Quo Vadis Indonesia? Itulah judul yang hendak dituangkan untuk tulisan ini, sekiranya bukan karena tidak ingin dianggap sebagai stereotipe. Meski dipandang dari sudut pandang semangat sebenarnya ada juga nilai baiknya, karena bagaimanapun judul tersebut berorientasi ke depan. Namun tulisan ini lebih ingin melacak dan membedah kronologi, psikologi serta orientasi politik ---tidak usah terlalu jauh--- jelang Pilpres beberapa bulan lalu, sekaligus sebagai refleksi atas perkembangan perpolitikan di tanah air yang cenderung tidak sehat ahir-akhir ini, dengan sekali lagi menggunakan pisau bedah falsafah permainan catur (baca tulisan penulis yang sama berjudul: “Koalisi Indonesia Hebat yang Tidak Hebat”).
Jadwal kampanye Pilpres 2014 belum lagi dimulai ketika kemudian tiba-tiba beredar tabloid Obor Rakyat yang menghebohkan itu. Sebelum akhirnya terungkap siapa pelaku sebenarnya, yang jelas calon presiden Jokowilah yang menjadi sasaran utama sekaligus korban dari serangan jahat tabloid itu. Siapapun mengetahui bahwa apa yang dilakukan melalui tabloid tersebut, untuk tidak menyebut kejahatan, adalah kecurangan. Hanya orang yang berjiwa kerdil dan tidak satria saja yang dapat “mencuri” langkah jika dianalogikan denan permainan catur (misalnya menjalankan kuda dengan gerak lurus). Atau lebih parah lagi adalah benar-benar mencuri buah catur dari atas papan catur ketika lawan bermain sedang lengah tanpa beban perasaan bersalah. Pengalaman seperti itu sungguh-sungguh terjadi saat penulis mendapat lawan seorang purnawirawan prajurit TNI dalam sebuah permainan catur. Persoalannya adalah pada saat tabloid Obor Rakyat terus melancarkan kampanye hitamnya, tetapi tokoh besar semacam Amin Rais atau Hidayat Nur Wahid yang notabene orang yang dianggap lebih dari mengetahui mengenai agama (moral dan ahlak) namun sekaligus berada pada posisi berseberangan secara politik dengan Jokwi-JK itu alih-alih menunjukkan posisi penebar akhlakul karimah malah bergeming. Padahal jika ditelaah secara ilmu Hadist diriwayatkan bahwa apabila Nabi Muhammad saw mendiamkan (saja) suatu perbuatan seorang sahabat, maka itu artinya beliau membenarkan atau tidak melarang perbuatan tersebut. Maka analoginya apakah artinya mereka membenarkan perbuatan tak berakhlak itu (semisal kasus tabloid Obor Rakyat)? Mungkinkah para tokoh agama setingkat Amin Rais dan Hidayat Nur Wahid (dan “sebangsanya”) telah berani “menjual” sepotong ayat hanya demi meraih sedikit keuntungan (duniawi)? Sebagai doktor dalam ilmu politik Amin Rais dan kawan-kawan pastinya sangat mumpuni dalam bidangnya. Hanya saja, apakah dia pengikut Machiavelli mahaguru penganjur politik menghalalkan segala, atau Socrates dan Immanuel Kant yang moralis dan idealis, atau Salahuddin Al Ayyubi sang jenderal muslim yang merakyat dan rendah hati pengikut bimbingan Ilahi. Hanya Tuhanlah Yang Maha Mengetahui. Masih segar dalam ingatan bagaimana Poros Tengah yang digagas Amin Rais menobatkan lalu kemudian melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan hanya karena (hasad dan dengki?) bermaksud menjegal kemenangan Megawati Soekarnoputri, adalah merupakan wujud dan bukti nyata sebuah tirani atas kedaulatan rakyat yang telah dipertontonkan, tak jauh berbeda dengan siasat politik yang tengah dilakukan oleh KMP belakangan ini.
Lebih jauh, sebagaimana seringkali dikutip dalam Alquran bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Persoalan muncul ketika terhadap perbuatan pembunuhan itu secara tegas diuraikan dalam hukum qisas, sementara perbuatan fitnah tidak dijelaskan hukumannya, sehingga oleh karena itukah lalu orang tidak takut mengobral fitnah? Hal yang sama terjadi pada perbuatan bergunjing, yang dalam Alquran dikecam sebagai memakan daging saudaranya sendiri, Tetapi apakah karena tidak disebutkan hukumannya pula maka membuat banyak orang masih saja melakukannya? Atas dasar pemikiran tersebut, pantaslah bila para wakil rakyat kubu KMP di DPR semata-mata melalui pendekatan legal-formal dengan bangga dan pongah (diduga sebagai buntut dari kekecewaan atas kekalahan di ajang Pilpres) menggulirkan UU MD3 yang kontroversial itu. Sebab sebagaimana lazim berlaku dalam sebuah permainan, etikanya peraturan itu dibuat sebelum permainan dimulai. Mengharapkan mereka untuk menjunjung tinggi etika (di atas hukum) sebagaimana diharapkan KIH akan seperti menggantang asap. Jika kelakuan sebagian elit politik di DPR kerapkali disebut sebagai anak-anak bisa jadi ada benarnya. Parodi itu mengingatkan pengalaman masa kecil di kampung. Di antara kawan sebaya ada seorang teman berperawakan paling besar, namun dalam banyak permainan, misal saja bulu tangkis, dia lebih sering kalah dari pada menang. Merasa penasaran atas kekalahannya, biasanya dia akan mengajak bertanding ulang namun dengan mengusulkan aturan main baru. Jika teknik permainan itu secara mendasar misalya, terdiri dari “lop atau relay”, “smash” dan “ netting”, maka kali ini kawan kita akan meminta atau mengajak bermain “tanpa smash”, demikian berganti-ganti, meski hasilnya lagi-lagi akan kalah juga (siapa yang lebih beretika, kawan yang bertubuh tegap ini atau para anggota DPR yang terhormat?). Ironisnya, kawan-kawannya seperti tunduk dan mengikuti saja apa maunya. Mungkin karena takut dengan tubuhnya yang besar atau justru karena yakin akan dapat mengalahkannya dalam pertandingan.Kepiawaian (atau kelicikan?) para ahli politik pendukung KMP itu berbanding terbalik dengan kubu Jokowi-Jk yang minim atau kurang didukung tenaga ahli strategi dan siasat (politik), sehingga wajar bila seringkali mereka dipecundangi. Satu hal yang tak kalah penting adalah kelambanan atau kekurang fasihan Jokowi dalam mengartikulasikan hal hingga pada tingkat yang paling sederhana sekalipun misalnya, seakan menjadi hambatan tersendiri bagi kewibawaan seorang pemimpin. Hal ini dapat dibandingkan misalnya, pada awal-awal pemerintahan presiden Soeharto yang banyak mendapat cemooh gara-gara setiap penyampaian pidato resminya sangat bergantung pada teks tertulis dan kemampuannya berbahasa Inggris yang lemah. Keberadaan tokoh-tokoh semacam dan setingkat Amin Rais yang semula diharapkan dapat menjadi negarawan dan guru bangsa, namun ketika pada kenyataannya mereka tak lebih hanya “nimbrung” ikut menikmati wisata perjalanan gerbong “bancakan politik oligarki” yang berujung pada umpatan dan caci maki, memang sungguh disayangkan dan disesalkan. Kini lebih dari seratus juta rakyat Indonesia, baik pendukung KMP maupun KIH, tinggal sama-sama “gigit jari” karena hak politik dan kedaulatan mereka ---yang dikatakan belum memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan (hidupnya)--- telah direnggut bahkan dirampas oleh tak lebih dari tiga ratus orang di Senayan itu. Apa yang dapat dilakukan rakyat pemilik daulat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H