Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tafsir VS Akal Akalan Atas Hukum

1 November 2014   21:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:55 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14148264021157590393

Tarik ulur pengesahan Plt Gubernur Ahok menjadi Gubernur definitif DKI Jakarta yang berkedok hukum dan perundang-undangan atau peraturan yang berlaku, tak dapat ditutup-tutupi, hanyalah merupakan praktik politik balas dendam yang dengan penuh geram dan tanpa perasaan risi serta malu-malu dipertontonkan oleh M.Taufik, mewakili DPRD DKI dari Partai Gerinda, yan ujung-ujungnya sangat merugikan kepentingan rakyat banyak. Betapa tidak. Dalam satu acara perbincangan yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun televisi swasta pada hari Jumat 31 Oktober 2014 baru-baru ini ia mengemukakan argumennya bahwa “siapapun mempunyai hak untuk menfasirkan hukum ataupun peraturan dan undang-undang”. Oleh karenanya, terkait dengan permintaan (perintah) dari pemerintah pusat kepada DPRD DKI untuk mengumumkan pengesahan status baru jabatan Ahok diulur-ulur (ditunda-tunda) dengan alasan DPRD DKI sedang meminta fatwa hukum terlebih dahulu ke Mahkamah Agung (MA).

Kata kunci yang dikemukakan sekaligus menjadi pertanyaan adalah sebuah adagium “siapapun berhak untuk menafsirkan hukum” ketika hukum atau peraturan harus diterapkan atau hendak dilaksanakan? Langkah hukum yang diambil DPRD DKI, jika benar mendasarkan diri pada logika hukum di atas, selain sesat dan menyesatkan alias tidak mendidik, juga dapat berimplikasi luas bahkan mengacaukan sistem dan proses penegakan hukum di negeri ini. Dapat dibayangkan apa jadinya, ketika seseorang pengendara mobil melakukan pelanggaran karena memasuki kawasan “three in one”  dengan jumlah penumpang kurang dari tiga orang menolak untuk ditilang karena memiliki penafsiran yang berbeda tentang peraturan “three in one”. Lain tafsir lain pula akal-akalan atas hukum. Untuk kasus yang dikemukakan di atas, kalaupun ada, hampir dapat dipastikan pihak kepolisian tidak akan “menggubris” argumen dari si pelanggar karena merasa berhak atas “tafir hukum”. Tetapi untuk kasus yang berikut ini benar-benar terjadi bahkan secara terbuka dan terang-terangan dilakukan ketika secara beramai-ramai joki mengakali hukum posistif atau peraturan untuk sekadar pengendara mobil dapat lolos dan menembus wilayah “three in one”.

Aksi akal-akalan atau mengakali hukum ini dapat pula terjadi di bidang agama yang lebih berbasis pada kesadaran moral dan keyakinan pribadi. Dalam suatu komunitas umat muslim di sebuah perdesaan pernah mencoba menafsirkan ---atau mungkin lebih tepat mengakali--- pelaksanaan zakat fitrah menjelang Hari Raya Iedul Fitri. Sebagaimana diketahui bahwa mengeluarrkan zakat fitrah merupakan kewajiban setiap muslim setelah usai melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Untuk itu, jamaah muslim berkumpul dan duduk berjajar , sebagaimana umumnya, membentuk lingkaran dipimpin oleh imam di sebuah surau, dalam rangka untuk menunaikan kewajiban zakat fitrah. Di hadapan sang imam telah disiapkan sebuah tenggok berisi sejumlah beras sesuai dengan syarat bagi satu orang untuk menunaikan kewajibab zakat fitrahnya. Begitu acara dimulai, sang imam menyerahkan tenggok berisi beras tersebut kepada orang yang duduk di sebelah kanannya, diiringi kalimat pengantar yang menyatakan niatnya untuk menunaikan zakat fitrah. Setelah orang di sebelah kanannya itu menerima tenggok dari tangan sang iman, maka disusul kemudian ia pun melakukan hal yang sama kepada orang yang duduk di sebelah kanannya. Demikian secara berganti-gantian mereka melakukan “ritual” zaat fitrah hingga akhirnya tenggok tersebut “jalan-jalan berputar” kembali ke tangan sang imam. Dengan cara tersebut mereka merasa telah melaksanakan kewajiban zakat fitrah, skendati realitasnya beras yang dikeluarkan hanyalah satu tenggok berisi tiga setengah liter beras untuk menggugurkan kewajiban zakat fitrah sekian banyak orang. Sebagai landasan tatanan sosial dalam berbangsa dan bernegara kerapkali diingatkan perlunya spirit dan prissip “hukum sebagai panglima”. Namun jika pendekatannya melulu legaslistik-formalistik tanpa naungan dan bimbingan etik-moral, maka tujuan hukum tak akan terwujud. Perbedaan tafsir pemahaman yang paling besar dalam khazanah perkembangan agama Islam adalah mengenai posisi dan status Muhammad saw sebagai nabi terakhir, yang kemudian memunculkan aliran paham Ahamdiyah.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun