Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan visi "Indonesia Emas" 2045. Salah satu tantangan utama adalah sulitnya menciptakan lapangan kerja yang memadai, terutama bagi generasi muda, meskipun perekonomian tumbuh dengan stabil diatas angka 5% namun Ketimpangan dalam kesempatan kerja serta ancaman kemiskinan yang mengintai kelas menengah memperkuat kekhawatiran ini. Melihat kondisi tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Indonesia akan mencapai masa keemasan atau justru tergelincir dalam situasi yang mencemaskan?
Generasi Z dan Pasar Tenaga Kerja yang Tidak Seimbang
Generasi Z Indonesia yang seharusnya menjadi aktor utama dalam masa depan perekonomian, harus menghadapi ketidakpastian yang semakin besar khususnya dipasar kerja. Alih-alih menemukan peluang untuk berkembang, mereka malah terjebak dalam peningkatan angka pengangguran. Data dari BPS menunjukan jumlah pencari kerja di Indonesia sebanyak 1.819.830 dengan proporsi jumlah lowongan kerja yang ada sebanyak 216.972.
Dengan demikian, terjadi ketimpangan yang signifikan antara jumlah pencari kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Artinya hanya sebagian kecil dari pencari kerja yang dapat tertampung dalam lapangan kerja yang ada, sementara sebagian besar lainnya harus menghadapi kenyataan pahit menjadi pengangguran atau terjebak dalam pekerjaan informal yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka. Ketidakseimbangan ini tidak hanya mencerminkan krisis dalam penciptaan lapangan kerja, tetapi juga memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara kebutuhan pasar dan kompetensi tenaga kerja yang ada.
Deindustrialisasi Prematur di Indonesia
Disamping itu, Premature deindustrialization sedang terjadi di Indonesia. Deindustrialisasi prematur merupakan fenomena di mana negara-negara berkembang mengalami penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap lapangan kerja dan output ekonomi sebelum mencapai tahap kematangan industri yang biasanya dialami oleh negara-negara maju. Fenomena ini telah diamati secara global, terutama di wilayah-wilayah seperti Amerika Latin dan Afrika, di mana negara-negara tersebut terjebak dalam proses deindustrialisasi terlalu dini, hal tersebut merupakan dampak dari globalisasi dan pergeseran ekonomi menuju sektor jasa (Kuwamori, 2024; Taguchi & Kosegawa, 2023). Salah satu mekanisme utama di balik deindustrialisasi prematur adalah globalisasi, di mana meningkatnya keterbukaan perdagangan dapat menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara berkembang yang tidak memiliki hubungan kuat dalam rantai nilai global (zelik & zmen, 2023).Â
Selain itu, kelimpahan sumber daya alam di negara-negara berkembang juga dapat menghambat pertumbuhan industri melalui fenomena yang dikenal sebagai penyakit Belanda (Taguchi & Kosegawa, 2023). Dampak dari deindustrialisasi prematur ini terlihat jelas pada ketimpangan pendapatan, di mana pergeseran tenaga kerja dari sektor manufaktur ke sektor jasa non-pasar dapat memperburuk kesenjangan ekonomi (Ravindran & Babu, 2023). Di sisi lain, jika tenaga kerja beralih ke sektor layanan bisnis, dampak deindustrialisasi terhadap ketimpangan mungkin dapat diminimalkan (Ravindran & Babu, 2023). Meski tantangan ini nyata, beberapa ahli berpendapat bahwa kebijakan industri yang proaktif serta partisipasi aktif dalam rantai nilai global dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif deindustrialisasi prematur (zelik & zmen, 2023).
Deindustrialisasi di Indonesia mengacu pada penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebelum negara ini mencapai tingkat pendapatan tinggi. Fenomena ini mulai terlihat sejak awal 2000-an, ketika kontribusi sektor manufaktur terus menurun dari 22,04% pada tahun 2010 menjadi sekitar 20,395% pada tahun 2022.
Grafik diatas menunjukan tren penurunan sektor manufaktur di Indonesia sejak 2010-2023. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa sektor manufaktur, yang sebelumnya menjadi pilar pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja formal berkualitas, semakin kehilangan perannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Deindustrialisasi di Indonesia dianggap prematur karena terjadi sebelum negara ini berhasil mencapai status sebagai negara berpendapatan tinggi, berbeda dengan negara-negara seperti Korea Selatan dan China yang berhasil melalui proses industrialisasi dengan matang.
Korea Selatan dan China mencontohkan keberhasilan industrialisasi melalui kebijakan strategis dan transformasi struktural. Kedua negara beralih dari ekonomi agraria menjadi pusat industri dengan menerapkan kebijakan industri yang ditargetkan, mendorong inovasi, dan meningkatkan daya saing global. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang pesat ditandai dengan pergeseran dari industri upah rendah ke sektor teknologi tinggi. Hal ini didorong oleh strategi berorientasi ekspor dan dukungan negara untuk perusahaan lokal, yang memungkinkan ekspor Korea Selatan melonjak dari 122 juta pada tahun 1960 menjadi 703 miliar pada tahun 2013, dengan manufaktur menyumbang lebih dari 80% dari total ekspor (Lee et al., 2019). Peningkatan fokus pada produk bernilai tinggi dan berteknologi maju menjadi sangat penting dalam memperkuat ekonomi Korea Selatan (Lee et al., 2019).