Tulisan ini dimaksudkan sebagai tanggapan atas artikel yang diturunkan penulisnya, Muhammad Fajar Siddiq, dengan judul "Tuhan, Aku Tidak Pernah Ingin Menjadi Manusia!" di media ini tertanggal 22 Februari 2020. Menyimak dan membaca mulai dari judul hingga introduksi bahkan lebih jauh mendekati separoh dari isi artikel selain menarik dan memakau --karena topik yang diangkat terbilang cukup imaginatif, genuin, dan bagus sekali-- sungguh cukup membuat hati berdebar ketika atas nama "kebebasan berpikir" dengan penuh kesadaran dan keberanian seakan penulis menggugat kekuasaan Tuhan yang dianggap kejam dan tirani dengan mengajukan berbagai pertanyaan kritis!Â
Tetapi ketika tiba pada ujung alinea penjelasan, terus terang saya merasa sedikit kecewa seperti menghadapi sebuah anti klimaks. Semula saya berharap penulis akan mengkeksplorasi pemikirannya hingga tuntas.
 Bagi saya "tak apa" sekiranya dalam eksplorasi pemikirannya dapat ditemukan bukti aqly tentang kesewenang-wenangan, ketiranian dan kekejaman Tuhan, sejauh hal tersebut merupakan wacana dan penjelasannya memang rasional, realistis dan kokoh. En toch saya pikir sekaligus yakin bahwa Tuhan "tak akan gentar" alih-alih runtuh kekuasaan dan kewibawaan-Nya gegara pemikiran manusia. Bukankah malahan Tuhan tidak suka dan mendiamkan orang yang tidak mau menggunakan akal pikirannya di hari kiamat kelak?
Simak juga: Manusia yang didiamkan Tuhan
Rasa sedikit kecewa itu berlanjut ketika pada ujung tulisan penulis kemudian memberikan penjelasan berdasarkan dalil naqly dengan metode pendekatan etimologi sesungguhnya tak jauh berbeda dengan metode dakwah konvensional sembari memperkokoh konsep theodesi yang disebutkan penulis.Â
Sebelumnya saya berharap penulis dapat memberikan dalil aqly dengan konsep anthropodesi dalam pemikiran filsafat sesuai atau sejalan dengan pijakan dan introduksi yang dibangun penulis di awal tulisan. Spermatozoa yang dilepaskan sang ayah ke dalam rahin sang ibu berpacu untuk membuahi sel telor dikatakan memiliki tanggung jawab atau harus bertanggung jawab akan pilihan dan perilakunya secara common sense sungguh tidak realistis dan sulit diterima akal sehat.Â
Lagi pula penjelasan yang diberikan penulis menurut hemat saya justru menjadi sangat riskan dapat menciptakan medan terbuka saling menggugat dalam "konflik horizontal" bahkan sampai pada tingkat individual yang ujung-ujungnya kian jauh melontarkan manusia dalam dasar jurang keterpurukan. Itu bukan teori dan mengada-ada.Â
Berapa banyak sekarang sering terjadi anak menumpahkan amarah kepada ibu dan bapaknya atau sebaliknya, tentu bukan karena peribahasa lama "bukan salah bunda mengandung" sehingga saling membunuh dan memusnahkan?
Sementara anak yang dilahirkan dan merasa tak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia itu hidup dalam sengsara dan derita, mengapa pula harus berbakti kepada orang yang telah melahirkan? Tanpa perintah agama pun berbakti dan berterima kasih kepada orang tua itu sesungguhnya merupakan kebutuhan (jiwa) , kalau saja proses kejadian manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran dan kasih sayang.Â
Malahan dalam budaya Jawa bukan hanya hubungan antara anak dan orang tua diajarkan, tetapi lebih luas menyangkut hubungan kekerabatan keluarga dekat dengan sebuah petuah yang digambarkan dalam bentuk ungkapan atau peribahasa "tego larane ora tega patine". Artinya, sesama saudara dekat atau kerabat ketika terjadi perselisihan kadang terpisah dan bersikap tak peduli satu sama lain dan sepertinya tak sudi bertemu lagi karena marah. Tetapi ketika salah satu mengalami kesulitan besart atau apalagi meninggal dunia, maka yang satunya tidak sampai hati kemudian datang juga untuk mengulurkan tangan dan memberikan pertolongan.
Kembali kepada penjelasan penciptaan manusia dengan pendekatan etimologi, mengapa tidak dirunut, ditelusuri, atau dilacak  dari asal muasal dan sektor hulunya, yakni pada penciptaan Nabi Adam as yang dipercaya sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan? Begitu barangkali lebih fair, obyektif dan realistis.Â