Mohon tunggu...
Erlina Pudiastuti
Erlina Pudiastuti Mohon Tunggu... -

Saya trainner utk product knowledge,sblmnya kerja di NGO dan RS.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kepegawaian di Dinkes Daerah Setempat

25 Juni 2014   22:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:57 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Otonomi daerah telah melahirkan banyak perubahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dampak otonomi daerah tidak hanya sekedar menciptakan perubahan pada aspek pemerintahan tetapi perubahan pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat termasuk sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Dampak otonomi daerah yang luas tersebut timbul karena otonomi daerah pada dasarnya memiliki makna yang strategis yang berkaitan erat dengan tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Indonesia. Secara konseptual otonomi daerah diharapkan dapat mendorong terciptanya demokratisasi di Indonesia,yang ditandai dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk partisipasi, prakarsa dan kreativitas dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing.

Namun bukti empiris juga menunjukkan bahwa di negara-negara yang gagal , penyelenggaraan kebijakan desentralisasi justru mengganggu sektor pelayanan publik dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan politik.

Dari hasil survey yang dilaksanakan oleh PERC ( Political and Economy Risk Consultancy) pada tahun 2010, disebutkan bahwa  dari 16 negara yang berada di Asia Pasific, Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi. Di antara 7 negara ASEAN, Singapura dan Malaysia berada pada urutan pertama yang tingkat korupsinya rendah, yakni sekitar 1,07%. Selanjutnya disusul oleh Filipina dengan tingkat korupsi sekitar 7%, Vietnam dan Thailand 7,11%, lalu Kamboja 7,25%. Dimana Indonesia? Berada pada urutan terakhir dengan skor 8,32%.

Perubahan tata kelembagaan di era otonomi daerah sedikit banyak telah menimbulkan ketidak jelasan atau mengaburkan antara lembaga yang memberikan kewenangan dan lembaga yang menerima kewenangan atau yang mewakili. Hal ini menimbulkan ketidakharmonisan antar lembaga-lembaga yang ada dan berpotensi menghambat good governance atau tata kelola yang baik.

Contoh yang akan saya ambil adalah mutasi ataupun rotasi pegawai  yang merupakan dampak dari Otonomi Daerah di  Dinas Kesehatan yang terletak di Kabupaten atau Kotamadya. Pada kesempatan ini saya tidak mengajak saudara-saudara untuk mendalami rotasi ataupun mutasi dalam konteks teknis peraturan perundang-undangan.

Bagi saya rotasi atau rolling memiliki pengertian memutar atau menggilir penempatan struktural maupun fungsional dari satu jabatan ke jabatan lainnya yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan yang bersifat Compulsary (diatur oleh UU yang berlaku). Sementara itu, istilah mutasi dalam arti perpindahan, lebih memiliki pengertian teknis yaitu tentang bagaimana mengatur mekanisme pemindahan jabatan yang terkena kebijakan perputaran jabatan.

Rotasi memiliki peranan penting dalam sistem penyelenggaraan kepegawaian dari sebuah organisasi. Paling tidak ada 3 manfaat yang dapat ditarik dari rotasi, yaitu : kepentingan dinas, kepentingan pejabat yang bersangkutan dan kepentingan publik.

Pada intinya perputaran jabatan merupakan alat yang dapat digunakan oleh manajemen perkantoran untuk mendapatkan keuntungan – keuntungan antara lain :

1.Sebagai sarana evaluasi penugasan pejabat

2.Sebagai sarana peningkatan meningkatkan produktivitas kerja

3.Sebagai sarana pembinaan PNS

4.Sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa .

Sedang bagi pegawai , rotasi memiliki manfaat  yaitu :

1.Memperluas pengalaman dan kemampuan.

2.Menghilangkan hambatan psikologis pejabat.

Bagi kepentingan publik rotasi diharapkan akan memberikan keuntungan antara lain cepatnya pelayanan jasa kepada mereka.Pegawai / pejabat yang terlepas dari kejenuhan da merasa fresh dalam menjalankan tugasnya yang baru.

Berdasarkan dari hal di atas, rotasi dan mutasi pegawai negeri sipil  di Dinkes Kotamadya/ Kabupaten setempat akan memberikan dampak perbaikan kebijakan dan sarana untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Namun dampak otonomi daerah Kotamadya / Kabupaten tersebut rotasi dan mutasi menjadi lebih cepat dari waktu yang seharusnya dan tidak proporsional. Mengapa bisa terjadi demikian?

Rotasi dan mutasi yang sesuai jadwal  misal tiap 3 tahun, berpengaruh terhadap kebijakan dan tindak lanjut dari suatu program. Contoh : seorang staf yang  mengerjakan kunjungan ke lokasi yang berkaitan dengan program kesehatan, mengumpulkan dan menganalisa  data serta membuat laporan dari hasil kunjungan. Kalo dia staf cukup pengalaman  di bagian  tentu hal tersebut bukan masalah, pekerjaan akan lebih cepat diselesaikan Sedangkan bila dia staf baru memerlukan waktu adaptasi dan menyelesaikan pekerjaan tersebut. Staf baru biasanya akan sering dikirim untuk pelatihan ketrampilan (kadang dalam 1 tahun bisa 3). Ini belum termasuk bila staf tersebut baik lama maupun baru memegang lebih dari 1 program.Bisa dibayangkan berapa banyak PR yang harus staf tersebut selesaikan setiap bulannya.

Bila staf yang dobel pekerjaan tadi memiliki atasan / pejabat yang mendukung program kesehatan, maka baik staf maupun kualitas pelayanan kesehatan publik bisa berjalan beriringan.

Akan timbul masalah bila atasan / pejabat yang berwenang tidak peduli dengan program kesehatan yang dijalankan.

Rotasi dan mutasi pegawai  yang  mengikuti pergantian  pejabat yang berwenang dari Otonomi Daerah, memberikan dampak terhambat / mendukung suatu kebijakan program kesehatan yang sedang berjalan, atau kebijakan program kesehatan berikutnya.

Dan yang membuat prihatin bahkan banyak progam kesehatan terhenti dan tunjangan dengan alasan bahwa itu dari pejabat sebelumnya.

Hambatan-hambatan selanjutnya berkaitan dengan dana, sumber-sumber PAD lebih banyak untuk operasional : gaji pegawai, tunjangan, pengeluaran bulanan seperti : listrik, telpon dan pajak. Sedangkan untuk pelatihan, dokter PTT daerah  dan kegiatan yang berkaitan dengan kemajuan kesehatan, lebih banyak tersendat bahkan terhenti.

Beberapa masalah menyangkut aparatur dapat diuraikan sebagai berikut :

1.Ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan yang tersedia.

2.Kualitas aparatur rendah

3.Aparatur daerah banyak yang bekerja di bawah 8 jam sehari.

Bagaimana dengan pemilu presiden 2014? Apakah  akan  ada perubahan  yang lebih baik terhadap bidang kesehatan? Saya berharap tidak program kesehatan gratis yang ditonjolkan, tetapi sistem yang diperkuat.

Koordinasi dengan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan SDM di Aparatur pemerintahan terutama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan , karena setelah Otonomi Daerah sering terdapat perbedaan persepsi

Diharapkan koordinasi antara pusat dengan daerah , dapat menciptakan sistem yang terarah untuk jangka panjang, sehingga tidak mudah berubah bila ada pergantian pejabat / pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun