Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Amin Rais “Orang Besar” atau ”Merasa Besar”?: Analisis Psikopolitis

8 Mei 2015   20:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut falsafah lama orang Jawa bahwa rasa dalam arti sebagai “perasaan” atau “makna” sama saja dengan hidup atau merupakan hidup itu sendiri. Semua yang hidup memiliki rasa, dan semua yang memiliki rasa hidup. Atau semua yang hidup memiliki makna dan semua yang memiliki makna hidup. “Perasaan” merupakan salah satu indra, seperti melihat, mendengar, dan mencium. Meski dipandang terpisah, termasuk di dalamnya adalah kesedihan, kebahagiaan, firasat, rasa sakit, rasa emosi, begitu pula nafsu. Rasa sebagai “makna” digunakan dalam bentuk lain sepertti surat, lukisan, atau hal-hal yang tersirat, bahkan berkomunikasi. Demikian menurut penuturan Clifford Geertz, seorang anthropolog berkebangsaan Amerika Serikat dalam sebuah penelitian komprehensif yang dilakukan tentang masyarakat Jawa.

Kata bentukan dari akar kata “rasa” yang memiliki arti ganda itu memang luar biasa variatif dan konsisten, hingga nyaris memberikan gambaran analisis fenomenologis yang lengkap pandangan orang Jawa mengenai dunia. Seperti misalnya kata “ngrasakke” yang berarti empat atau “ikut merasakan” pada seseorang atau sesuatu. Di samping kata “krasan”, “kroso”, “ngrasani”. ada juga “rumongso” (“rumongso biso” dan “biso rumongso” adalah sebuah ungkapan sekaligus ajaran yang sempat dipopulerkan oleh Pak Harto) yang artinya “menganggap dirinya”.

Hampir tidak ada rakyat Indonesia yang tidak tahu terutama yang mengalami lahirnya Era Reformasi politisi Amin Rais yang sempat menyandang “nama besar” sebagai lokomotif gerakan reformasi yang berujung lengsernya penguasa lebih dari tiga dekade rezim otoriter Orde Baru, Soeharto. Agaknya “politik lengser-melengser” itu masih berlanjut hingga pelengseran Gus Dur yang ironis dan dramatis itu. Bahkan pasca terpilihnya Jokowidodo sebagai Presiden RI dalam Pilpres yang lalu, bau aroma “politik lengser-melengser” itu masih tercium kencang. Itulah sekadar garis besar catatan yag terpatri di benak rakyat mengenai dirinya. DAlam perjalanannya, karir politik yang dilakoninya hingga mengantarkannya duduk sebagai Ketua MPR agaknya tak cukup mendukung atau berbanding lurus dengan “nama besar” yang disandangnya ketika ia mencalonkan diri sebagai Presiden RI dalam sistem pemilihan langsung ternyata tidak berhasil dimenangkan.

Seperti agak luput dari liputan, terbetik kabar bahwa ia hadir menyusul belakangan dalam Rakernas Partai Amanat Nasional (PAN) yang diselenggarakan baru-baru ini sepertinya menunggu Presiden Jokowidodo meninggalkan tempat yang juga hadir sebagai tamu undangan dapat menimbulkan spekulasi bahwa ia sengaja hendak menghindari pertemuan dengan Jokowidodo karena menyangkut soal “rasa”, kalau tidak (pasti) karena sebab lain. Jika teori spekulasi itu benar, maka di sinilah terjadinya konflik kejiwaan karena terbelenggu oleh “rasa” dan mengalami gejala sindrom, ketika “merasa besar” tak sanggup lagi berhadapan dengan “orang besar” de facto. Itu adalah fenomena kejiwaan khas orang Jawa, tampak sangat jauh berbeda dengan “psikopolitis” Prabowo Subianto yang notabene bukan orang Jawa tulen itu. Jokowidodo yang berasal dari “rakyat jelata” tampaknya memang benar-benar mampu tampil apa adanya, tanpa beban “rasa”. Meski bicaranya tidak setangkas sang orator Bung Karno, namun dengan segala keluguannya konon mampu mencairkan kebekuan dan mendinginkan suhu politik yang terus memanas sepanjang kepemimpinannya yang masih seumur bayi yang bisa tengkutap, kelihatannya rakyat masih bisa menaruh harapan. Namun satu hal yang menggembirakan dan patut diapresiasi adalah sikap PAN di bawah kepemimpinan “saudaraku” bang Zul yang telah menunjukkan semakin dewasanya dalam berpolitik.

1430739185643287274
1430739185643287274



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun