Seperti kata Pak Jon, penduduk Merauke memang ramah senyuman. Entah ini telah diinstruksikan, atau memang telah menjadi laku keseharian. Tapi menurut orang tua dulu, bangsa Nusantara memang murah senyum. Apalagi di daerah pegunungan seperti Periangan, penduduknya selalu ramah kepada siapapun. Itulah sebabnya psikolog MA Brower mengatakan, Priangan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.
Indonesia memang tidak memiliki musim salju yang membuat manusia jadi cemberut karena menahankan dingin. Negeri kita adalah kolam susu, tongkat batu jadi tanaman. Kekayaan alam negeri kita sangat melimpah. Kondisi geografis yang subur ini telah mendidik penghuninya jadi murah senyum.
Tetapi di kota-kota besar sekarang ini, di mana manusia terhimpit di hutan beton, keramahan itu seperti tercerabut serempak. Manusia menjadi hampa dan seperti robot. Demi bertahan hidup yang cukup berat, uang akhirnya menjadi Tuhan. Mungkinkah semangat kebangsaan bisa diminta dari mereka yang menyembah rupiah sebagai Tuhan?
Kepada masyarakat Merauke yang masih alamiah, semangat kebangsaan akan mudah disemai. Setiap anak bangsa akan menjadi prajurit sejak di dalam hatinya masing-masing. Tidak perlu dirayu, tak usah dipaksa, mereka akan memberikan hatinya, tentu dengan catatan seperi kata Pak Jon, "kami merasa disapa sebagai anak-anak Nusantara."
Bila kehidupan ini akan berjalan statis, tak perlu diragukan, bahwa penduduk Merauke akan bersetia menjadi suluh Nusantara di dapur yang paling Timur. Sayangnya, roda kehidupan begitu dinamis, dan perubahan terjadi dengan eskalasi makin cepat.Â
Lambat-laun namun pasti, semua yang alamiah akan tergerus oleh kemajuan, dan menjadikan mereka sebagai budak-budak penyembah Tuhan yang bernama rupiah. Bila kata Tuhan mereka berkhianatlah kepada Nusantara, maka sebagai budak, mereka akan berkhianat. Itulah yang terjadi di Jakarta. Korupsi adalah perbuatan yang berkhianat kepada rakyat Nusantara.
Rasanya, masih lama wajah Merauke akan berubah. Tanah yang lapang, masih seluas mata memandang. Tiada pabrik yang mengepulkan asap hitam. Tiada kopaja atau mikrolet yang menyeburkan karbon mono oksida. Langit nampak biru-kelabu bahkan tanpa awan.Â
Dan di hutan-hutan, semut hitam masih memberikan pelajaran yang berharga tentang makna persatuan. Di Merauke saya melihat semut-semut hitam membangun sarang dari tanah, hingga muncul ke permukaan. Sarang semut itu tingginya bisa mencapai 11 meter. Semut-semut hitam itu telah mengajarkan kepada penduduk di Merauke, bahwa kebersamaan dan persatuan bisa mewujudkan sesuatu yang sulit masuk akal.
Â
Di daerah perbatasan Indonesia -- Papua Nugini, atau di kawasan tugu titik 5200 KM, gairah hidup yang alamiah juga masih terasa kental.Â
Penduduk Indonesia yang berada di kawasan perbatasan itu, dengan penduduk Papua Nugini yang juga berada di kawasan perbatasan itu, hidup rukun layaknya saudara, dan memang pada kenyatannya banyak di antara mereka adalah saudara sedarah, saudara sesuku, yaitu Suku Marind.Â
Jika alam tidak berubah, dan dinamika politik tidak porak-poranda, mereka akan terus hidup damai seperti itu, meskipun beda kewarganegaraan.
Barangkali, ya barangkali, penduduk Merauke masih lebih beruntung dari penduduk Papua Nugini bila dibandingkan dengan ketersediaan bahan pangan. Kenyataannya, suku Marind dan suku-suku lain yang berasal dari Papua Nugini, tiap sore datang ke wilayah RI melalui jalan perbatasan setapak kaki.Â