Monarki atau kerajaan merupakan sistem dan bentuk pemerintahan tertua di dunia, yang pemimpin atau penguasa tertingginya adalah seorang raja atau ratu. Secara spesifik penjabaran kekuasaan dalam sistem kerajaan atau keraton Jawa digambarkan dalam sebuah adagium “sabdo pandito ratu” yang biasa dilanjutkan dengan kalimat “tan keno wola-wali berbudi bowoleksono” sebagai pedoman perilaku kepemimpinan. Adapun “sabdo pandito ratu tan keno wola-wali” kurang lebih maksudnya adalah bahwa ucapan pendeta (raja. Raja menurut sistem kepercayaan Jawa merupakan perwakilan Tuhan di bumi. Red)) tidak boleh diulang atau diralat.
Sedangkan “berbudi bowoleksono” dapat berarti mempunyai sifat teguh dalam memegang janji alias setia pada janji, atau sebagian mengartikan satunya kata dan perbuatan. Berbeda dengan sistem pemerintahan monarki, dalam era modern sekarang Negara-negara di dunia sekarang banyak menganut sistem demokrasi slogannya yang terkenal “suara rakyat suara Tuhan” . Lagi-lagi secara spesifik Jokowi (sejak sebelum menjadi Preside RI) mengatakan dan mengartikan bahwa demokrasi itu mendengarkan (suara rakyat). Sebuah pemaknaan yang sebenarnya tepat dan bagus sekali jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Pertanyaannya, apakah pedoman tersebut benar-benar dilakukan secara konsisten dan konsekuen? Mari kita simak kenyataan berikut ini. Pada awal-awal Jokowi naik ke tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini menjadi Presiden RI, penjabaran dan pelaksanaan demokrasi tampaknya masih bersesuaian dengan makna an komitmen sebagaimana yang secara spesifik ia maksudkan dan definisikan. Hal tersebut bukanlah hal yang istimewa dan mengherankan, karena sebagaimana dimaklumi bahwa sesuatu yang baru biasanya memang cenderung mengambil sikap hati-hati. Selain itu hingar bingar dan prahara politik --akibat dari akrobat politik “tak siap kalah” dari kubu “KMP”-- yang harus dihadapi pada awal pemerintahannya menuntut sikap kehati-hatian bahkan cenderung penuh kewaspadaan itu harus ditingkatkan.
Sikap itu terbukti misalnya, ketika menghadapi drama paling naïf dan menegangkan pada proses pengajuan nama Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri yang tiba-tiba itetapkan seagai tersangka oleh KPK, ia memilih langkah “wani ngalah luhur wekasane” (ajian ini pula yang diterapkan saat ia menghadapi kasus “papa minta saham” terkait dengan dugaan pencatutan namanya). Di sini seolah-olah ia menerapkan prinsip demokrasiyang didefinisikan sendiri sebagai mendengarkan suara rakyat dalam artian bahwa ia dapat dan mau mengubah keputusan yang telah diambil. Tetapi apakah benar demikian yang terjadi?
Ternyata tidak. Setelah kobaran api dan prahara politik berhasil dipadamkan dan dijinakkan telah membuatnya berada di atas angin dalam papan percaturan politik Indonesia. Hal ini dapat dianalogikan sekaligus mengingatkan Peristiwa Malari ’74 yang oleh sebagian pengamat ditandai sebagai tonggak awal pemerintahan otoriter Presiden RI ke 2 Soeharto.
Demikianlah, melalui jalan memutar akhirnya Komjen Pol Budi Gunawan tetasp diangkat, meskipun pada jabatan lain yakni Kepala BIN. Pada tahap ini menunjukkan bahwa sesungguhnya ia mengambil sikap tidak mau surut dari keputusan yang telah diambilnya. Oleh karena itulah, tak salah kalau ia dikatakan tengah memainkan peran bak seorang raja dengan adagium apa yang disebut sebagai “sabdo pandito ratu gaya baru”.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan konstelasi dan suhu politik sebagaimana dipaparkan tersebut di atas tampaknya telah menggugah selera “sabdo pandito ratu” yang asli tanpa melalui jalan memutar dan berliku lagi jika akhirnya Arcandra jadi dipanggil ke Istana dan kembali diangkat menjadi Menteri ESDM setelah status kewarnegaraan RI dipulihkan. Sementara rakyat menilai masalahnya bukan sebatas urusan teknis mengenai kewarnegaraannya, namun lebih dari itu kasus tersebut rakyat menyayangkan bahkan meragukan ketulusannya dalam mengabdikan dirinya kepada bangsa dan Negara. Hal ini menjadi ujian apakahPresiden Jokowi memilih sikap monarkistis atau demokratis. Kabarnya, dukungan rakyat dan orang di sekitarnya jua sehingga akhirnya menjerumuskan Hitler sebagai seorang pemimpin diktator yang berujung tragis mati bunuh diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H