Faktor lain yang dapat mendukung penurunan daya beli ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja secara massal beberapa bulan terakhir. Derasnya arus impor produk tekstil membuat semakin melemahnya produk lokal. Satu per satu perusahaan menyatakan pailit dan menutup usahanya dengan tujuan efisiensi. Berdasarkan hasil Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat sebanyak 15.114 buruh pabrik terkena PHK sepanjang Januari hingga 9 September 2024. Selanjutnya berdasarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah pekerja yang terkena PHK sampai Agustus 2024 mencapai 46.240 orang. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal berdampak terhadap perekonomian.
Ketika PHK yang terjadi secara massal menekan pengeluaran sehingga daya beli masyarakat menurun karena banyak orang kehilangan pendapatan tetap mereka. Selain itu, tingginya suku bunga saat ini membuat masyarakat menekan biaya konsumsinya untuk membayar cicilan. Hal ini dapat menyebabkan permintaan barang dan jasa menurun lebih lanjut. Kurangnya permintaan di pasar menyebabkan perusahaan semakin sulit menjual produk mereka, apabila terus berlanjut perusahaan akan mengalami penurunan pendapatan yang berimbas pada pengurangan biaya operasional untuk tetap bertahan. Kondisi ini akan menciptakan gelombang PHK baru dan memperburuk kondisi perekonomian.
Perbandingan dengan Negara yang Pernah Mengalami Deflasi Berkelanjutan
Perekonomian Jepang mengalami beberapa kali permasalahan setelah berakhirnya perang dunia kedua. Jepang merupakan negara yang dikenal akan kemajuannya. Namun, sekitar tahun 1990-an hingga awal 2010-an Jepang mengalami era "Dekade yang Hilang". Hal ini disebabkan jepang mengalami krisis keuangan yang mengakibatkan penurunan permintaan domestik. Setelah gelembung ekonomi pecah pada awal tahun 1990-an, Jepang mengalami stagnasi ekonomi yang panjang, ditandai dengan deflasi yang sulit diatasi. Mengutip data dari Trading Economics, Bank of Japan (BOJ) telah mempertahankan suku bunga acuan -0,1% sejak 2016 setelah sebelumnya berada di level 0% selama lima tahun.Â
Berdasarkan laporan BOJ 2003, diketahui deflasi melebihi 10 persen dan suku bunga riil 15 persen pada awal tahun 1930. Akibatnya, beban utang meningkat dan memperburuk kondisi perekonomian Jepang. Deflasi dapat merugikan bagi perekonomian karena dapat mengurangi motivasi konsumen untuk melakukan konsumsi dan investasi. Oleh karena itu, dalam menghadapi deflasi Jepang menerapkan kebijakan fiskal yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian. Pemerintah Jepang melakukan stimulus fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan pembangunan pada infrastruktur, insentif pajak, dan dukungan keunguan bagi sektor terdampak deflasi. Adanya kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat dan dapat mengurangi tekanan deflasi. Selain itu, Pemerintah Jepang juga menerapkan kebijakan menurunkan suku bunga mendekati nol. Kebijakan ini akan meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mengembalikan kondisi perekonomian. Adapun program yang dikeluarkan oleh Bank of Japan (JOB) yaitu Quantitative and Qualitative Monetary Easing (QQE) pada tahun 2013. JOB membeli sejumlah besar obligasi pemerintah dan aset keuangan lainnya untuk meningkatkan likuiditas di pasar.Â
Pertumbuhan ekonomi Jepang telah mengalami perbaikan sejak diterapkannya kebijakan-kebijakan oleh BOJ. Kebijakan tersebut diketahui berhasil mengatasi deflasi dan meningkatkan tingkat inflasi. Namun, tingkat pertumbuhan tersebut dinilai masih relatif rendah dibandingkan target yang diinginkan. Meskipun inflasi telah meningkat, target inflasi BOJ yaitu sebesar 2 persen masih belum tercapai. Adanya kebijakan stimulus fiskal juga meningkatkan utang publik Jepang.Â
Berdasarkan kasus yang telah dialami Jepang, dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi deflasi yang berkepanjangan. Namun, perlu dilakukan evaluasi terhadap efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut dengan pertimbangan efek jangka panjang. Kebijakan fiskal dan moneter seperti dalam program QQE dapat dijadikan model yang tepat dalam mengatasi deflasi.Â
Fenomena deflasi di Indonesia membawa dampak signifikan terhadap perekonomian. Meskipun deflasi dapat meringankan beban masyarakat melalui penurunan harga barang dan jasa, namun kondisi ini justru mengindikasikan lemahnya aktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat. Apabila deflasi terjadi terus menerus dapat berdampak terhadap lesunya perekonomian sehingga diperlukan kolaborasi dari pemerintah fiskal dan moneter dalam mengatasi dampak dari deflasi ini. Pertama, dari sisi kebijakan moneter dapat menurunkan suku bunga untuk mendorong adanya investasi. Dengan menurunkan suku bunga, biaya cicilan menjadi lebih rendah sehingga mendorong perusahaan untuk berinvestasi dan berbelanja lebih banyak. Hal ini akan membantu meningkatkan permintaan barang dan jasa yang menurun selama deflasi. Kedua, dari sisi kebijakan fiskal adalah dengan meningkatkan belanja publik untuk menstimulasi perekonomian. Pemerintah dapat meningkatkan belanja pada proyek-proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong aktivitas ekonomi. Hal ini juga akan membantu meningkatkan permintaan agregat di pasar. Selain itu, pemerintah dapat memberikan bantuan sosial kepada masyarakat menengah ke bawah sehingga dapat membantu meningkatkan daya beli dan memberikan subsidi kepada sektor-sektor yang paling terdampak deflasi.
Rekomendasi Kebijakan
Melakukan peningkatan pengeluaran pemerintahÂ