Mohon tunggu...
Doddi Ahmad Fauji
Doddi Ahmad Fauji Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Another Voice

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Lirisme Menguar dari Kota Utopia

5 Oktober 2022   17:56 Diperbarui: 5 Oktober 2022   18:00 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku ini akan didiskusikan di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16 Oktober 2022. (dokpri)

sepagi ini, aku mesti sadar
sesegera merambah belukar
tidak ada yang aku tunggu selain pajar
karena rumah adalah akar
awal tumbuhnya pertanggungjawaban
dan tempat segala lelah direbahkan.

Bekasi, 2020

***

JUGA bila merujuk pada puisi-puisi yang digubah penyair generasi kelahiran 1940-1960-an, diksi kemurungan itu dapat ditemukan pada banyak puisi, bahkan ketika hendak menyatakan cinta. Mari kita tengok beberapa contoh di bawah.

Puisi 'Aku Ingin' besutan Sapardi Djoko Damono: ...dengan kata yang tak sempat diucapkan, 'kayu' kepada 'api' yang menjadikannya 'abu'. Ada kayu dan api, dan sebenarnya terjadi proses pembakaran, hingga terciptalah abu.

Puisi 'Pernyataan Cinta' gubahan Acep Zamzam Noor: Aku mencintaimu dengan lambung yang perih, pikiran yang dikacaukan harga sembako, pemogokan, serta kerusuhan yang meletus di mana-mana.

Juga dalam puisi 'Menggoda Tujuh Kupu-kupu' gubahan Afrizal Malna:  Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata/ tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat./ Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita/ sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya/ kembali dengan sampah.

Akan terus berlahiran lirisme seperti itu, terutama dari penyair Indonesia, yang menghadapi kondisi kamuflatif di banyak bidang, dan di banyak strata sosial. Akar masalah terdapat pada para penafsir dan pelaksana Falsafah Pancasila yang sebatas mengagung-agungkan Pancasila sebagai jargon, namun ternyata memanfaatkannya untuk menindas. Juga pada tafsir ajaran agama yang tampak agung namun berbau mitos yang mengawang, alias tidak membumi, terus didendangkan syariatnya, namun dipunggungi hakikatnya.  Nyaris tipis pembuktian dalam perbuatan dari frase 'rahmatan lilalamin' (berkah bagi semesta), atau diktum sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang nyata, keadilan bagi segelintir orang yang mau dan bisa merapat ke dalam lingkaran excellent, yang menyemburkan waham hiprokrit di berbagai lini, melahirkan ketimpangan. Penyair menyuarakan kemurungan itu, dalam lirik-lirik yang menggerutu atau menghujat, terkadang melalui diksi cinta yang kusut dan berbelit-belit.

Maka bagi saya, membaca suasana kekinian Indonesia, adalah tantangan untuk memasuki puisi yang berangkat dari 'pengalaman tubuh' (meminjam istilah Afrizal). Penyair harus menjadi aktivis dalam kehidupan. Ia tidak cukup hanya menjadi pengamat kehidupan lalu membahasakannya dalam puisi atau prosa absurd, atau dalam esay yang semerbak. Penyair terutama, kepada prosais saya agak fesimistik, pembahasaan kondisi harus lahir dari aktivitasnya, bukan dari sekedar pengamatan ala peneliti akademis. 

Indonesia membutuhkan para begawan (budayawan) yang bukan hanya klaim dari dirinya, tapi perangai dan sikapnya mencerminkan kebegawanan. Indonesia membutuhkan Wiji Thukul, Radhar Pancadahana, Rendra, Afrizal Malna, yang memuisikan perbuatannya, tentu dengan warna dan diksi yang menjadi miliknya. Di Indonesia, saat ini dan ke depan, selama Pancasila masih menjadi kitab basa-basi, membutuhkan penyair yang meneror pikiran semua kalangan. Harapan ini memang seperti utopia, tapi lebih baik daripada bersikap apatistik.

Pada sekira 25% puisi dalam antologi ini, Dhe Sundayana mengarah pada gambaran penulisan puisi-puisi yang saya bayangkan, yang dinukil dari pengalaman perjalanannya, atau penyair sering mendramatisir dengan menyebutnya sebagai hasil ziarah. Tulisan ini menjadi epilog, tapi bisa menjadi prolog ke depan, sebelum puisi dituliskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun