupakan pendapat yang berbeda dengan apa yang disampaikan pak Sukardi dalam artikel Mbok Turah. Silakan pembaca mengakses tulisan mbok Turah melalui website kompas.com. Dalam artikel tersebut Sukardi Rinakit (SR) memberikan pendahuluan yang menegaskan kembali dukungan paripurna kepada sosok Presiden RI Joko Widodo. Dukungan melalui artikel di kolom Politika sudah diberikan secara bertubi - tubi oleh SR hampir di setiap artikel sejak beberapa tahun lalu. Tanpa data statistik yang memadai, saya bisa hampir lebih dari 75% artikel bung SR berisi dukungan (dan sedikit sanjungan) kepada tiga hal: PDIP, Megawati dan Jokowi. Jadi, meskipun rubriknya bernama Politika, isinya tidak jauh dari pembahasan tiga hal tersebut di atas. Artikel lain semasa pak SBY berkuasa adalah kritik secara konsisten kepada pak SBY dan pemerintahannya.

Dalam satu paragraf artikel Mbok Turah, pak SR utarakan bahwa Presiden Jokowi harus menjadi Mbok Turah, artinya menjadi ibu yang berkelimpahan (turah dalam bahasa Jawa) kasih sayang untuk diberikan kepada semua pihak yang dianalogikan sebagai anak. Saya pribadi, paham dan setuju karena Presiden Indonesia adalah milik rakyat Indonesia, tidak memandang agama, kelompok apalagi parpol. Tentu kita hafal ungkapan: bahwa loyalitas kepada partai dan kelompok berakhir sesaat setelah seseorang disumpah menjadi Presiden (benar demikian pak SR?) Namun ada bagian lagi artikel, dimana SR ajukan  'teori' yang rada-rada beda dari umumnya pendapat ahli politik hari ini. SR kemukakan bahwa situasi kisruh hari ini akibat dari buruknya komunikasi Megawati - Jokowi yang memang dikondisikan demikian oleh pihak-pihak tertentu. Dan saat terjadi perombakan kabinet, maka orang - orang KMP-lah yang akan masuk menggantikan orang KIH sebagai menteri. Saya hormati teori pak SR. Tetapi, rasanya mengganjal ya ada pemikiran seperti itu.

Saya susun argumentasi saya berdasarkan informasi dan berita yang bertebaran di media cetak maupun online. Artinya, saya, anda dan pak SR menerima informasi yang sama. Saya berangkat dari fakta bahwa kisruh KPK Vs BG diawali dari pemaksaan BG sebagai calon Kapolri. Siapa yang terlibat dalam proses pencalonan? Kompolnas, Presiden Jokowi dan DPR. Siapa yang berhak ajukan sesorang jadi Kapolri? Ya Presiden Jokowi. Artinya pokok masalah berangkat dari keputusan Presiden ajukan BG sebagai calon. Belakangan melalui Syafii Maarif, Presiden akui bahwa BG buka semata pilihan dia. Syafii Maarif juga sampaikan bahwa Presiden kerap mendapat tekanan dari Parpol Koalisi. Bila demikian, problemnya memang ada di tiga hal  yang senantiasa dipuji pak SR: PDIP, Megawati dan Jokowi.

Kembali ke Mbok Turah. Turahan kasih sayang Jokowi belum merata pada 100 hari pemerintahannya. Turah-turahnya kasih sayang lebih banyak ke KMP plus (Kalla Megawati Paloh), plusnya tambahi sendiri sesuai perkembangan di Malaysia, hehehe. Jadi, pak Jokowi belum jadi Mbok Turah. Dukungan kita kepada pemerintah dan Presiden adalah hal yang sewajarnya dan seharusnya. Namun, dukungan tidak harus identik dengan pembelaan atas apapun keputusan orang yang kita dukung. Dukungan yang gelap mata justru membahayakan yang kita dukung. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun