Mohon tunggu...
Fanny Jonathans Poyk
Fanny Jonathans Poyk Mohon Tunggu... -

Halo, saya seorang penulis puisi, cerpen, novel, novel misteri, buku-buku motivasi. Saya juga menerima tulisan pesanan (Ghost Writers), skenario, tulisan biografi, artikel pendidikan dll. Saat ini saya bekerja sebagai editor dan redaktur di sebuah majalah pendidikan pemerintah. Saya suka menyanyi dan traveling. Musik kesukaan saya Jazz, R&B, Swing, slow rock, bossanova, keroncong, dll. Saya suka nonton film dg akting yg kuat dan penuh karakter. Itulah saya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dadong Kerti

9 Maret 2011   09:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dadong Kerti

Oleh Fanny J.Poyk

Ini rumah ke dua belas yang kami tempati. Dua belas tahun menetap di Denpasar, Bali, dua belas kali sudah kami pindah rumah. Ayah menata hidup kami mirip kehidupan gipsy, bosan di satu desa, di satu banjar, ia memutuskan mencari kontrakan baru dengan lingkungan dan suasana yang benar-benar baru. Tak ada yang aneh dengan kepindahan kami yang berkali-kali dalam kurun waktu dua belas tahun itu. Kami dengan mudah dapat menyesuaikan diri, kami memang seperti bunglon, dapat berubah warna dengan cepat sesuai keadaan dan tempat. Tempat tinggal kami yang baru terletak di desa Batanpoh, berdekatan dengan Pantai Sanur.

Pemilik rumah yang baru sepasang suami isteri berusia sekitar enam puluhan, mereka akrab kami sapa denganPan Wayan Deblog dan Dadong Kerti. Untuk ukuran masyarakat Bali kala itu dan penduduk desa Batanpoh khususnya, pasangan suami isteri ini terbilang berada, mereka memiliki tiga rumah kontrakkan, seekor kerbau, dua pasang babi dan sepuluh anak-anak mereka, serta sepasang sapi dengan lima petak sawah seluas lima ribu meter persegi yang terletak di desa Padang Galak.

Pasangan ini tidak memiliki anak kandung, seorang anak angkat mereka, laki-laki, sudah menikah dan menetap di Banjar Pekandelan, berdekatan dengan Banjar Batanpoh. Anak laki-laki yang beruntung ini memperoleh dua petak sawah, seekor kerbau dan sebuah rumah seluas lima are lengkap dengan merajan atau sanggah untuk bersembahyang.

Rumah yang disewa ayah terletak satu lokasi dengan rumah induk yang ditempati Dadong Kerti dan suaminya. Di belakang rumah mereka ada kandang kerbau dan sapi yang bersebelahan dengan kandang babi. Jika pagi menjelang, aroma tak sedap menyeruak kemana-mana, bergabung dengan semilir angin dan menebarkan bau yang mengganggu penciuman kami. Tapi penderitaan akibat bau hanya kami rasakan beberapa hari saja, selebihnya bau tak sedap itu mulai kami akrabi, apalagi tak lama kemudian aku telah memperoleh teman baru yang militan, nakal, pandai berenang, pandai berjualan patung di tepi Pantai Sanur, dan pandai memanjat pohon apa saja. Namanya Nyoman Kantun, darinya aku dan adik-adikku belajar banyak hal, termasuk menari Bali dan menyukai pertunjukkan drama gong, kisah Ramayana, hingga tari kecak. Aku merasa inilah dunia baruku, dunia yang benar-benar penuh kejutan.

Dadong Kerti lebih dominan dari suaminya. Nenek yang satu ini seperti memiliki tenaga kuda, ia tak pernah terlihat lelah, sebelum matahari terbit, ia sudah bergelut dengan dapurnya, ya dapur menjadi titik sentral kehidupannya, di sana ia membuat canang, memasak berbagai penganan untuk dijual, mengolah makanan buat binatang-binatang piaraannya, dan berkidung menyanyikan kekawin/lagu-lagu pemujaan pada Ida Sang Hyang Widhi Waca yang dikarang para pujangga Bali. Sedang Pan Wayan Deblog lebih banyak berada di sawah bersama kerbau dan sapi-sapinya. Anak angkat mereka, jarang bahkan hampir tak pernah datang menjenguk kedua orang tua angkatnya.

Perihal anak angkatnya, Dadong Kertipernah bercerita padaku, sesungguhnya ia menginginkan anaknya itu serta isteri dan satu orang cucunya (yang seorang telah meninggal dunia) tinggal bersama dia dan suaminya, satu rumah kontrakkan permanen dari tiga rumah yang dibangunnya itu untuk mereka. Namun entah kenapa, ketika cucu keduanya lahir, anak angkatnya langsung memutuskan pindah. Kepindahan itu berawal dari sakitnya sang cucu ketika berusia tiga bulan. Hampir tiap malam, bayi itu menangis, tubuhnya kejang, matanya melotot dan bayi itu muntah-muntah. Wayan Merta, nama anak angkatnya, marah besar dan langsung menuduh ibu angkatnya bisa ngeleak, mencincar anaknya untuk dipersembahkan pada Batari Durga, yang ia tuduh sebagai dewi leak junjungan Dadong Kerti. Tuduhan itu memangbelum pasti, namun Wayan Merta yakin ibu angkatnya bisa ngeleak.

Sesungguhnya sebutan leak dapat berkonotasi jahat dan menakutkan. Namun leak sebenarnya ada dua jenis, yaitu leak dengan aliran putih yang disebut Penengen, dan leak beraliran ilmu hitam dinamakan Pengiwa. Penengen leak yang baik, sedang pengiwa leak jahat. Sebenarnya nama leak adalah Liya Ak, entah mengapa berubah menjadi Leak, aku sendiri tidak tahu. Nama itu sudah ada sejak sebelum aku menetap di bali. Leak berarti mencari pencerahan melalui aksara Bali, yaitu Lina aksara yang artinya memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara ke dalam tubuh dengan cara tertentu. Kisah leak menjadi mahluk yang menakutkan dan dapat mencabut nyawa seseorang, menjadi kisah yang berada di posisi antara “ya” dan “tidak”, jadi masih menjadi kisah yang abu-abu. Mahluk ini menjadi seram karena dibumbui dengan cerita-cerita yang pada akhirnya membuat orang percaya kalau dia memang benar-benar mahluk yang menyeramkan.

Entah, jika benar Dadong Kerti bisa menjadi leak, apakah dia Penengen atau Pengiwa, sekarang masalahnya bukan hitam atau putih lagi. Aku tidak mengerti seperti apa cara kerja para leak itu, yang pastijika benar Dadong bisa ngeleak, ini gosip yang menakutkan. Aku resah, aku gelisah. Sebab, menurut penuturan beberapa temanku di sekolah, leak sangat menyukai balita. Nah, aku mempunyai adik yang berusia empat tahun. Dia bisa menjadi sasaran empuk ilmu pengeleakkan Dadong Kerti. Adikku sewaktu-waktu bisa dijadikan tumbal. Adikku sewaktu-waktu dapat dipersembahkan ke Batari Durga.

Maka kegelisahanku ini kusampaikan pada ayah.

“Kita harus segera pindah dari sini, Yah!” ujarku. Saat itu tepat malam Kajeng Kliwon, malam yang diyakini para jago ngeleak keluar dari peraduannya, keluar dari raga dan mengejawantah menjadi berbagai jenis mahluk atau benda-benda yang ada di bumi ini.

“Kenapa mendadak kau minta pindah?” tanya ayah.

“Aku takut tinggal di sini. Dadong Kerti bisa ngeleak.”

“Kata siapa?”

“Kata orang-orang di Banjar Batanpoh, anak angkatnya pindah dari rumah ini karena tidak mau anak mereka menjadi korban neneknya.”

“Lalu bagaimana perkembangan cucu Dadong Kerti itu?” Ayah balik bertanya.

“Hmm…menurut khabar sih, dia meninggal setahun yang lalu akibat muntaber. Tapi penduduk Bantapoh tetap yakin, anak itu kena cetik Dadong Kerti, karena saat sakit Dadong Kerti yang merawat cucunya.”

“Apa itu cetik?”

“Diracun. Orang yang bisa ngeleak, juga jago cetik, Yah!”

Ayah terkekeh. “Itu kisah yang irasional. Kau jangan percaya dengan cerita macam begitu. Buktinya, setelah tiga bulan tinggal di sini, kita aman-aman saja, kan? Adikmu pipinya tambah montok, dia makan makanan pemberian Dadong, kita juga makan makanan darinya, kita tetap sehat dan tidak ada yang sakit-sakitan. Sudahlah Ani, jangan kau racuni pikiranmu dengan kisah-kisah isapan jempol yang tak bermanfaat. Lebih baik kau pusatkan perhatianmu dengan belajar danbelajar, kau sebentar lagi ujian, kan?”

Ucapan ayah tak membuat rasa penasaranku surut. Perkenalanku dengan Nyoman Kantun, anak nelayan yang rumahnya persis bersebelahan dengan rumah kontrakkanku, makin menguatkan keyakinanku kalau Dadong Kerti bisa ngeleak. Kantun menuturkan bahwa malam pertama saat Kajeng Kliwon tiba di bulan purnama, ia dan adiknya baru pulang dari Banjar Sindhu. Mereka habis menyaksikan drama gong Cupak dan Grantang. Ketika itu hari telah menunjukkan pukul dua dini hari. Persis di tikungan gang masuk ke arah rumahku, tepatnya di bawah pohon beringin yang rimbun, ia melihat seekor monyet sedang duduk di atas batu sambil menatap rembulan yang bulat penuh.

“Monyet itu tampak jelas, bulunya yang abu-abu, bersinar seperti perak. Wajahnya mendongak lurus ke arah bulan purnama. Aku mengintipnya dari balik tembok, aku sangat ketakutan. Aku yakin itu Dadong Kerti, dia telah berubah menjadi monyet,” tutur Kantun.

Benarkah? Di antara rasa percaya dan tidak, perasaan cemasku makin menggunung.Kini hampir tiap hari kuperhatikan gerak-gerik tuan rumahku itu. Sore hari tatkala ia menuju merajan, kuintip, apa saja yang dipersembahkan di depan pura jadi pusat penelitianku. Pagi hari kuamati apa yang dia lakukan di dapur, sikapku ini sempat membuatnya bertanya, “Ada apa, Ani?”

“Oh tidak, tidak ada apa-apa. Saya hanya senang saja melihat Dadong begitu rajin.”

“Hm…pasti kau telah mendengar cerita-cerita tentang aku…Jangan takut Ani, aku tidak seperti yang kau pikirkan. Percayalah!”

Dadong Kerti berbicara tajam, ia tidak menatapku. Wajahnya menunduk ke bawah, menatap tanah basah yang tersiram hujan semalam. Aku memerhatikan wajah perempuan tua itu, dia tidak berani menatap mataku, menurut Kantun, itu salah satu ciri orang yang bisa ngeleak. Kerutan tajam menghiasi wajah Dadong. Ia memang tak mengenal make up, sejak muda wajah itu terus terpapar sinar mahatari, tubuhnya yang gempal dengan dua payudara tergantung lepas dan bebas, membuat perempuan hampir mirip manusia batu itu, tidak memerlukan lagi berbagai asesoris untuk memperindah penampilannya. Dia benar-benar perempuan alam, bau keringatnya bau alam, rambutnya bau alam. Jika ada yang mengatakan dia memiliki ilmu pengeleakan, memilki sabuk sakti yang bisa digunakan untuk ngeleak, untuk apa semuanya itu? Hhh…kepalaku kian bertambah pusing.

“Kalau kau tidak percaya, mari kita selidiki rumah Dadong Kerti saat ia dan suaminya tidak ada. Kita cari sabuk pengeleakkannya!” ajak kantun suatu hari.

“Sabuk pengeleakan? Sabuk apa pula itu?

“Hah, masak kau tidak tahu, kalau orang mau ngeleak, dia harus memakai sabuk itu, nanti arwahnya akan keluar dari raganya, dia dapat berujud macam-macam, dia bisa berada di dalam rumahmu!” Wajah Kantun serius, ia semakin mirip PM Toh sang penutur asal Aceh.

“Mudah-mudahan tidak.” Aku bergidik ngeri.

Namun sebelum penggeledahan dimulai, aku terkejut, adik bungsuku tidak ada di rumah. Ibu memarahiku habis-habisan. Ayah juga sama. Mereka mengancamku, jika sampai petang adikku tidak juga pulang, mereka akan mengusirku. Aku cemas, aku gelisah. Kubayangkan dia perlahan-lahan akan meregang nyawa akibat cetik yang diberikan Dadong kepadanya. Sungguh, rasa cemasku telah sampai ke ubun-ubun. Aku juga semakin percaya dengan ucapan Kantun.

“Kita geledah sekarang?” tanya Kantun.

“Jangan, kita cari adikku dulu. Aku tidak mau dia pulang dalam keadaan perut bengkak akibat cetik!”

“Ha? Kau yakin adikmu pergi bersama Dadong Kerti?”

“Iya. Sebab nenek itu tiap hari selalu menatap adikku. Dia juga kerap memberi adikku jajanan buatannya. Mungkin itu hanya pancingan, di saat yang tepat dia akan menjadikan adikku korban ilmu pengeleakkannya. Minggu depan Kajeng Kliwon, bulan purnama bulat total, saat itulah dia akan menyedot ubun-ubun adikku, menyedot darahnya dan menghirup darah itu melalui pusarnya. Duh, adikku akan membujur kaku. Perempuan tua itu akan berubah menjadi drakula yang haus darah. Cepat Kantun, ayo kita ke sawah, mencari mereka di Padang Galak!”

Rasa gundah itu kian membumbung. Kilatan leak yang kuimajinasikan berujud seperti Rangda; hantu bertaring tajam, berambut putih panjang, dengan payudara menggelantung seperti buah pepaya, mata melotot, memiliki kuku-kuku panjang dan runcing, serta lidah menjulur ke luar, membuat jantungku berdetak cepat. Oh tidak! Jangan sampai imajinasi liarku itu terwujud. Aku tidak mau adikku mati, ya mati di tangan Rangda jelmaan Dadong Kerti.Dan sore itu kupastikan aku harus menemukan adikku. Bersama Kantun kucari bocah kecil itu di sawah Dadong Kerti di Padang galak, di tepi pantai Sanur, hingga ke rumah Lo Lan teman baruku yang tinggal di Kampung China dekat rumah kontrakkan kami.

Namun sosok adikku masih samar.

“Bagaimana ini Kantun,adikku tetap tidak ditemukan, matahari sudah turun ke barat,sebentar lagi senja dan malam akan membuat dunia gelap. Kalau sampai adikku tidak juga pulang, bisa gawat aku!”

“Kita pulang saja, kita tanya langsung pada Dadong, jika dia tidak mengaku, kita cari dalam rumahnya. Adikmu pasti disembunyikan di sana.”

Nyatanya, hingga malam tiba, rumah Dadong Kerti tetap gelap.Aku dan Kantun berbalik, mencari mereka di tempat arena tari kecak dan Ramayana. Di sana mereka juga tak ada. Kecemasanku makin meningkat. Ini bukan sekedar rasa curiga lagi, tapi sudah lebih dari itu. Nyawa adikku ada di ujung tanduk. Darahnya akan disedot habis tanpa sisa oleh Dadong Kerti.

“Jalan satu-satunya kita ke rumah anak angkat Dadong, Wayan Merta. Dia pasti tahu di mana ibu angkatnya berada.” Usul Kantun.

***

Itulah untuk pertamakalinya aku bertemu dengan Wayan Merta. Ketika aku dan Kantun berhadapan dengannya, ia tengah berada di arena sabung ayam, lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu tampak loyo dan bau minuman keras tercium dari mulut serta nafasnya. Sambil terkekeh dia bilang, “Perempuan tua itu memang pintar, dia tidak mau menyerahkan semua harta miliknya. Sebentar lagi dia dan suaminya akan mati. Sawah, kerbau, sapi, dan binatang peliharaannya seharusnya menjadi milikku. Tapi mereka hanya memberikan sedikit saja harta mereka untukku. Sekarang, biar mereka rasa, dengan gosip menjadi leak, mereka akan dikucilkan, mereka akan dilempari batu. Dadong Kerti tak bisa tenang hidupnya. Masyarakat akan mengadili dia dan suaminya, hidup mereka akan hancur!”

“Di mana adikku?”

“Adikmu? Mana aku tahu.”

Mataku nanar mencari-cari adikku. Akhirnya kulihat bocah balita itu tengah tertidur pulas di sudut arena perjudian sabung ayam beralaskan tikar. Wayan Merta yang menculik adikku, dia sengaja menyuruhnya tidur di situ. Dia sengaja menebarkan isu adikku menjadi korban pengelakkan Dadong Kerti. Aku membawa pulang adikku dengan hati lega. Esok, bersama Kantun akan kubeberkan pada para penduduk banjar Batanpoh, kalau Dadong Kerti tidak bisa ngeleak.Wayan Mertalah leaknya, leak yang tidak tahu terimakasih, tidak punya hati nurani. Setelah diambil dari tengah sawah dan dijadikan anak angkat keluarga Pan Wayan Deblog, anak haram hasil perzinahan itu membalasnya dengan balasan yang sangat menyakitkan. Ia menyebarkan fitnah keji yang sempat membuat dua orang tua angkatnya merasa tersudut dan terkucilkan. Ia membalas semua kebaikan dengan kotoran tepat di wajah kedua kakek dan nenek itu.

“Mertalah leaknya…” kata Kantun

“Ya, dalam dirinya bersemayam sifat durjana yang tidak tahu berterimakasih.” Sambungku.

“Napi je anake ngorahang dewek, tiang paling melahe, tiang siap dogen. Kasuen suen sinah jagi ngenah, sire sane patut tur sire sane mebikas jele. Bikas jele dumogi ke ampehang masa, Ida Sang Hyang Widhi Waca nente je jadi nyengsarang damuh ne ane patut…” ujar Dadong Kerti. Yang kuartikan, biarkan orang bilang apapun tentang saya, diam adalah tindakan terbaik. Waktu nanti yang akan berbicara, yang baik akan terlihat, yang jahat tergerus oleh masa. Tuhan menyayangi orang yang baik.

Aku menggendong tubuh adikku yang tengah tertidur pulas. Kantun berjalan di sampingku. Malam itu Bulan purnama bulat penuh. Seekor monyet berbulu abu-abu menanti kami di bawah pohon beringin dekat pintu gerbang rumah Dadong Kerti. Di situ terlihat seorang laki-laki duduk di samping monyet itu.Dia Pan Nyoman Puguh, pemilik monyet, dia sedang menemani monyetnya menatap bulan purnama yang sedang berpendar indah…

***

Depok, Panas Terik Maret 2011

1.Catatan :

2.Pan :Bapak ( Pak Wayan Deblog)

3.Dadong :Nenek

4.Cetik:Racun

5.1 Are:100 meter

6.Merajan/Sanggah:Tempat khusus untuk bersembahyang bagim umat Hindu

7.Leak:Ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci.Dalam aksara Bali disebut Liya Ak, yaitu lina aksara yang berarti memasukkan dan mengeluarkan kekuatan ke dalam tubuh dengan cara tertentu.

8.Rangda :Mahluk bertaring, berambut putih panjang dengan mata melotot keluar, lidah menjulur ke dalam lengkap dengan dua gigi taring dan payudara melorot ke bawah.

9.Mekidung/Mekekawin : Tembang untuk memuji Tuhan

10.Canang : Sesajen dari daun kelapa dan bunga-bunga (salah satunya bunga kemboja) serta irisan daun pandan untuk bersembahyang dalam agama Hindu.

11.Pura: tempat bersembahyang masyarakat Hindu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun