Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PETRUK JADI RAJA

29 Oktober 2014   17:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:17 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, ketika seni pewayangan masih diminati bahkan menjadi bagian yang penting dan dominan dari kebudayaan masyarakat Jawa, tampaknya tidak banyak dari mereka yang mengetahui atau menyadari bahwa mitologi itu berasal dari negeri India. Mungkin karena pengaruh globalisasi dalam beberapa dekade terakhir ini pagelaran wayang tak lagi diminati atau malah nyaris dilupakan orang. Dalam waktu belakangan ini tiba-tiba masyarakat kembali menaruh perhatian pada seni wayang ketika sebuah stasiun televisi swasta menayangkan serial kisah Mahabarata. Diriwayatkan, pada awal masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara khususnya di tanah Jawa semasa Wali Songo, kisah Mahabarata yang merupakan induk cerita seni pewayangan sempat mengalami sedikit modifikasi atau gubahan, konon untuk kepentingan dakwah. Satu fragmen yang tersohor hasil karya Sunan Kalijogo, salah seorang wali dari Wali Songo yang fenomenal dan kontroversial, adalah sebuah kisah berjudul “Petruk Dadi Ratu”, yang dalam dunia pewayangan lazim dikenal sebagai “lakon carangan”. Tak dapat dipungkiri bahwa kisah Mahabarata karya pujangga besar Walmiki itu bukanlah sekadar episode drama biasa, tetapi adalah sebuah hasil karya seni luar biasa yang sarat dengan makna dan pelajaran yang dalam tentang watak atau karakter manusia secara utuh dan lengkap berlaku untuk segala tempat dan zaman seperti benar-enar terjadi dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, lakon “Petruk Dadi Ratu” (Petruk Jadi Raja) secara analogis dan simbolis jika dicermati ada juga kemiripannya dengan kisah perjalanan karir politik seorang Joko Widodo, yang kini menjadi presiden Republik Indonesia ketujuh.

Petruk adalah salah seorang “punokawan” (pembantu rumah tangga sekaligus penghibur karena kejenakaannya) yang dengan setia mengabdi pada keluarga Pendowo dari kerajaan Amartapura.

Dalam judul karya satire tersebut Petruk disebutkan sebagai ratu, bukan raja. Karena dalam terminologi masyarakat Jawa, ratu berkonotasi lembut, mengayomi. Sedangkan raja lebih lekat konotasinya dengan kekuatan, menguasai. Mungkin itu pula sebabnya muncul atau dipakai istilah “ratu adil” untuk menggambarkan hadirnya sosok pemimpin yang dirindukan dalam masyarakat tempo dulu ketika mengalami ketidakberdayaan dan putus asa. Dalam tatanan masyarakat yang feodalistis, lebih-lebih karena pengaruh ajaran agama Hindu yang membagi masyarakat secara berkelas-kelas terdiri dari kelas rendah hingga kelas bangsawan, hampir tidak mungkin terjadi mobilitas sosial. Meskipun demikian jika kemudian ada orang yang berasal dari masyarakat kelas bawah berhasil secara ekonomi menyamai atau bisa jadi melebihi posisi para bangsawan, namun tingkah laku tidak dapat meninggalkan dan menanggalkan dan budaya asal usulnya atau dengan kata lain tidak dapat atau mau mengikuti budaya kaum bangsawan, maka ia akan dibilang sebagai “kere munggah bale” (gembel kemaruk).

Dikisahkan bahwa para pemimpin kerajaan Amartapura sepertinya tengah terlena dan melupakan kewajibannya untuk senantiasa mengayomi rakyatnya. Berbagai keluhan dan pengaduan bahkan peringatan telah disampaikan kepada para pemimpin agar mereka memperhatikan (kembali) nasib para “kawulo cilik” (rakyat jelata) yang hidupnya kini tengah menderita, tetapi tampaknya mereka tidak menggubris. Sehingga akhirnya hati Petruk tergerak untuk sedikit memberikan “pelajaran” kepada sang bendoro (majikan) atau sang pemimpin, dalam hal ini adalah keluarga Pendawa, dengan cara mengambil alih kekuasaan. Dikisahkan bahwa legitimasi kekuasaan keluarga Pendawa atas kerajaan Amartapura itu dapat berdiri tegak karena berpijak dan berpegang pada sebuah azimat yang disebut “Jamus Kalimosodo”, sebuah plesetan dari kata “kalimat syahadat”, yaitu sebuah kalimat kunci bagi seseorang untuk memeluk atau masuk agama Islam. Azimat Jamus Kalimosodo itu berbentuk semacam secarik kertas disimpan baik-baik dan berada di tangan peghulu keluarga Pendawa bernama Yudhistira, konon memiliki kessaktian luar biasa. Apabila azimat itu dilayangkan di atas kepala seseorang, maka seketika itu juga orang tersebut tubuhnya jatuh terkulai tak berdaya. Barangkali kesaktian azimat Jamus Kalimosod itu dapat dianalogikan dengan suara rakyat dalam alam demokrasi, sehingga penggagas demokrasi asal Prancis mengabadikannya dalam slogannya yang termayhur “suara rakyat suara tuhan”. Sehingga dalam iklim demokrasi seperti sekarang, fenomena yang mirip dengan lakon carangan dalam kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu” itu  juga bisa saja dijumpai.  Bedanya, jika para politisi dan penguasa jenis “kere munggah bale” zaman sekarang ini suka mengkhianati mandat rakyat dengan mencuri suara dan azimat rakyat ---bandingkan pula dengan fenomena Surat Perintah Sebelas Maret (“Supersemar”) pada masa peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru---, maka Petruk mencuri mandate hanya bermaksud untuk mengingatkan kepada para “bendoro” (majikan) mereka agar memperhatikan (kembali) nasib para “kawulo cilik” (rakyat jelata) dan tidak sungguh-sungguh bermaksud mengambil alih kedudukan dan kekuasaan itu untuk kepentingan diri sendiri dan atau keluarga atau kelompok buat selamanya.

Mirip dengan presiden Jokowi, ketika Petruk sudah berhasil mencuri Jamus Kalimosodo dan menguasai kerajaan Amartapura, maka keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Secara berkelakar ia ingin member “pelajaran” pada bendoro atau majikannya itu dengan cara “mendesakralisasi” istana dan memutarbalikkan kemapanan. Para mantan majikannya yang sudah tak berkuasa dan berdaya itu disuruh duduk bersimpuh di lantai menanti perintah sang raja baru, sementara dia sendiri dengan lagak pongah yang dibuat-buat duduk berkacak pinggul seperti layaknya orang mabuk kemenangan. Ketika Bima yang berperawakan tinggi besar, berwatak pendiam dengan wajah angker, serius dan hampir tak pernah menebarkan senyum apalagi tertawa itu, sejenak berdiri seperti tak terima dengan perlakuan demikian. Maka Petruk pun melayangkan azimat Jamus Kalimosodo yang ada dalam genggamannya di atas kepala Bima. Seketika itu pula tubuh Bima lemas terkulai lalu jatuh tersungkur. Mungkin masih belum percaya dengan apa yang terjadi, ia mencoca bangkit kembali menantang Petruk, tetapi kali ini Petruk menanggapinya dengan mengitik-ngitik bagian perut sang Bima. Keruan saja Bima belingsatan perasaan geli bercampur malu karena harus menahan tawa  yang seumur hidup tak pernah dilakoninya.

Sosok2 seperti Fachri Hamzah, Fadhli Zon, Tontowi Yahya dalam cerita wayang diwakili siapa yaaa..??

14146371641825798939
14146371641825798939

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun