Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Isin Mundur”, Kepala BPK vs Ahok

15 Juni 2016   21:35 Diperbarui: 15 Juni 2016   21:59 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan KPK untuk menghentikan proses penyeldikan kasus dugaan korupsi atas jual-beli tanah Rumah Sakit Sumber Waras karena alasan tidak ditemukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian Negara secara langsung atau tak langsung merupakan pukulan telak bagai kredibilitas BPK. Selain aspek profesionalitas proses audit khusunya dalam penanganan kasus tersebut, sistem rekrutmen pimpinan  juga banyak menjadi sorotan dan dipertanyakan oleh publik yang  peduli dan mendambakan tegaknya kewibawaan Negara. Jika kemudian publik merasakan dan mencium aroma politik yang dimainkan pucuk pimpinan BPK yang telah membawa lembaga BPK ke dalam situasi dan posisi “maju kena mundur kena” akhirnya juga menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Ironisnya, boleh jadi “kartu” yang dimainkan pimpinan BPK tersebut awalnya merupakan inisiatif pribadi, dalam artian bukan konspirasi --meskipun “sidak” di RSSW yang dilakukan Wakil Ketua DPR dari Partai Gerinda dan PKS dapat menimbulkan spekulasi itu (Peci dan Pejabat)-- sebagai bentuk “balas budi” dan solidaritas kelompok (partai) ketika menyaksikan demikian tajamnya konflik internal yang terjadi di beberapa partai di satu sisi, dan pertarungan kubu “hitam” (KMP/Legislatif) dan kubu “putih” (KIH/Eksekutif) di sisi lain. Namun apa daya “bom molotov” itu sudah terlanjur dilempar sebelum akhirnya ketegangan itu cair dan peta politik berubah total seperti sekarang ini. Sehingga public yang mengikuti perkembangannya mendesaknya untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Sebelum desakan dan imbauan publik tersebut terwujud, pertanyaannya adalah mungkinkah hal tersebut terlaksana? Untuk menjawabnya, paling sedikit dapat dilihat dari dua perspektif.

Pertama, dari perspektif  budaya. Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “isin mundur” atau malu mundur yang biasanya berkonotasi negatif, yaitu ketika seseorang melakukan suatu perbuatan salah atau keliru kemudian diingatkan namun tidak mau mengakui atau tidak mampu menyimak kekeliruan dan kesalahannya karena takut kehilangan muka dan harga diri. Istilah “isin mundur” muncul bukan tiba-tiba tetapi bermula dan tumbuh dari perilaku dan sikap masyarakat yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sehingga menjadi tradisi dan akhirnya membudaya. Di samping sifat buruk tersebut masyarakat Jawa dulu juga mengenal sikap “satria”, sebuah  ajaran tentang nilai hidup dan budi pekerti yang ditularkan melalui kisah-kisah legenda wayang, namun karena kecenderungan sifat manusia yang buruk maka sikap “isin mundur” acapkali menjadi pilihan yang utama.  Dalam lingkup nasional orang Indonesia dulu mengenal peribahasa “Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah”, sebuah ajaran budi pekerti setara dengan sifat satria. Hanya saja, alih-alih bercermin bangkai mundur dan legowo saja engan melakukan..

Kedua, dari perspektif manajemen. Sebuah kalimat nubuat menyebutkan bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin, Berkaitan dengan hal tersebut, menurut pakar organisasi Waren Bennis pemimpin dikategorikan atau dibedakan menjadi dua tipe, yakni leader dan manajer. Dalam penjelasannya, leader dideskripsikan sebagai pribadi yang inovatif, inspiratif dan dalam benaknya senantiasa didorong dan diliputi pertanyaan “apa” (what) dan “mengapa” (why). Sementara manajer lebih bersifat mengelola, bergantung pada kontrol, dan menerima status quo, atau dalam melaksanakan tugasnya dia lebih dibimbing oleh semangat “bagaimana” (how). Dengan demikian

BPK sebagai salah satu lembaga Negara sesuai dengan sifat dan tugas utamanya yang berhubungan dengan masalah serta pengelolaan keuangan pada dasarnya harus ditangani oleh manajer, bukan leader sebagaimana digambarkan Bennis. Lebih-lebih jika mengingat sebuah adagium dalam manajemen keuangan tidak boleh atau tidak mengenal istilah inovasi dan kreasi. Sebab bila hal tersebut dilakukan maka akan terjadilah tidak pidana korupsi dalam segala bentuknya. Dengan demikian, menurut Bennis dari segi kategori dan sifat tugasnya alih-alih dan jauh dari predikat negarawan sesungguhnyalah Kepala BPK bukanlah sosok leader, akan tetapi lebih tepat sebagai manajer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun