Berikut ini adalah 3 contoh penafsiran ayat Al-Quran berdasarkan keinginan dan kepentingan manusia (seseorang atau kelompok) yang tidak murni dan belum tentu selaras dengan kehendak Tuhan (kira-kira boleh atau benar nggak, ya?):
1. Penafsiran surat Al-Maidah ayat 51 yang tendensius dan menjadi “biang” keributan dan perpecahan bangsa belakangan ini. Motif dan tujuan atau kepentingannya adalah menyingkirkan dan menghapus peluang calon gubernur petahana (AHOK) sebagai sesama warga negara Indonesia untuk bertarung secara jujur dan demokratis dalam Pilkada 2017.
2. Penafsiran surat Al-Ahzab (33) ayat 40 tentang Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir (penutup) yang dipersoalkan oleh golongan yang menamakan dirinya Ahmadiyah, tetapi gaung reaksinya tidak semassif dan seluas kasus dugaan penistaan agama. Padahal masalahnya lebih besar (mendunia), berat dan serius:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Motif, tujuan atau kepentingannya adalah menumpang (nebeng) popularitas nama Nabi Muhammad SAW sekaligus membuka peluang munculnya nabi baru sesudah beliau, yakni Mirza Gulam Ahmad.
3. Kalau tafsir berikut ini, bagaimana menurut Anda?
Berikut ini adalah orang-orang yang bodoh dan merugi (celaka) di mata Tuhan:
a- Orang yang tidak (suka/mau dan mengajak) membaca (meneliti), karena pada dasarnya mereka tidak (suka/mau) mengikuti perintah Tuhan sebagaimana termaktub dalam wahyu pertama turun Al-Quran surat Al-‘Alaq ayat 1:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”.
b- Orang yang tidak (suka/mau) menggunakan akal dan pikirannya, sebagaimana diingatkan dalam berbagai ayat Al-Quran, antara lain surat Al-Baqarah ayat 44 dan Al-An’am ayat 50:
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berakal?”.