Mohon tunggu...
DNA HIPOTESA
DNA HIPOTESA Mohon Tunggu... Mahasiswa - IPB University

Discussion and Analysis merupakan sebuah divisi di Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) yang berada di bawah naungan Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University. Divisi DNA berfokus dalam mengkaji isu-isu perekonomian terkini baik Indonesia maupun global. As written in the name, we are here to produce valuable analysis of the economy, while building a home for healthy economic discussions. All of this is aimed to build critical thinking which is paramount in building a brighter future for our economy.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Deflasi Berkelanjutan di Indonesia: Fenomena Ekonomi atau Tanda Krisis?

15 Oktober 2024   20:50 Diperbarui: 15 Oktober 2024   21:08 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia mencatat fenomena deflasi yang berlangsung berturut-turut selama lima bulan, Mei hingga September 2024. Hal ini menciptakan kekhawatiran serius di kalangan pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat deflasi month-to-month (m-to-m) pada September 2024 mencapai 0,12 persen. Tren ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi terulangnya pelemahan ekonomi serupa yang terjadi pada tahun 1999, saat Indonesia masih merasakan dampak krisis moneter.

Deflasi terjadi akibat adanya penurunan harga pada sejumlah komoditas kunci pada periode waktu tertentu. Beberapa di antaranya, seperti cabai merah, daging ayam ras, telur ayam ras, tomat, ikan segar, bensin, dan telepon seluler, menjadi faktor utama yang menyumbang deflasi secara year-on-year (y-on-y). Sedangkan periode month to month (m-to-m) September 2024, komoditas seperti cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang, wortel, dan bensin memainkan peran penting dalam tren penurunan harga.

sumber :  BPS, diolah (2024)
sumber :  BPS, diolah (2024)

Deflasi bagaikan pisau bermata dua, konsumen merasa senang akibat harga yang semakin turun, tetapi di sisi lain deflasi dapat menjadi ancaman bagi perekonomian. Penurunan harga akan membawa dampak besar pada produsen, seperti petani akibat pendapatannya akan berkurang secara drastis. Adanya penurunan harga juga akan memberikan efek domino, yakni penurunan pada harga komoditas lain. Penurunan harga secara berkelanjutan akan mengakibatkan investasi turun sehingga lapangan kerja akan berkurang dan akhirnya mengakibatkan daya beli masyarakat akan melemah. Oleh karena itu, deflasi berkelanjutan merupakan kondisi yang perlu ditangani dengan tepat oleh pemerintah. 

Selain Indonesia, terdapat negara lain yang pernah mengalami deflasi secara berkepanjangan yaitu Jepang. Pada tahun 1990-an, Jepang mengalami masa perekonomian terpuruk sehingga mengalami deflasi berkepanjangan. Namun, dengan adanya  kebijakan-kebijakan yang tepat, Jepang telah berhasil mengembalikan kondisi perekonomiannya menjadi lebih baik. Hal ini tentunya dapat dijadikan contoh bagi pemerintah Indonesia dalam menentukan kebijakan dalam menghadapi deflasi berkelanjutan dengan tepat.  

Fenomena deflasi bukan sekadar soal turunnya harga barang dan jasa. Dampak negatifnya dapat dirasakan secara luas, terutama pada sektor produksi dan konsumsi. Deflasi yang berkepanjangan dapat mengindikasikan lemahnya permintaan agregat, yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Produsen dapat terpukul oleh penurunan keuntungan, sementara investasi dan lapangan kerja berisiko berkurang, menciptakan tekanan yang lebih besar pada stabilitas ekonomi nasional.

Respon Pemerintah

Pada sisi pemerintah saat ini menganggap bahwa deflasi bukan ancaman melainkan respon dari adanya pengendalian inflasi yang terjadi. Pada tahun 2024 pemerintah menargetkan inflasi sebesar 1,5% sampai dengan 3,5% atau 2,5% plus minus 1%.Pada hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada April 2024 menghasilkan keputusan menaikkan BI-Rate sebesar 6,25%. Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,51% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan kebijakan moneter yang pro-stability. 

Saat ini penyumbang dominan dalam deflasi yaitu komoditas utama atau volatile food dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah menyoroti penurunan harga terjadi dari sentra produksi utama yang tinggi. Hal ini sesuai dengan target pemerintah dalam pengendalian pangan mengingat harga pangan tahun lalu yang tinggi. Faktor-faktor ini memberikan sinyal tidak adanya kebijakan terbaru di Indonesia. 

Analisis Fenomena Menurunnya Daya Beli Masyarakat

Kondisi deflasi pada pertengahan tahun 2024 ini menunjukkan pola serupa dengan deflasi 1999 dan 2008-2009 yakni, penurunan permintaan agregat menjadi faktor utama. Namun, terdapat perbedaan signifikan terutama penyebab dan dampaknya. Pada tahun 2024, deflasi terjadi dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 Indeks Harga Konsumen Indonesia Tahun 2024 ketidakpastian global akibat konflik geopolitik dan perubahan iklim yang mempengaruhi supply chain global (Widi, 2024). 

Faktor lain yang dapat mendukung penurunan daya beli ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja secara massal beberapa bulan terakhir. Derasnya arus impor produk tekstil membuat semakin melemahnya produk lokal. Satu per satu perusahaan menyatakan pailit dan menutup usahanya dengan tujuan efisiensi. Berdasarkan hasil Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat sebanyak 15.114 buruh pabrik terkena PHK sepanjang Januari hingga 9 September 2024. Selanjutnya berdasarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah pekerja yang terkena PHK sampai Agustus 2024 mencapai 46.240 orang. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal berdampak terhadap perekonomian.

Ketika PHK yang terjadi secara massal menekan pengeluaran sehingga daya beli masyarakat menurun karena banyak orang kehilangan pendapatan tetap mereka. Selain itu, tingginya suku bunga saat ini membuat masyarakat menekan biaya konsumsinya untuk membayar cicilan. Hal ini dapat menyebabkan permintaan barang dan jasa menurun lebih lanjut. Kurangnya permintaan di pasar menyebabkan perusahaan semakin sulit menjual produk mereka, apabila terus berlanjut perusahaan akan mengalami penurunan pendapatan yang berimbas pada pengurangan biaya operasional untuk tetap bertahan. Kondisi ini akan menciptakan gelombang PHK baru dan memperburuk kondisi perekonomian.

Perbandingan dengan Negara yang Pernah Mengalami Deflasi Berkelanjutan

Perekonomian Jepang mengalami beberapa kali permasalahan setelah berakhirnya perang dunia kedua. Jepang merupakan negara yang dikenal akan kemajuannya. Namun, sekitar tahun 1990-an hingga awal 2010-an Jepang mengalami era "Dekade yang Hilang". Hal ini disebabkan jepang mengalami krisis keuangan yang mengakibatkan penurunan permintaan domestik. Setelah gelembung ekonomi pecah pada awal tahun 1990-an, Jepang mengalami stagnasi ekonomi yang panjang, ditandai dengan deflasi yang sulit diatasi. Mengutip data dari Trading Economics, Bank of Japan (BOJ) telah mempertahankan suku bunga acuan -0,1% sejak 2016 setelah sebelumnya berada di level 0% selama lima tahun. 

Sumber : boj.or.jp
Sumber : boj.or.jp

Berdasarkan laporan BOJ 2003, diketahui deflasi melebihi 10 persen dan suku bunga riil 15 persen pada awal tahun 1930. Akibatnya, beban utang meningkat dan memperburuk kondisi perekonomian Jepang. Deflasi dapat merugikan bagi perekonomian karena dapat mengurangi motivasi konsumen untuk melakukan konsumsi dan investasi. Oleh karena itu, dalam menghadapi deflasi Jepang menerapkan kebijakan fiskal yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian. Pemerintah Jepang melakukan stimulus fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan pembangunan pada infrastruktur, insentif pajak, dan dukungan keunguan bagi sektor terdampak deflasi. Adanya kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat dan dapat mengurangi tekanan deflasi. Selain itu, Pemerintah Jepang juga menerapkan kebijakan menurunkan suku bunga mendekati nol. Kebijakan ini akan meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mengembalikan kondisi perekonomian. Adapun program yang dikeluarkan oleh Bank of Japan (JOB) yaitu Quantitative and Qualitative Monetary Easing (QQE) pada tahun 2013. JOB membeli sejumlah besar obligasi pemerintah dan aset keuangan lainnya untuk meningkatkan likuiditas di pasar. 

Pertumbuhan ekonomi Jepang telah mengalami perbaikan sejak diterapkannya kebijakan-kebijakan oleh BOJ. Kebijakan tersebut diketahui berhasil mengatasi deflasi dan meningkatkan tingkat inflasi. Namun, tingkat pertumbuhan tersebut dinilai masih relatif rendah dibandingkan target yang diinginkan. Meskipun inflasi telah meningkat, target inflasi BOJ yaitu sebesar 2 persen masih belum tercapai. Adanya kebijakan stimulus fiskal juga meningkatkan utang publik Jepang. 

Berdasarkan kasus yang telah dialami Jepang, dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi deflasi yang berkepanjangan. Namun, perlu dilakukan evaluasi terhadap efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut dengan pertimbangan efek jangka panjang. Kebijakan fiskal dan moneter seperti dalam program QQE dapat dijadikan model yang tepat dalam mengatasi deflasi. 

Fenomena deflasi di Indonesia membawa dampak signifikan terhadap perekonomian. Meskipun deflasi dapat meringankan beban masyarakat melalui penurunan harga barang dan jasa, namun kondisi ini justru mengindikasikan lemahnya aktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat. Apabila deflasi terjadi terus menerus dapat berdampak terhadap lesunya perekonomian sehingga diperlukan kolaborasi dari pemerintah fiskal dan moneter dalam mengatasi dampak dari deflasi ini. Pertama, dari sisi kebijakan moneter dapat menurunkan suku bunga untuk mendorong adanya investasi. Dengan menurunkan suku bunga, biaya cicilan menjadi lebih rendah sehingga mendorong perusahaan untuk berinvestasi dan berbelanja lebih banyak. Hal ini akan membantu meningkatkan permintaan barang dan jasa yang menurun selama deflasi. Kedua, dari sisi kebijakan fiskal adalah dengan meningkatkan belanja publik untuk menstimulasi perekonomian. Pemerintah dapat meningkatkan belanja pada proyek-proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong aktivitas ekonomi. Hal ini juga akan membantu meningkatkan permintaan agregat di pasar. Selain itu, pemerintah dapat memberikan bantuan sosial kepada masyarakat menengah ke bawah sehingga dapat membantu meningkatkan daya beli dan memberikan subsidi kepada sektor-sektor yang paling terdampak deflasi.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Melakukan peningkatan pengeluaran pemerintah 

Pemerintah dapat melakukan pengeluaran untuk proyek-proyek infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial lainnya. Adanya tindakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. 

  1. Melakukan kebijakan moneter longgar 

Bank Indonesia dapat menurunkan tingkat suku bunga dan biaya pinjaman sehingga dapat  mendorong masyarakat dan perusahaan untuk melakukan konsumsi dan investasi. Bank Indonesia juga dapat melakukan pembelian aset-aset keuangan untuk meningkatkan likuditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit. 

  1. Memberikan insentif pajak 

Pemerintah dapat memberikan insentif pajak pada perusahaan untuk mendorong investasi dan peningkatan produksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun