Mohon tunggu...
D A I N
D A I N Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang hobi membaca, menulis, dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Pertama-Ku

29 April 2024   23:46 Diperbarui: 29 April 2024   23:52 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elise sekali lagi mematut dirinya di depan cermin, untuk kesekian kalinya ia memastikan tidak ada yang salah dengan riasannya mengingat ini adalah pertama kalinya bagi Elise merias wajahnya sedemikian rupa. Jantungnya terus berdebar karena menanti pertemuan dengan sang pujaan hati yang telah ia rencanakan malam sebelumnya. 

Membayangkan tatapan lembut dan senyum menawan pria yang ia temui di perpustakaan ketika melihat hasil dari jerih payahnya untuk tampil sempurna hari ini membuat bibir tipis berkilaunya tersungging sepanjang pagi ini. Pipinya yang dipoles dengan warna merah muda yang lembut semakin merona ketika ia mengingat kembali saat ia tidak sengaja menabrak seorang pria, yang beberapa bulan terakhir ini selalu memenuhi pikirannya, di lorong rak buku karena ia membawa sejumlah tumpukan buku di tangannya. 

Pandangannya yang terhalang tumpukan buku itu membuat Elise tidak melihat pria itu yang sedang asyik membaca sebuah buku berdiri di depannya dan...BRUK!!! Buku-buku Elise pun berjatuhan dan sesaat menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka.

"Aduh! maaf, aku nggak lihat." Ucap Elise perlahan sambil cepat-cepat merapikan buku-bukunya.

"Nggak apa-apa, kok. Sini biar aku bantu." Balas pria itu sambil membantu Elise. Saat hendak mengambil buku terakhir tiba-tiba tangan pria itu tak sengaja menyentuh tangan Elise, membuatnya menengadah dan memandang wajah pria tersebut. Elise seketika terdiam saat mata mereka saling bertemu.

Ganteng banget. Eh, perasaan apa ya ini? Kok, aku deg-degan? Seolah tersihir oleh tatapan pria itu Elise tidak menyadari bahwa wajahnya memerah karena tersipu malu.

"Hey, kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan pria itu menyadarkan Elise dari lamunannya. Elise segera menarik tangannya dan segera berdiri membawa tumpukan bukunya, mengucapkan terima kasih, kemudian bergegas berjalan meninggalkan pria itu menuju meja perpustakaan.

Elise mulai membuka buku pertamanya saat seseorang duduk di sebelahnya.

"Ketinggalan satu bukunya." Elise terkejut ketika orang itu tiba-tiba menyodorkan sebuah buku padanya, namun ia berhasil menutupinya. Ternyata orang tersebut adalah pria yang tadi.

"M-makasih." Sekali lagi Elise dibuat tersipu oleh pria itu.

"Sama-sama. Lain kali kalau bawa buku hati-hati, ya. BTW, kenalin, aku Jo." Saat itulah Elise mengetahui nama pria yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Sejak saat itu mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk menonton film terbaru di bioskop, berkeliling untuk mencari tempat makan dengan menu yang enak, menikmati malam minggu di taman kota, atau hanya ngobrol berjam-jam di kafe. Elise merasa ia memiliki banyak kesamaan dengan Jo, membuatnya berpikir barangkali mereka bisa menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman.

Sebagai sentuhan terakhir Elise menyemprotkan parfum yang disukai Jo, yang membuatnya memuji Elise karena ia merasa nyaman saat mencium wanginya, di beberapa bagian tubuhnya. Setelah semuanya beres Elise bergegas menuju sebuah kafe tempat mereka biasa bertemu yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggal Elise. 

Sepanjang perjalanan Elise tak bisa berhenti memikirkan bagaimana reaksi Jo ketika melihat penampilannya yang amat berbeda dari biasanya. Sapuan riasan tipis di wajahnya yang membuatnya tetap terlihat natural, dress hijau keabu-abuan selutut berlengan pendek karena Jo pernah bilang bahwa Elise akan terlihat makin cantik jika mengenakannya, flat shoes berwarna putih gading, dan rambut cokelat panjangnya yang pernah dipuji Jo karena warna dan gelombangnya yang indah digerai dan ditata sedemikian rupa. 

Jo pasti menyukainya, pikir Elise, dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk menyatakan perasaannya kepada Jo. Ia tak perlu khawatir Jo akan menolaknya.

"Sekedar saran ya, El. Jangan terlalu berharap Jo bakal suka sama kamu. Kamu tahu sendiri, kan, banyak cewek yang suka sama dia. Dia juga orangnya humble ke semua orang. Jadi, sebagai teman, aku nggak mau kamu sakit hati gara-gara cowok." Ucapan dari seorang teman dekat Elise tiba-tiba terlintas di benaknya. Namun, ia tak menghiraukan saran temannya itu dan tetap yakin bahwa ia dan Jo akan menjadi pasangan kekasih tidak lama lagi.

Sesampainya di kafe Elise langsung memesan segelas Americano dingin dan duduk di sebuah meja yang terletak di sudut ruangan. Nuansa hijau mint dan merah muda yang lembut ruangan itu sangat cocok dengan penampilan Elise hari ini. Ia menunggu kedatangan Jo sambil menikmati pemandangan di luar yang cerah melalui jendela besar kafe tersebut. 

Tak lama kemudian minumannya sampai di meja, disusul kedatangan sosok yang ia tunggu-tunggu. Seketika ia tersenyum lebar dan ingin menyapa Jo dari mejanya, namun ia urungkan niatnya itu ketika ia melihat seorang wanita yang mengekor di belakang Jo yang berjalan menghampirinya.

"Hai, El. Udah nunggu lama, ya?" tanya Jo sambil menarik kursi di depan Elise dan mempersilahkan wanita yang datang bersamanya itu duduk. Sedangkan Jo mengambil kursi dari meja kosong lain yang ada di dekat mereka.

Melihat yang dilakukan Jo terhadap wanita itu membuatnya bingung, entah kenapa ia merasa tiba-tiba dadanya sakit. "Hai, Jo. Nggak kok. Aku barusan nyampe. I-ini..."

"Oh, iya. Kenalin dia pacar aku, Freya."

Wanita itu tersenyum dan menyodorkan tangannya keoada Elise.

Seketika dunia Elise terasa runtuh. Ia tertegun mendengar pernyataan Jo bahwa wanita itu adalah kekasihnya. Pacar? Sejak kapan Jo suka sama dia? Apakah sebelum bertemu denganku? Apakah berarti selama ini yang aku rasakan hanya imajinasiku saja? Tapi, kenapa dia nggak pernah cerita sama sekali? Pikir Elise.

Elise menyambut tangan Freya ragu-ragu. "W-wow...selamat ya. K-kapan kalian jadian? Kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku soal dia?" Elise memaksakan senyumnya demi menutupi keterkejutannya.

"Maaf, ya, aku nggak pernah cerita ke kamu karena waktu itu aku masih nggak yakin soal perasaanku ke Freya. Sebenernya aku udah lama suka sama Freya. Tapi, karena aku masih belum yakin soal perasaanku itu maka selama beberapa bulan terakhir ini aku berusaha buat ngeyakinin diriku yang aku rasain ke Freya ini beneran atau nggak. Setelah aku yakin, akhirnya aku bikin keputusan buat nyatain perasaanku ke Freya semalam." 

Di akhir kalimatnya Jo menatap Freya dengan tatapan dan senyum lembut penuh kasih dan menggenggam tangan Freya. "BTW, makasih, ya, El, selama ini mau nemenin aku tiap aku butuh kamu. Kalau nggak ada kamu aku nggak bakal tahu gimana caranya bahagiain pasangan."

Elise tercekat mendengarnya. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi-jadi. Matanya mulai terasa panas, namun ia berusaha untuk menahannya agar air matanya tak jatuh saat sedang berada di depan mereka. Ia mengepalkan tangannya sekuat mungkin untuk meredam amarahnya. Ia benar-benar tidak pernah menyangka bahwa selama ini Jo hanya akan memanfaatkannya demi wanita lain. 

Semua perhatian dan pujian Jo untuknya hanya semata karena Jo menghargai usahanya, bukan karena ia tertarik padanya. Ia ingin segera pulang dan mengutuki dirinya sendiri karena terlalu berharap bahwa Jo akan menyukainya. Nyatanya bahkan saat ini Jo tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap Elise. Ia tidak bisa berlama-lama lagi di sini, ia tidak bisa lagi menahan amarah saat melihat pasangan baru itu.

Elise bangkit dari kursinya dan berbohong pada mereka bahwa ibunya sedang membutuhkan bantuannya di rumah. Jo terlihat sedikit kecewa dengan kepergian Elise, namun ia tidak berusaha untuk menahannya. Sesaat setelah Elise keluar dari kafe itu Jo kembali bermesraan dengan Freya.

Sepanjang perjalanan pulang Elise menggigit bibir dalamnya hanya demi agar air matanya tak jatuh di depan banyak orang, namun usahanya gagal karena semakin ia berusaha untuk menahan semakin deras air matanya membanjiri pipinya. Dan sepanjang perjalanan pula ia terus mengutuki dirinya sendiri karena kebodohannya yang mengabaikan nasehat teman dekatnya itu.

"Dasar bodoh!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun