Mohon tunggu...
Doddie Faraitody
Doddie Faraitody Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

penganut ideologi pertemanan | penikmat dan pemerhati musik indie & bawahtanah | nigtwalker-day sleeper | wisatawan asing dari negara dunia ketiga | PSK : Pekerja Seni Komersil

Selanjutnya

Tutup

Money

Tidak Ada yang Abadi kecuali Kemiskinan di Negeri ini ?

28 Desember 2009   05:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kita bangsa besar dengan otak bersinar,

Hanya perlu semangat untuk hidupi rakyat”

(nyanyikan lagu perang-koil)

“Tidak Ada yang Abadi kecuali Kemiskinan di Negeri ini”, secara tidak sengaja saya membaca kata-kata ini tercetak sangat jelas di kaos yang dipakai oleh seorang (mungkin) anggota band lokal yang sedang “nongkrong” di salah satu tempat kumpul favorit anak muda Cianjur. Kata-kata itu cukup mengusik kenyamanan saya yang juga sedang asyik menikmati makan malam bersamaanak dan istri saya. Saya percaya bahwa tidak ada yang abadi, tapi ternyata anak muda yang memakai kaos itu atau mungkin yang membuat kaos tersebut percaya bahwa kemiskinan di negeri ini adalah abadi, atau mungkin selama negeri ini berdiri kemiskinan akan selalu menyertainya.

Sejak kecil saya sering dibuai oleh kata-kata indah tentang negeri ini. Negara yang memiliki keanekaragaman budaya, negara yang sangat kaya akan hasil alam baik tambang maupun hutan, dengan letak yang sangat strategis secara geografis. Laut luas membentang yang kaya akan ikan dan barang tambang, bahkan Koes Plus menyatakan bahwa “bukan lautan, hanya kolam susu”.Secara konstitusi pun dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apalagi yang kurang bagi negera ini,seperti potongan lirik lagu di atas, hanya perlu semangat untuk hidupi rakyat. Sepertinya semangat itu yang belum muncul dari para pemimpin negara ini, sehingga kemiskinan tetap akrab dalam kehidupan bernegara.

Benarkan kemiskinan itu akan abadi di negeri tercinta ini, padahal negara yang “gemah ripah loh jinawi” ini sudah 64 tahun lepas dari belenggu penjajahan,dan sudah 5 kali berganti Presiden.Saya sendiri merasakan 4 dari 5 pemerintahan Predsiden tersebut. Sejak kecil saya sering kali mendengar bahwa tujuan negara ini adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.Selama itu pula masyarakat adil dan makmur hanya menjadi jargon kosong pemerintah.

[caption id="attachment_76701" align="alignleft" width="300" caption="lingkaran setan kemiskinan - google.com"][/caption]

Sejak orde baru dimulai, kata pembangunan terus didengungkan oleh pemerintah.Pak Harto sering menyebutkanya pembangunan di segala bidang. Pembangunan secara bertahap dilakukan dengan sebutan PELITA-Pembangunan Lima Tahun. Sejatinya pembangunan itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang pada akhirnya akan menghapus kemiskinan dengan seiring peningkatan kesejahteraan. Akhir PELITA VI negara ini dicanangkan akan tinggal landas dan sejajar dengan negara-negara maju. Akan tetapi apa yang di dapat, badai krisis moneter dengan mudahnya menghempaskan negara ini kedalam jurang keterpurukan yang berkepanjangan. Rezin Orde Baru terguling dan diganti dengan rezim baru yang tetap tidak bisa mengangkat rakyat Indonesia dari kemiskinan. Hidup sejahtera hanya milik sebagian kecil masyarakat, sedangkan sebagian besar sisanya masih belum merasakan. Dalam salah satu lirik lagunya, Iwan Fals pernah bilang “si kaya bertambah gila dengan harta kekayaannya, luka si miskin semakin menganga”. Pengentaskan kemiskinan hanya menjadi dagangan untuk menarik simpati rakyat saat kampanye, tapi setelah itu mereka terlupakan lagi.

Pembangunan ini gagal mensejahterakan rakyat karena pembangunan ekonomi dari setiap pemerintahan memiliki kerapuhan. Ada beberapa kerapuhan yang menyebabkan kegagalan tersebut.Pertama, sektor Primer Ekstraktifyang tidak tertata dengan baik, ketergantungan yang sangat besar tehadap pasar luar negeri, karena tidak ada industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Begitu luas perkebunan Karet di Indonesia, tapi tidak bisa langsung diserap oleh pabrik, misalnya pabrik ban, karet tersebut harus diekspor dulu untuk diolah lalu diimpor kembali untuk menjadi bahan baku ban.

Kedua, Industri bertahan dengan subsidi dan fasilitas dari Pemerintah. Kemudahan memperoleh modal dari pemerintah dan lembaga perbankan karena faktor kedekatan. Mungkin ada yang masih ingat Kasus Golden Key, Edy Tanzil berhasil mengeruk uang 1.3 trilyun dari BAPINDO karena ada jaminan Pribadi dari Sudomo, Menkopolkam pada saat itu.Ini menyebabkan institusi pasar tidak kokoh karena hanya didominasi oleh kelompok tertentu yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Proteksi dengan palarangan impor untuk komoditas tertentu dilakukan pemerintah dengan dalih untuk melindungi industri dalam negeri. Keadaan ini menyebabkan Industri kita tidak memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif terhadap barang dan industri dari luar negeri.

Ketiga, kebijakan ekonomi makro untuk pertumbuhan dan stabilitas ekonomi cenderung semu dan hanya untuk kepentingan sesaat. Yang masih hangat adalah kebijakan tentang penyelamatan Bank Century. Sampai saat ini rakyat masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang mendasari keputusan dilakukannya penyuntikan uang sebesar Rp. 6.7 trilyun itu. Sampai dibentuknya Panitia Hak angket, yang semoga tidak menjadi seperti angkot (angkutan kota), terlalu lama “ngetem”, dan putar balik sebelum terminal terakhir.

Semua kerapuhan itu sebenarnya bisa diatasi jika pemerintah mau melakukan structural adjustment, tetapi hal itu sangat sulit dilakukan karena adanya kerusakan kumulatif yang disebabkan oleh kondisi politik negara ini. Semua kembali kepada keinginan politik dari penguasa.

Seharusnya pemerintah punya sedikit semangat untuk menghidupi rakyat, sebab tugas pemerintah adalah mensejahterakan rakyatnya, agar kemiskinan di negeri ini tidak menjadi abadi. Sekali lagi seperti kata band Koil, “kita bukan penguasa, kita rakyat jelata, hanya bisa berdo’a”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun