Negara maju tidak selamanya mengalami pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi stagnan, demografi, maupun kebijakan pemerintah yang akan terus menghantui tidak hanya negara berkembang tetapi juga negara maju di dunia termasuk negara Jepang. Jepang merupakan salah satu negara maju urutan ketiga di dunia yang terkenal dengan kedisiplinan serta pop-culture yang terkenal dengan anime, manga dll. Penurunan ekonomi negara Jepang yang minus selama 2 kuartal berturut-turut mendorong Jepang ke jurang resesi.
Pada 15 Februari 2024 kantor kabinet Jepang melaporkan produk domestik bruto (PDB) secara tahunan telah berkontraksi sebesar 0,4% pada kuartal IV/2023, setelah adanya penurunan sebesar 3,3% pada kuartal sebelumnya yang dapat dilihat pada diagram berikut.Â
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jepang, menunjukkan dalam setahun terakhir ini tingkat tabungan rumah tangga terus meningkat, pada Januari hanya tercatat 16,1% kemudian melonjak ke atas 60% pada Desember 2023. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pengeluaran rumah tangga yang cenderung menurun. Terlihat pada Januari sebesar 2,7% kemudian pada Desember malah berkontraksi hingga -0,9%.
Budaya anti kerja dan Investasi
Jepang selalu dipandang sebagai negara maju dengan masyarakat yang disiplin, kaya sejarah budaya dan pop-culture yang digemari masyarakat dunia. Tapi, dibalik itu semua Jepang menyimpan masalah ekonomi yang sangat mengancam masa depannya.Â
1. Krisis Kependudukan
Selama 4 tahun terakhir jepang mengalami penurunan populasi karna angka kelahiran yang terus menurun. Pada tahun 1973 angka kelahiran di jepang mencapai 2 juta bayi dalam satu tahun, namun tren tersebut terus mengalami penurunan sampai pada tahun 2022 jumlah kelahiran mencapai 800.000 jiwa.Â
Disaat yang sama jumlah orang meninggal lebih dari 2 kali angka kelahiran yaitu 1,58 juta jiwa, artinya dalam satu tahun Jepang telah kehilangan 800 ribu jumlah penduduknya. Untuk terus mempertahankan populasi, setidaknya 1 orang perempuan di Jepang harus melahirkan 2 orang bayi.Â
Tapi sampai saat ini rasio kelahiran bayi per perempuan di Jepang mencapai 1,3 per perempuan. Jika tren ini terus berlanjut, maka diperkiran pada tahun 2100 nanti penduduk asli Jepang hanya tersisa 53,43 juta jiwa. Tidak hanya itu, saat ini jumlah penduduk lansia mencapai â…“ penduduk, hal ini berarti 1 dari 3 penduduk Jepang adalah lansia. Bahkan 40% perusahaan di jepang masih mempekerjakan pegawai yang berusia 70 tahun.
2. Krisis Sosial Ekonomi Pemuda dan Budaya Bushido
Dalam 20 sampai 30 tahun terakhir kaum muda di jepang mengalami permasalahan sosial yang kompleks sehingga membuat mereka pesimis akan masa depan dan tidak meminat untuk membangun rumah tangga ataupun punya anak.Â
Tidak hanya itu, ekspektasi sosial dan budaya kerja yang penuh tekanan juga menjadi salah satu indikator timbulnya permasalahan sosial. Jepang memiliki budaya kerja yang menganut budaya BUSHIDO sejak zaman dahuli. Â
Bushido merupakan budaya etos kerja dengan tujuan kejujuran, keberanian, kebajikan, kesopanan, kehormatan, dan kesetiaan. Budaya ini masih sangat kental dalam dunia profesional dan korporat jepang, mulai dari tingkat jam kerja yang ekstrim sampai 86 jam perminggu, tidak ada upah lembur di Jepang, dan budaya bersosialisasi sepulang kantor. Selain itu budaya kerja di Jepang masih konservatif dengan budaya senioritas yang tinggi, generasi senior akan mendapat kompensasi yang lebih tinggi.
3. Ekonomi yang jalan ditempat
Pada tahun 70 sampai 80 -an Jepang megalami kemajuan ekonomi yang luar biasa. Bursa saham Jepang meroket dan membuat masyarakatnya berinvestasi saham tanpa mikir risiko, sampai terjadi krisis ekonomi Jepang di tahun 1990-an yang membuat bursa saham di Jepang hancur sehingga menimbulkan trauma mendalam bagi kaum tua Jepang untuk berinvestasi.Â
Sejak kejadian tersebut tingkat investasi jepang menjadi menurun, enggan membuka usaha, atau upaya papun yang berisiko secara ekononomi. Masyarakat jepang lebih senang untuk menabung dari pada berbelanja, membuka usaha atau menjadi intrapreneur.Â
Pada kenyataannya kebiasaan tersebut malah membuat konsumsi di Jepang terus menurun, karna masyarakat Jepang yang cenderung berhemat dan tidak mau belanja.Â
Harga bahan baku di jepang cenderung stagna bahkan sampai turun harga, hal tersebut membuat matinya sebuah industri dan masyatrakat cenderung untuk menunda belanja.Â
Adanya fenomena tersebut Bank sentral Jepang tentu saja tidak tinggal diam, Bank sentral Jepang berupaya untuk menurunkan tingkat suku bunga serendah-rendahnya dengan tujuan mendorong konsumsi dan merangsang warga Jepang untuk berbisnis.Â
Berdasarkan data dari World Bank, jepang menempati ururtan ke 162 sebagai peringkat negara dalam hal memulai bisnis dan peringkat 94 dalam mendapat kredit pinjaman. Hal tersebut bisa dikatakan rendah bagi Jepang sebagai negara maju.Â
Aktivitas ekonomi stagna, gagalnya kebijakan moneter, penyerapan pajak rendah dan APBN tersandera jaminan sisoal merupakan alasan pemerintah Jepang untuk berhutang. Jepang mencatat utang pemerintah terhadap PDB sebesar 263,90 persen pada tahun 2022. Rata-rata utang pemerintah terhadap PDB mencapai 146,28 persen dari tahun 1980 sampai 2022. Ini merupakan angka tertinggi sepanjang masa dan terendah pada tahun 1980 sebesar 50,60%.Â
Pengaruh Jumlah Penduduk dalam Model Ekonomi
Masalah Demografi menjadi faktor permasalahan tingkat produktifitas Jepang yang berpengaruh pada GDPnya. Sedangkan, dalam ekonomi jumlah penduduk menjadi hal utama yang penting. Menurut Adam Smith dan David Ricardo, ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu jumlah penduduk, persediaan barang barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, serta penerapan teknologi.
Dari keempat faktor tersebut para peneliti menitikberatkan teori pada pertambahan penduduk yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan faktor luas tanah dan penerapan teknologi diasumsikan tetap. Teori ini dikenal dengan teori pertumbuhan ekonomi klasik. Gambaran daripada teori pertumbuhan ekonomi klasikadalah sebagai berikut.
1) Pertumbuhan ekonomi tergolong tinggi saat jumlah penduduk masih sedikit, persediaan barang modal cukup banyak, dan tersedianya lahan tanah yang masih luas.
2) Pertumbuhan ekonomi tergolong tidak berkembang (stationeary state) saat produktivitas penduduk menurun karena berkurangnya kapasitas produksi sehingga kemakmuran masyarakat dan frekuensi kegiatan ekonomi punikut menurun.
Terlihat bahwa hubungan jumlah penduduk terhadap kontribusinya pada GDP sangatlah berpengaruh. Jumlah penduduk Jepang yang terus menurun. Masalah demografi dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat serta penduduk dengan mayoritas usia tidak produktif dapat menurunkan usia angkatan kerja. Hal ini dapat berpengaruh pada menurunnya pertumbuhan ekonomi akibat kurangnya penduduk usia produktif.
Langkah/kebijakan menghadapi resesi
Berdasarkan faktor konsumsi masyarakat Jepang yang rendah maka pemerintah  Jepang perlu mengambil langkah dengan untuk mendorong tingkat konsumsi di dalam negeri. Mengingat demografi masyarakat yang menuju sebagian besar orang tua kebutuhan konsumsi di Jepang menjadi terbatas.Â
Berdasarkan pernyataan dari duta besar Jepang Masaki Yasushi menyatakan bahwa dalam menghadapi resesi  Jepang membutuhkan kerja sama, pertukaran, perdagangan dengan negara-negara sahabat. Hal ini sejalan dengan Jepang sebagai negara yang bergantung dengan ekspor dalam peningkatan GDP-nya. Â
Dalam proses mendorong konsumsi di dalam negeri Jepang dapat mengundang pemuda dari negara lain baik sebagai pekerja maupun pelajar untuk berpendidikan di Jepang. Kegiatan ini diharapkan dapat mendorong konsumsi di dalam negeri mengingat kebutuhan anak muda lebih banyak daripada orang tua sehingga dapat mengembalikan pertumbuhan ekonomi Jepang yang positif.Â
Dampak terhadap indonesia
Menurunnya perekonomian negeri sakura tersebut tentu akan berdampak pada perekonomian Indonesia juga. Jepang merupakan salah satu mitra dagang Indonesia, melemahnya perekonomian Jepang akan berdampak pada penurunan permintaan ekspor Indonesia.Â
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Jepang merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke-4 Indonesia, tercatat nilai ekspor Indonesia ke Jepang turun sebesar 22,73 persen secara tahunan dari nilai ekspor $1,89 miliar atau setara dengan Rp. 29,49 triliun pada januari 2023 menjadi $1,46 miliar atau setara dengan 22,78 triliun pada Januari 2024.Â
Sejumlah komoditas ekspor yang terdampak diantaranya batu bara, komponen elektrik, Nikel, perhiasan, barang-barang kayu, karet dan perikanan. Menanggapi hal tersebut pemerintah Indonesia segera mencari jalan keluar dengan mencari mitra dagang alternatif dan mengalihkannya ke negara lain.
Dampak resesi yang tercermin dari surplus neraca perdagangan dalam negeri Indonesia yang menurun sebesar 48 persen menjadi $2,02 miliar pada januari 2024 dibanding tahun  sebelumnya.Â
Menurut Eko Listiyanto dari Institute for Development of Economics (Indef), surplus tersebut mengindikasi adanya perlambatan perekonomian global. Meskipun begitu, proyek-proyek seperti pembanunan kereta api bawah tanah dan layang di Jakarta dan sekitarnya yang didanai oleh Jepang, diperkirakan akan tetap berjalan sesuai yang telah direncanakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI