Mempertahankan keutuhan Nusantara, mengandung mankna, harus mempersatukan hati untuk mencapai satu tujuan bersama, salah satunya adalah kesejahteraan rakyat!
Sekira tahun 2004, saya berkesempatan mengunjungi Kabupaten Marauke bersama rombongan pejabat dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Rombongan disambut oleh pidato Bupati Merauke kala itu, Johanes Gluba Gebze, yang biasa dipanggil Pak Jon.
Pidato Pak Jon, kurang lebih seperti ini.
Wajah kami mungkin mirip patung yang belum rampung diukir, tapi kami punya senyuman untuk menyambut tamu-tamu yang datang dari Jakarta. Selamat datang di Kabupaten Merauke. Anda tidak akan disambut oleh upacara yang meriah, tidak akan menginap di gedung yang mentereng, karena semua itu tidak kami miliki. Tapi Anda bisa melihat laut Arafuru yang menggetarkan, matahari yang bulat penuh, dan langit yang cemerlang tanpa awan.
Betapa girang hati kami telah dikunjungi oleh para pejabat dari Jakarta. Dengan kunjungan ini, kami merasa disapa sebagai anak-anak Nusantara. Tetapi meskipun tanpa kunjungan, kami akan bersetia menjaga dapur Nusantara yang berada di kawasan paling timur.
Bila Sabang adalah beranda rumah, dan Jakarta adalah ruang tamu, maka Merauke ini adalah dapur. Jadi kami adalah orang dapur yang harus memberi suluh supaya tungku Nusantara tetap menyala.
Bila kita hendak becermin ke alam, di mana matahari terbit dari timur, maka semestinya pula menempatkan Merauke itu sebagai serambi. Kami hidup lebih dulu dua jam dari penduduk Jakarta, sebab matahari lebih awal terbit dua jam di sini. Tapi itu hanya sebuah kemestian yang sulit dijalankan. Sebab bila hendak dijalankan, berarti kita harus mengubah lagu Dari Sabang Sampai Merauke menjadi Dari Merauke Sampai Sabang.
Pidato Pak Jon sungguh luar biasa: out of box from my mind.
Pada pidatonya itu, antara eufimisme, ironi, pengharapan, dan permohonan menyatu-padu dalam kalimat-kalimat yang filosofis. Mari renungkan kalimat ini, "Mungkin wajah kami mirip patung yang belum rampung diukir, tapi kami punya senyuman untuk menyambut tamu-tamu yang datang dari Jakarta."
Sebuah eufimisme yang alamiah, sekaligus sindiran yang menukik.
Di kawasan perbatasan, yang semestinya menjadi beranda rumah tangga Nusantara, memang banyak ditamui hal-hal yang ironis. Kawasan perbatasan Indonesia di Merauke, tidak nampak seperti beranda yang megah dari sebuah negara besar. Apa yang ada di sana, adalah alamiah belaka.
Tetapi harus diakui, pada masa Pak Jon memimpin, kota Merauke nampak asri, bersih dan tertata. Para penduduk menggunakan helm saat berkendaraan, bukan karena takut polisi, tapi taat aturan. Toh di kota Kabupaten Merauke, tidak banyak ditemui polisi lalu lintas. Agak berbeda dengan Kota jayapura yang mirip Jakarta atau Bandung, di Merauke tidak nampak sampah-sampah mengotori jalanan.