Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Yogya Penuh Warna

23 Februari 2020   08:46 Diperbarui: 23 Februari 2020   08:52 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Traveling di usia lansia? Wow...why not? Kata pembuka ini setidaknya untuk menegaskan bahwa traveling bukan saja milik atau monopoli kawula muda sekaligus membangkitkan semangat para lansia untuk tidak mau menyerah ketimbang harus meringkuk, sedih dan murung di rumah digerogoti usia. 

Terutama mereka yang sejak usia muda memang memiliki hobi traveling alias zaman dulu disebut piknik atau darmawisata ditambah hobi menulis. Sehingga niat dan hasrat untuk melakukan trip perjalanan wisata masih tetap menyala, meskipun mungkin usia suka menjadi kendala. Saya yakin dan percaya bahwa jumlah mereka yang usianya sudah mencapai kepala tujuh dengan kondisi fisik yang fit lumayan banyak. 

Apalagi jika sekarang ini Omega Hotel Management telah menyediakan Hotel Cordela Kartika Dewi yang accessible, karena lokasinya di jantung kota Yogyakarta. Dari browsing-browsing saya baru tahu dan menyadari bahwa hotel tersebut termasuk hotel Grand Cordela, Cordela Hotel, Cordela Inn, Cordex Hotel, dan Alfa Resort di kota-kota lain merupakan resor persinggahan yang sangat elegan dan eksotis dengan berbagai fasilitas kenyamanan pastinya cocok sekali untuk melepaskan penat dan lelah setelah seharian berkeliling ria mengunjungi obyek-obyek wisata di Yogya dan sekitarnya.

Perjalanan wisata ke Yogyakarta bagi saya nanti bukan sekadar berdarma wisata setelah belasan tahun tak berkunjung ke sana, tetapi lebih dari itu karena saya pernah menetap di kamar kost di bilangan Terban selama tiga tahun (1960-1963) untuk mengikuti sekolah lanjutan. 

Banyak kenangan manis yang sulit terlupakan, utamanya nih... jalan Malioboro yang unik dan eksotis terutama di malam hari, masjid Syuhada sebuah mesjid berlantai dua dan bergaya modern nomor dua setelah mesjid Al-Azhar di Jakarta merupakan obyek wisata religi yang menimbulkan decak kagum dari pengunjungnya waktu itu, namun menjadi hal yang menggelikan jika dilihat dengan kaca mata sekarang, karena dapat disaksikan di mana-mana mesjid-mesjid dibangun jauh lebih megah seperti mesjid Istiqlal dan mesjid Kubah Emas di Depok. 

Itu saja sudah menjadi hiburan hati tersendiri bagi orang yang dikaruniai umur panjang yang masih dapat menyaksikan bermacam fenomena karena pergantian zaman. 

Setiap malam minggu kaum muda yang masih menempuh pendidikan di Yogyakarta waktu itu, baik siswa/siswi maupun mahasiswa/mahasiswi, tak pernah absen keluar dari ruang kost untuk jalan-jalan --benar-benar jalan kaki sepanjang sekitar 3 km --dari tempat kost  menyusuri jalan Sudirman menuju jalan Malioboro. 

Acaranya acara anak muda banget yang berkantong cekak hii..hii.hii..sekadar "cuci mata", keluar masuk toko melihat-lihat pemandangan yang dirasa menarik karena memang tidak bermaksud untuk membeli. Lagi-lagi berbeda kaca mata menyaksikan suatu pemandangan bisa membuat tersenyum tersendiri dalam hati sembari bersyukur tak habis-habisnya. 

Betapa tidak, dari sudut pandang kaca mata tempo doeloe,  jalan Malioboro tampak ramai orang lalu lalang berdesakan di sepanjang lorong atau teras pertokoan yang kelihatan gemerlapan.  Sementara di jalan tampak kendaraan becak, delman dan orang bersepeda hilir mudik menjadi satu. Sedangkan sepeda motor apalagi mobil tampa hanya sekali-sekali lewat. Suasana tersebut pastilah jauh berbeda dengan keadaan jalan Malioboro sekarang.

Di bentangan jalan Malioboro itu pula doeloe terletak sebuah gedung bioskop seingat saya bernama "Indra" termasuk gedung bioskop berkelas, karena mayoritas pengunjung yang akan menonton pertunjukan film termasuk mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berpacaran terdiri dari orang-orang berada. Kesan itu timbul dari penampilan fisik dan dandanan mereka yang memang terkesan mewah dengan semerbaknya bau parfum favorit khas Yogya jenis "beaunamor". 

Padahal bangunan gedungnya sendiri dan kondisi lokasinya lebih mirip atau tepat disebut gudang. Suatu masa bioskop tersebut seringkali memutar film kolosal yang sedang booming, seperti Benhur dengan pemeran utama Charlton Heston dan Cleopatra yang diperankan oleh aktris bintang besar legendaries Elizabeth Taylor dan Richard Burton yang akhirnya menjadi pasangan suami istri itu. Dalam pemutaran yang disebut gala primier itu penononnya membeludak sampai berebut karcis masuk kendatipun harga karcisnya cukup mahal. 

Suatu malam ketika saya berdua teman ingin menonton film di gedung bioskop tersebut secara kebetulan berbarengan dengan dua anak muda seusia, tampaknya mereka juga ingin menonton film. Awalnya mereka melihat-lihat jadwal acara pemutaran film yang terpampang di etalase kaca. Salah seorang sambil berkacak pinggang sepertinya sedang memantas diri agar tampak laiknya orang kota yang sudah berpengalaman. 

Kami hanya saling pandang sambil tersenyum menyaksikan ulah mereka yang tanpa disadari sebenarnya tidak berhasil memoles penampilan "ndeso"-nya. Rupanya pemuda tanggung yang berkacak pinggang itu tidak biasa atau tidak bisa memahami maksud iklan yang terpajang di etalase itu. 

Di bagian atas kaca etalase itu terdapat tulisan "to day" dan "tomorrow" dikiranya judul film. Terbukti pemuda yang berkacak pinggang itu terdengar berkata lirih kepada temannya dalam bahasa Jawa (Gunung Kidul): "Lakone "tomorrow". Mulih ae yuk, kang..!" ("Judul filmya "tomorrow". Pulang  saja yuk, kang..!."). 

Rupanya dia tidak berminat untuk menontonnya. Spontanitas memanggil temannya "kang" itu saja, sudah ketahuan "ndeso"-nya. Memang, satu-satunya hiburan masyarakat Yogya waktu itu hanya menonton film di gedung bioskop. Tapi kalau angan-angan saya dapat terlaksana untuk piknik ke Yogyakarta, saya tidak ingin menonton film di gedung bioskop. 

Karena selain gedung bioskop di jalan Malioboro itu kini mungkin sudah tiada, saya lebih suka beristirahat saja di Hotel Cordela Kartika Dewi karena sudah sejak lama saya memiliki hiburan baru yakni menulis.  Begitulah...sambil meresapi nikmatnya Nginep di Hotel Cordela Kartika Dewi, saya dapat menulis cerita tentang pengalaman berdarmawisata di sana.

Waktu itu lingkungan dalam keraton Yogya atau candi Prambanan tidak menjadi obyek kunjungan dan tontonan yang menarik, selain karena bagi masyarakat Yogya sendiri keraton merupakan hal yang disaksikan sehari-hari, kegiatan wisata juga belum dijadikan komoditas. Tetapi suasana yang tenang, tenteram, dan damai, di siang hari tidak terlalu kendaraan bermotor dan lebih didominasi sepeda tampak berlalu lalang di jalan utama seperti Malioboro dan Sudirman. 

Sementara jalan--jalan lain di sekitar permukiman terasa lebih lengang ditengah mobilitas dan kegiatan masyarakatnya yang kelihatan santai. Karena masih dalam status sekolah, waktu itu pihak sekolah mengadakan semacam studi tour ke candi Borobudur, pabrik gula Madukismo serta pabrik pengecoran besi dan kuningan di Ceper yang letaknya tak begitu jauh dari kota Yogyakarta. 

Saat berkunjung ke candi Borobudur tahun itu disuguhi sejumlah pemandangan yang sungguh luar biasa mengesankan yang  tak bakal djumpai lagi apalagi dewasa ini.  

Sejauh mata memandang menuju area halaman candi Borobudur sepanjang jalan kelas tiga terasa hening sunyi, kiri dan kanan pemandangan sawah, dan setelah tiba di lokasi tampak puncak stupa candi Borobudur menyembul angker di sela-sela pepohonan seperti pohon maja dan pohon kelapa.  

Di seberang agak jauh tempak seorang nenek yang mengenakan kain sebatas dada dan "kutang" (semacam BH) sedang menyapu halaman dengan menggunakan sapu lidi. Mendengar deru  kendaraan mobil bak truk tentara membawa rombongan pengunjung candi, sejenak ia mendongak mengangkat kepala sambil meluruskan badan, matanya memandang ke arah mobil dengan tatapan heran seperti hendak meyakinkan siapa yang datang. 

Dalam hati mungkin ia berkata: "Wong candi Borobudur saja kok ditonton...". Buat dia candi Borobudur memang bukan sesuatu yang mengherankan, karena setiap hari dia menyaksikan, he..hee..he... Di samping itu, kondisi candi Borobudur waktu itu memang terkesan dibiarkan seperti apa adanya, Berdiri kokoh, diam membisu dan terkesan angker di atas sebidang tanah bukit selama berabad-abad. 

Di sana tidak kelihatan petugas penjaga, sehingga pengunjung dengan bebas naik turun tangga, mengamati dan memegang-megang arca dan relief mulai dari lantai bawah hingga puncak stupa, bahkan tak lupa ikut-ikutan merogoh apa kata orang disebut (maaf) "alat kelamin Bima" (apakah nama tersebut ada kaitannya dengan salah satu anggota keluarga Pendawa dalam mitologi wayang, sampai sekarang saya belum pernah mencari tahu dan tak ingin tahu). 

Andai saja angan-angan dan harapan untuk dapat berkunjung ke Yogya untuk menyaksikan perubahan zaman seraya napak tilas dan bernortalgia dapat terwujud, setelah berhasil memenangi kompetisi "Bikin Konten Berhadiah Gratis Staycation" yang disponsori Omega Hotel Management, saya berharap mendapatkan dukungan sponsor tambahan karena hadiah uang sebanyak satu juta rupiah itu pastilah tidak memadai untuk nenbiayai sebuah perjalanan wisata dari Jakarta ke Yogya. 

Mungkin kompensasinya dalam bentuk laporan kesan yang menarik selama Nginep di Hotel Cordela Kartika Dewi yang terletak di jantung kota Yogyakarta itu. Terakhir, satu hal mungkin perlu dicatat nih yee...bahwa trip wisata yang dilakukan para lansia potensial untuk menggandeng dan melibatkan kawula muda dari pihak keluarga, karena selain faktor tidak sampai hati melepaskan lansia sendiri  juga keinginan mereka untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua sembari berlibur. Weleh..weleh, mana tahaa..nn!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun