Simak juga: Politisasi pemahaman dalam Islam
Yang jelas, perpecahan itu dijalani dan dihadapi oleh umat sesudah Nabi saw. Sehingga jumlah perpecahan golongan dalam Hadist tersebut bisa jadi bukan bermakna harfiah dan fix, akan tetapi hanyalah merupakan angka simbolik. Sebagaimana terbukti kemudian, baik bentuk maupun jumlah perpecahan itu bisa berubah dan berbeda pada zaman yang berbeda pula. Namun satu hal yang patut dicatat adalah bahwa terutama selama rentang zaman keemasan disusul keruntuhan imperium Islam hingga akhir abad dua puluh lalu perpecahan yang timbul masih dalam batas kaidah kelimuan dan kajian teologis serta penghormatan terhadap wahyu Alquran. Tetapi setelah memasuki era teknologi informasi dan arus globalisasi yang luar biasa cepat, potensi perpecahan itu kian besar dan kompleks untuk tidak mengatakan brutal di abad 21 ini. Sehingga wajar bila masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat muslim pada khususnya seringkali mengalami kegamangan dalam membaca atau mencermati fenomena tersebut. Bahkan salah-salah mereka dapat terkecoh dan terjerumus mengikuti aliran atau paham yang keliru dan sesat karena kecanggihan dalam mengemas suatu masalah yang berkembang di tengah masyarakat. Oleh karenanya, bagi kaum muslimin yang awam tetapi peduli terhadap makna inti dan pesan visioner dari Hadist tersebut kiranya diperlukan semacam pemetaan yang lebih sederhana mengenai pemikiran dan pemahaman agama (Islam) yang berkembang dewasa ini.
Dari berbagai paham dan pemikiran yang berkembang di dunia Islam dewasa ini khususnya di Indonesia, secara garis besar dapat diidentifkasikan dan dikategorikan menjadi tiga golongan, dengan merujuk sabda Nabi saw tersebut hanya satu golongan yang selamat, yakni:
- Golongan pertama adalah mereka dengan ciri suka mengatasnamakan agama (Islam) untuk kepentingan dan meraih kekuasaan dunia semata.
- Golongan kedua.
- Golongan ketiga ialah mereka yang rendah hati (tawadhu') dan teguh (istiqomah) dalam pendirian dan beragama (Islam), serta meyakini bahwa kehadiran Rasulullah saw tiada lain kecuali (sebagai suri tauladan) untuk menyempurnakan kemuliaan dan keagungan akhlak (manusia) seraya menebarkan perdamaian dan kasih sayang (rahmat) di alam semesta. Dalam hal itu, patut dicatat pendapat Ibnu Miskawaih, seorang ahli filsafat etika yang disebut sebagai Guru Ketiga, setelah Al-Farabi sebagai Guru Kedua, dan Aristoteles sebagai Guru Pertama dalam filsafat etika, mendefinisikan akhlak sebagai suatu peri keadaan jiwa yang mendorong dan mengajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan (spontan) dan diperhitungkan sebelumnya.
      Sedangkan Golongan kedua terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
- Kelompok pertama adalah mereka yang bersikap dan merasa mengetahui segala-galanya bahkan seakan-akan melebihi Tuhan atau menurut terminologi Jawa disebut "ndisiki kersaning Pengeran" (mendahului kehendak Tuhan). Sehingga sepertinya mereka tidak takut kepada Tuhan dan pada gilirannya tak segan-segan untuk melakukan apa saja atau istilah populer 'menghalalkan segala cara' (Machiavelis)untuk meraih tujuan.
- Kelompok kedua adalah mereka yang suka membebek secara membabi buta alias "pak turut" atau dalam bahasa agama disebut "taklid". Â Berdasarkan pengamatan, di Indonesia kelompok kedua ini cukup besar jumlahnya. Disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja, di antara kelompok tersebut dan pimpinan ditengarai terjalin hubungan simbiosis mutualistis.
Pada akhirya harus dipahami bahwa munculnya berbagai aliran dan golongan tersebut disebabkan adanya realitas pemahaman atas sejumlah hal dalam agama Islam yang acapkali berbeda-beda bahkan secara diametral di kalangan umat khususnya ulama sendiri, sekalipun pijakan dan pedoman mereka sama, yakni Alquran dan Hadist.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H